Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menjaga Mangrove di Tengah Pusaran Kapitalisme

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:52 WIB Last Updated 2025-10-25T01:52:30Z
TintaSiyasi.id -- Ketika manusia berbicara tentang mencintai alam, sering kali cinta itu bersyarat. Alam dijaga sejauh memberi manfaat ekonomi, namun dilupakan ketika dianggap tak bernilai. Inilah wajah peradaban kapitalistik hari ini — di satu sisi menggelar konferensi hijau bertema sustainable future, di sisi lain terus memperluas tambang dan kawasan industri yang menjarah pesisir. Alam dijaga dengan tangan kanan, tapi dilukai dengan tangan kiri.

Sebagaimana diberitakan Kalimantan Live (17/10/2025), Gubernur Kalimantan Selatan H. Muhidin melalui Asisten Administrasi Umum Setda Kalsel, Dinansyah, menyampaikan apresiasi kepada Universitas Lambung Mangkurat (ULM) atas penyelenggaraan konferensi internasional bertema “Borneo’s Mangroves: A Nexus of Biodiversity, Sustainable Futures, and Carbon Sequestration.” Acara ini dinilai penting untuk memperkuat kolaborasi menjaga ekosistem pesisir dan hutan mangrove.

Niat baik ini tentu patut diapresiasi, namun tidak cukup bila berhenti pada seremoni. Menjaga mangrove bukan hanya program lingkungan, melainkan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi — tanggung jawab yang mustahil ditunaikan dalam sistem yang menuhankan keuntungan dan menyingkirkan aturan Sang Pencipta.

Makna dan Peran Mangrove

Mangrove — hutan bakau di wilayah pesisir — memiliki akar menjulang dari lumpur, berfungsi menahan abrasi, menyerap karbon, serta menjadi habitat bagi biota laut. Di banyak pesisir Indonesia, mangrove menjadi penopang utama kehidupan nelayan. Namun luasnya terus menyusut akibat alih fungsi lahan, tambak, reklamasi, dan proyek industri. Ironisnya, di saat masyarakat menanam mangrove, negara memberi izin kepada korporasi yang merusak kawasan yang sama. Beginilah paradoks ekologis kapitalisme: proyek hijau hanya menjadi selimut bagi kerakusan ekonomi.

Paradigma Sekuler yang Merusak

Dalam paradigma kapitalisme, alam dianggap sumber daya yang boleh dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Selama menguntungkan, semuanya dibenarkan. Tak heran hutan ditebang, pesisir dikonversi, laut ditambang — semua atas nama pembangunan. Sistem ini menyingkirkan agama dari urusan bumi, menjadikan pelestarian sekadar proyek, bukan ibadah; sekadar program, bukan amanah.

Allah ﷻ menegaskan peran manusia sebagai khalifah:

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
(QS. Al-Baqarah: 30)

Dan Allah memperingatkan:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...”
(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib mengelola bumi sesuai petunjuk Allah, bukan hawa nafsu ekonomi. Ketika peran kekhalifahan dilupakan, bumi pun rusak.

Islam: Menjaga Alam Adalah Ibadah

Islam memandang alam bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan tanda kebesaran Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam termasuk kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah). Negara tidak boleh menyerahkannya kepada korporasi, melainkan wajib mengelola demi kemaslahatan umat. Dalam sistem Islam, negara bertindak sebagai pelindung amanah Allah, menjaga hutan dan pesisir, mencegah privatisasi, serta menetapkan zona konservasi sesuai syariat.

Khilafah juga memiliki lembaga khusus yang mengatur kepemilikan umum (Diwan al-Milkiyah al-‘Ammah), memastikan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian. Semua kebijakan berbasis iman, bukan pasar; berbasis ibadah, bukan laba.

Khilafah dan Pengelolaan Mangrove

Dalam sistem Khilafah Islamiyah, pengelolaan mangrove menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi dan kelautan. Negara akan mengawasi ketat aktivitas di wilayah pesisir — tidak ada proyek tambak, reklamasi, atau industri yang merusak tanpa dasar syar‘i. Penelitian dan inovasi diarahkan untuk kemaslahatan, bukan kompetisi pasar.

Masyarakat pun dididik memahami bahwa menjaga mangrove adalah ibadah dan wujud ketaatan. Islam menumbuhkan kesadaran ekologis berbasis iman: bahwa menjaga alam berarti menjaga hubungan dengan Sang Pencipta.

Bumi Menanti Sistem yang Hak

Kepedulian terhadap mangrove tak akan berarti jika akar masalahnya — sistem sekuler kapitalistik — tetap dipertahankan. Sistem ini memuja pertumbuhan ekonomi, tapi menolak hukum Allah. Akibatnya, bumi rusak, laut tercemar, pesisir hancur, dan manusia kehilangan arah.

Sudah saatnya manusia kembali kepada sistem yang diturunkan Allah — sistem yang menempatkan manusia sebagai khalifah, negara sebagai penjaga amanah, dan alam sebagai makhluk yang harus dijaga. Dengan tegaknya Khilafah Islamiyah, bumi akan dikelola sesuai syariat, membawa keadilan bagi manusia dan keseimbangan bagi seluruh ciptaan.

Menjaga mangrove sejatinya bukan sekadar menjaga pohon, tetapi menjaga amanah Allah, keseimbangan ciptaan-Nya, dan masa depan manusia dari kerakusan sistem yang menolak aturan-Nya.

Wallahu a‘lam.

Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut. 
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update