Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Guru PPPK: Pahlawan yang Terlupakan, Islam Punya Jawaban

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 18:49 WIB Last Updated 2025-10-11T11:49:33Z

Tintasiyasi.id.com -- Guru adalah fondasi bangsa. Namun, guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) masih menghadapi diskriminasi: gaji minim, hak pensiun terbatas, beban utang, dan tiadanya jenjang karier jelas. Meski statusnya ASN, realitas kesejahteraan mereka jauh dari layak.

Hingga 2025, pengangkatan guru PPPK masif dilakukan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengumumkan bahwa 176 ribu guru honorer diangkat sebagai PPPK pada tahun 2025, bagian dari upaya menambah formasi mengingat kebutuhan sebenarnya mencapai 419 ribu guru. (monitorindonesia.com, 29/1/2025).

Namun, angka besarnya rekrutmen tak selalu linier dengan peningkatan kesejahteraan. Dibanyak daerah, khususnya bagi guru PPPK dengan masa kerja baru dan di luar kota besar, gaji pokok masih berada di kisaran bawah (RP1Juta – Rp2juta), bahkan di bawah upah minimun (ayobandung.com, 1/3/2025).

Guru PPPK tidak otomatis mendapat pensiun seperti PNS, hanya yang bekerja minimal 16 tahun yang berhak, itupun dengan nilai jauh lebih kecil. Kondisi ini, ditambah kontrak kerja yang tidak pasti, membuat banyak guru PPPK terjebak utang dan kehilangan motivasi. Padahal UUD 1945 dan UU ASN menegaskan seluruh ASN seharusnya memiliki hak yang sama.

Kapitalisme: Dalang Utama Ketidakadilan Guru PPPK
Kapitalisme memandang pendidikan sebagai komoditas, bukan kebutuhan publik. Anggaran pendidikan dianggap beban, sehingga layanan pendidikan dikomersialisasi. Sekolah terstratifikasi antara “murah” dan “elite”, memperlebar jurang sosial.

Paradigma kapitalisme dalam ekonomi makro nasional berdampak langsung pada terbatasnya anggaran pendidikan: Negara kehilangan sumber pendapatan dari SDA karena dikuasai asing dan swasta, sehingga bergantung pada pajak dan utang luar negeri. Pada 2025, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp7.000 triliun (ekonomi.bisnis.com, 22/9/2025).

Tekanan fiskal membuat pemerintah memilih merekrut PPPK (kontrak) ketimbang PNS, melanggengkan diskriminasi dan kemiskinan struktural bagi guru.

Solusi Ekonomi Islam: Mekanisme Berkeadilan melalui Baitul Maal dan Negara

Islam mengajarkan bahwa negara sebagai perpanjangan tangan umat dan pemegang Amanah. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan primer warga negara (sandang, pangan, papan) dan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dana negara. 

Mekanisme utama pembiayaan dalam Islam adalah Baitul Maal, lembaga keuangan negara yang menghimpun dan mendistribusikan seluruh dana.

Konsep pendidikan gratis dalam Islam bukan sekadar wacana, tapi pernah diterapkan secara konsisten dari masa ke masa selama 13 abad. Negara menyelenggarakan sekolah dan sistem pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi, tanpa biaya pendaftaran maupun SPP. 

Sumber pembiayaannya diambil dari pos-pos kepemilikan negara terutama hasil SDA, hasil SDA, waqaf, dan titipan masyarakat dikumpulkan dan dikelola Baitul Maal (kompasiana.com, 14/10/2024).

Dalam Islam, gaji atau upah (‘ujrah)—khususnya bagi guru dan pekerja sektor publik—ditentukan bukan oleh logika pasar, melainkan berdasarkan nilai jasa, tingkat pendidikan, dan kebutuhan hidup layak masyarakat di zamannya. 

Ibnu Taimiyah menegaskan upah adil ditetapkan sesuai musyawarah, akad yang jelas, dan tanpa ketimpangan ekstrem: “kompensasi ditentukan oleh ijab-qabul yang adil serta kondisi hidup yang patut sebagaimana standar kebutuhan saat itu”.

Guru yang mengajar di sekolah negara ataupun madrasah diberi gaji dari Baitul Maal secara tetap, tanpa pembedaan status dan tanpa ketimpangan antara honor dan PNS, semuanya adalah muwazif Daulah (pegawai negara).

Dalam praktik sejarahnya, gaji guru kadang diberikan langsung dalam emas atau perak yang nilainya setara puluhan bahkan ratusan juta rupiah masa sekarang, sesuai jabatan, masa kerja, dan kontribusinya.

Rasulullah SAW sendiri menempatkan guru (pengajar ilmu agama maupun dunia) pada posisi terhormat. Dalam hadis, “Sesungguhnya Allah, malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, berdoa untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi). 

Nabi mengangkat guru-guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan pengetahuan dasar dengan jatah tunjangan dan gaji dari Baitul Maal, disesuaikan kebutuhan hidup mereka dan keluarganya.

Di masa Umar, guru diangkat dan ditempatkan di seluruh wilayah kekhalifahan, baik didesa maupun pusat kota, untuk mengajarkan Al-Qur’an, bahasa Arab, dan ilmu Islam kepada penduduk. Gaji mereka diambilkan dari kas hasil SDA dan Baitul Maal, nilainya setara 15 dinar emas per bulan (sekitar 63,75 gram emas, hari ini ± Rp70 juta lebih per bulan).

Fenomena gaji minim guru PPPK adalah potret kegagalan tata kelola pendidikan dalam sistem kapitalisme—sistem yang menempatkan pendidikan sebagai beban pengeluaran dan mengorbankan pelaku utamanya, guru, pada ketidakadilan, utang, dan diskriminasi.

Kesejahteraan guru tidak akan pernah tercapai selama sumberdaya negara dieksploitasi asing, negara hanya sebagai pengumpul pajak dan pengutang, serta pendidikan dianggap barang komersial.

Islam telah membuktikan solusi yang adil, berkelanjutan, dan mensejahterakan: melalui mekanisme Baitul Maal, pengelolaan pendidikan dari pos kepemilikan negara, penentuan upah berdasarkan nilai jasa, serta pendidikan gratis bagi seluruh rakyat.

Kesejahteraan guru bukan sekadar slogan, tapi harus menjadi tindakan nyata sistemis dalam tata kelola negara. Jika negeri ini berniat menghapus diskriminasi dan mengangkat martabat guru, maka solusi Islam adalah jawaban tak terbantahkan.[]

Oleh: Haamilah Ar
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update