TintaSiyasi.id -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, menegaskan bahwa upaya mensejajarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan organisasi seperti partai komunis Indonesia (PKI) atau ISIS merupakan narasi politik yang jahat.
“Berkembang opini, ada yang menyatakan bahwa HTI sebagai ormas terlarang dan mensejajarkan dengan PKI dan ISIS. Mensejajarkan HTI dengan ISIS dan PKI adalah narasi politik jahat. Menanggapi hal tersebut, saya akan menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut,” ujarnya kepada Tintasiyasi.id, Jumat (17/10/2025).
Pertama, bahwa SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh pemerintah masa rezim Jokowi hanyalah memutuskan, menetapkan mencabut keputusan yentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan (BHP) Hizbut Tahrir Indonesia.
"Intinya bahwa SK Kemenkumham ini hanya mencabut status badan hukum perkumpulan (BHP), tidak ada keputusan yang menyatakan sebagai ormas terlarang," tegasnya.
Kedua, bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta hanya menguatkan surat pencabutan BHP yang diterbitkan oleh pemerintah rezim Jokowi, tidak ada amar putusan PTUN Jakarta yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.
"Ketiga, bahwa berbeda kasus Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui TAP MPRS NO. XXV/1966, didalamnya tegas menyebutkan tiga hal. Pertama, pernyataan pembubaran PKI. Kedua, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang. Ketiga, pernyataan pelarangan paham atau ideologi yang diemban PKI yakni marxisme/leninisme, atheisme, komunisme," jelasnya.
Keempat, bahwa HTI tidak pernah melakukan kudeta dan tidak melakukan pemberontakan. HTI murni berdakwah dengan pendekatan pemikiran, tanpa kekerasan dan tanpa fisik. Dakwah yang dilakukan oleh HTI adalah mendakwahkan ajaran Islam, sebagai bentuk ibadah yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Kelima, sementara tuduhan ormas terlarang dan mensejajarkan dengan ISIS dan PKI adalah narasi politik dan narasi pecah belah.
"Narasi politik dan narasi pecah belah ini dibangun menggunakan media sosial untuk tujuan politis, termasuk menekan, menghilangkan kepercayaan hingga memecah belah warga," ungkapnya.
Ia mengutip riset 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' bahwa menurut riset tersebut cyber troops paling banyak digunakan oleh aktor-aktor pihak pemerintah atau aktor politik yang ditugaskan untuk memanipulasi opini publik secara daring dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi publik.
"Legitimasi publik sangat dibutuhkan oleh siapapun termasuk Pemerintah. Narasi polarisasi yang bersifat indelingsbelust (pengkotak-kotakan) yang mengarah kepada kebohongan publik adalah tindakan melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana," pungkasnya.[] Nabila Zidane