TintaSiyasi.id -- Presiden Prabowo Subianto menyebut kerugian negara akibat tambang ilegal mencapai Rp300 triliun, saat penyerahan aset rampasan enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk. Angka fantastis ini menambah daftar buruk pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Menurut Kementerian ESDM, terdapat ribuan titik tambang ilegal di seluruh Indonesia yang menyebabkan kebocoran besar potensi pendapatan negara. Ironisnya, pemerintah kini membuka peluang koperasi dan UMKM mengelola tambang atas nama pemerataan ekonomi dilansir dari esdm.go.id, (22/08/2025).
Namun, kebijakan ini dinilai berisiko. Banyak pihak meragukan kemampuan teknis dan finansial koperasi serta UMKM dalam mengelola tambang besar. Celah ini dikhawatirkan dimanfaatkan korporasi besar yang bersembunyi di balik nama “koperasi rakyat”, sementara lemahnya pengawasan berpotensi memperparah kerusakan lingkungan dilansir dari tirto.id, (10/10/2025).
Akar Masalah: Kapitalisme Sekuler
Kekacauan tata kelola tambang berakar pada sistem kapitalisme sekuler, yang menjadikan negara sekadar regulator, bukan pengelola sumber daya alam. Akibatnya, kekayaan alam—milik rakyat—diserahkan kepada pasar dan investor, sementara negara hanya mendapat royalti dan pajak. Kerusakan lingkungan dan penderitaan sosial justru ditanggung rakyat kecil.
Kapitalisme menempatkan keuntungan sebagai orientasi utama, bukan kemaslahatan. Karena itu, eksploitasi alam kerap dilakukan tanpa memperhatikan keberlanjutan. Ketika tambang ilegal merugikan negara, yang disalahkan hanyalah oknum, bukan sistem yang melahirkannya.
Sekularisme yang menyingkirkan nilai agama dari kebijakan publik pun menjauhkan tata kelola ekonomi dari moral dan keadilan. Korupsi, kolusi, dan penjarahan sumber daya menjadi konsekuensi logis dari sistem ini.
Pandangan Islam: Tambang Milik Umum
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadis ini menegaskan bahwa tambang termasuk milik umum (milkiyah ‘ammah). Negara tidak boleh menyerahkannya kepada individu, korporasi, atau pihak asing.
Dalam Islam, hasil tambang wajib dikembalikan kepada rakyat melalui pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Negara berperan sebagai rāain (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator.
Solusi Islam
Dalam sistem khilafah, sumber daya alam dibagi menjadi tiga kepemilikan:
Pertama, milik umum, seperti tambang besar, minyak, gas, air, dan hutan. Negara wajib mengelolanya secara langsung.
Kedua, milik negara, seperti tanah mati yang dihidupkan atau tambang kecil yang dapat diberikan hak kelolanya oleh khalifah.
Ketiga, milik individu, yang diperoleh melalui usaha pribadi sesuai syariat.
Sistem ini telah terbukti berhasil dalam sejarah.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, kekayaan alam di wilayah Islam dikelola dengan adil dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Tidak ada privatisasi tambang, tidak ada izin untuk asing menguasai sumber daya, dan tidak ada kebocoran keuangan negara akibat korupsi.
Dengan penerapan syariah secara kaffah, termasuk dalam pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam, kesejahteraan rakyat akan terjamin. Tidak akan ada lagi tambang ilegal yang merugikan negara, karena seluruh sumber daya alam berada dalam pengawasan ketat negara yang tunduk pada hukum Allah.
Kerugian negara hingga ratusan triliun akibat tambang ilegal seharusnya menjadi alarm keras bahwa sistem kapitalisme sekuler telah gagal menjaga kekayaan negeri. Menyerahkan tambang kepada koperasi atau swasta bukan solusi, melainkan memperparah masalah.
Islam menawarkan sistem yang adil, terukur, dan berpihak kepada umat. Hanya dengan kembali pada syariat Islam secara kaffah, kekayaan tambang dapat benar-benar menjadi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sekadar angka di laporan negara atau alat memperkaya segelintir orang. Maka, sudah saatnya umat kembali kepada penerapan Islam secara kaffah agar keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud.
Wallāhu a‘lam bishshawab. []
Anggun Istiqomah
(Aktivis Muslimah)