TintaSiyasi.id -- Pada 20 Oktober 2025, IDN Times merilis berita berjudul “Prabowo Izinkan WNA Pimpin BUMN, Bagaimana Aturannya?”, yang menegaskan bahwa regulasi baru, yakni UU Nomor 16 Tahun 2025 sebagai perubahan atas UU BUMN telah membuka jalan bagi warga negara asing (WNA) menduduki posisi direksi di perusahaan pelat merah. Kebijakan ini bukan lagi sebatas wacana, sebab sebelumnya, pada 15 Oktober 2025, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dua ekspatriat resmi ditunjuk sebagai direksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. 
Sementara itu, Liputan6.com (16/10/2025) pukul 19.31 WIB mengutip pernyataan KPK bahwa WNA yang menjabat direksi BUMN wajib melaporkan LHKPN, seraya menegaskan bahwa korupsi yang melibatkan orang asing tetap dapat ditindak.
Namun publik tidak hanya mempertanyakan mekanisme pelaporan harta kekayaan. Pertanyaan yang lebih mendalam muncul adalah apakah kedaulatan ekonomi negeri ini sedang ditaruh di meja tawar-menawar global? Sebab, jabatan di BUMN bukan sekadar posisi manajerial biasa. Ia berdiri di simpul vital kekuasaan ekonomi negara, mengurus aset strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Saat kursi itu dapat diduduki oleh warga negara lain, kita harus bertanya apakah fondasi kedaulatan bangsa sedang digeser sedikit demi sedikit?
Keputusan membuka pintu bagi WNA di pucuk pimpinan BUMN tidak bisa dipandang sebagai isu teknis “transfer knowledge”. Ini adalah kebijakan politik-ekonomi yang berdampak langsung terhadap arah negara, kontrol atas aset publik, dan keamanan strategis nasional.
BUMN bukan sekadar perusahaan, ia adalah instrumen kedaulatan. Di sinilah masalah bermula.
Pertama, setiap warga negara membawa latar belakang nasionalisme dan jejaring kepentingannya sendiri. Saat ekspatriat menduduki posisi strategis, maka bukan tidak mungkin arah kebijakan dapat selaras dengan logika kapital global yang menguntungkan jejaring asing tempat ia pernah berkarier atau berafiliasi. Ini bukan menuduh individu, tetapi memahami fakta geopolitik bahwa dalam sistem ekonomi global, aktor asing bergerak atas dasar kepentingan nasional mereka, bukan nasional kita.
Kedua, akses terhadap informasi strategis terbuka lebar. BUMN seperti Pertamina, PLN, Telkom, Garuda, hingga MIND ID menyimpan data vital terkait energi, jaringan telekomunikasi, rute transportasi nasional, distribusi logistik, dan bahkan potensi cadangan mineral negara. Jika data semacam ini jatuh ke tangan asing, secara sadar atau tidak, maka negara lain dapat membaca denyut nadi ekonomi kita secara utuh. Penguasaan data adalah langkah awal penguasaan arah kebijakan.
Ketiga, masalah penegakan hukum menjadi semakin kompleks. Pengamat hukum telah memperingatkan bahwa bila WNA terjerat korupsi atau tindak pidana finansial, pelacakan asetnya akan sulit, sebab mereka memiliki kemampuan keluar dari yurisdiksi Indonesia. Aset yang ditempatkan di luar negeri membutuhkan kerja sama internasional, yang tidak selalu mudah. Potensi impunitas menjadi ancaman nyata.
Keempat, penunjukan WNA di pucuk BUMN dapat menjatuhkan harga diri bangsa dan meruntuhkan kepercayaan terhadap kapasitas SDM lokal. Indonesia memiliki ribuan profesional, insinyur, ekonom, dan pakar manajemen yang telah ditempa di berbagai perusahaan multinasional, bahkan menempuh pendidikan di kampus terbaik dunia. Bila kursi strategis justru diberikan ke orang asing, apa pesan yang disampaikan negara kepada putra-putri bangsanya? Bukan hanya soal peluang yang hilang, tetapi juga pengikisan kepercayaan diri kolektif sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Kelima, kebijakan ini dapat membuka jalan bagi neokolonialisme gaya baru. Di era modern, penjajahan tidak selalu terjadi melalui invasi militer, tetapi melalui penetrasi modal, kontrol data, dan dominasi kebijakan ekonomi. Ketika posisi strategis negara dapat diakses oleh asing, maka proses “pengendalian lembut” (soft control) bisa terjadi tanpa letusan senjata.
Kursi direksi bisa menjadi gerbang pengaruh, dan dari sanalah arah BUMN dapat diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar global, bukan kepentingan rakyat.
Masalah ini sesungguhnya bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dalam rahim sistem kapitalisme neoliberal yang mendominasi tata kelola ekonomi global. Sistem ini menempatkan efisiensi, profit, dan keterbukaan pasar sebagai mantra utama.
Dalam logika kapitalis, BUMN tidak dilihat sebagai penjaga kedaulatan negara, melainkan entitas bisnis yang harus bersaing secara global dengan standar kapital internasional. Maka, membuka posisi bagi WNA dianggap sebagai langkah “profesional dan rasional”.
Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan atas urusan publik bukan hanya soal profesionalitas teknis, tetapi amanah besar yang terkait dengan keimanan, tanggung jawab di hadapan Allah, dan perlindungan terhadap kepentingan umat. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah Saw bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pejabat publik adalah penanggung jawab atas urusan rakyat di hadapan Allah. Maka, apakah seseorang yang tidak beriman kepada Allah, tidak takut kepada hari akhir, dan tidak terikat pada syariat-Nya akan mengurus urusan rakyat dengan amanah syar’i?
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam An-Nizhamul Iqtishadi fil Islam bahwa sumber daya alam dan aset strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak merupakan milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang wajib dikelola negara sebagai wakil umat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan atau kendali atas aset ini kepada pihak asing, apalagi menjadikan mereka pengambil keputusan tertinggi.
Solusi atas krisis ini bukan sekadar menolak WNA di kursi direksi, tetapi menghentikan akar persoalan, yakni kapitalisme liberal yang memosisikan negara sebagai operator bisnis dan aset publik sebagai komoditas. Islam menawarkan model pengelolaan aset publik melalui sistem Khilafah Islamiah.
Dalam sistem ini, khalifah tidak tunduk pada investor global, tetapi bertanggung jawab pada Allah Swt untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Ketika kedaulatan ekonomi tunduk pada kapital global, bangsa ini perlahan kehilangan kendali atas rumahnya. Namun ketika syariat kembali ditegakkan, amanah kepemimpinan kembali pada tangan yang takut kepada Allah dan loyal kepada umat.
Kini, pertanyaannya, apakah kita ingin menjadi bangsa yang merdeka secara simbolik tetapi dikendalikan secara ekonomi dari luar? Atau kita siap kembali pada sistem yang memuliakan amanah, menjaga kedaulatan, dan mengembalikan pengelolaan hajat hidup umat kepada tangan yang bertanggung jawab di hadapan Allah?
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis