Di tengah derasnya arus globalisasi dan derasnya teknologi
informasi, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Banyak
lembaga pendidikan berfokus pada pencapaian akademik, peringkat, dan kompetisi
global. Namun, seringkali kita lupa bahwa tujuan sejati pendidikan bukan hanya
mencerdaskan otak, melainkan juga menyucikan hati.
Pendidikan sejati bukan hanya menghasilkan manusia yang
pandai berbicara, tetapi juga bijak bertindak. Bukan hanya mencetak generasi
yang mampu bersaing di dunia, tetapi juga yang siap mempertanggungjawabkan
hidupnya di hadapan Allah. Di sinilah letak perbedaan hakiki antara mengajar
dan mendidik.
Mengajar: Menyampaikan Ilmu
Mengajar adalah proses mentransfer pengetahuan dan
keterampilan dari guru kepada peserta didik. Seorang guru menjelaskan konsep,
memberi contoh, memberikan tugas, lalu mengevaluasi hasil belajar. Dalam proses
ini, yang disasar adalah ranah kognitif—akal dan daya pikir.
Mengajar itu penting, karena tanpa ilmu manusia akan
tersesat dalam ketidaktahuan. Namun, jika berhenti hanya pada tahap mengajar,
maka hasilnya adalah manusia yang cerdas secara intelektual tetapi miskin
secara moral. Ia tahu apa yang benar, tetapi tidak selalu melakukannya. Ia
mengerti teori kebaikan, tetapi tak tergerak untuk berbuat baik.
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu
adalah kesesatan.”
— Imam Al-Ghazali rahimahullah
Mendidik: Menumbuhkan Jiwa
Sementara itu, mendidik memiliki makna yang jauh lebih
dalam. Mendidik bukan hanya mengisi kepala, tetapi menyentuh hati dan membentuk
kepribadian. Ia menuntun manusia untuk mengenal Tuhannya, memahami makna hidup,
dan berperilaku sesuai nilai-nilai adab dan ketakwaan.
Dalam bahasa Arab, kata tarbiyah (pendidikan) berasal dari
akar kata rabba, yang berarti menumbuhkan dan memelihara dengan kasih sayang.
Seorang pendidik sejati adalah seperti petani jiwa, yang menanam benih
kebaikan, menyirami dengan kasih, memupuk dengan doa, dan memanen buah berupa
karakter mulia.
Mendidik berarti menghadirkan keteladanan. Karena sejatinya,
akhlak tidak diajarkan dengan kata-kata, melainkan ditularkan melalui teladan.
Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajar umatnya dengan lisan, tetapi dengan seluruh
perilakunya. Beliau menjadi guru kehidupan, bukan sekadar pengajar.
“Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.”
— HR. Ahmad
Harmoni antara Mengajar dan Mendidik
Mengajar tanpa mendidik akan melahirkan generasi yang pintar
tapi tidak beradab, cerdas tapi tidak jujur, berprestasi tapi kehilangan
nurani.
Sebaliknya, mendidik tanpa mengajar bisa menumbuhkan
semangat baik yang tanpa arah ilmu.
Pendidikan yang ideal adalah ketika ilmu dan adab bersatu,
ketika guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual dan
moral.
Itulah model pendidikan yang diwariskan para ulama terdahulu
— mereka memulai pelajaran dengan menanamkan adab, barulah ilmu.
Imam Malik rahimahullah pernah berkata kepada putranya:
“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Pendidikan Unggul: Beradab, Bertakwa, dan Berwawasan
Global
Pendidikan yang unggul adalah pendidikan yang berakar pada
nilai-nilai ilahiah, berpohon pada ilmu pengetahuan, dan berbuah pada akhlak
yang mulia.
Ia melahirkan manusia yang:
1. Beradab – memahami hierarki kehormatan: menghormati guru,
orang tua, dan sesama.
2. Bertakwa – menjadikan Allah sebagai pusat nilai dan arah
hidup.
3. Berwawasan luas dan global – terbuka pada perkembangan
zaman tanpa kehilangan jati diri keislaman.
Dengan pendidikan yang demikian, akan lahir generasi yang
mampu berdiri tegak di atas dua kaki: satu kaki berpijak di bumi nilai-nilai
ilahi, dan satu kaki melangkah di dunia modern yang terus berubah.
Mereka adalah insan yang tidak hanya berilmu, tetapi juga
berhikmah; tidak hanya berprestasi, tetapi juga berakhlak mulia.
Refleksi Penutup
Mendidik adalah pekerjaan hati. Ia tidak selesai di ruang
kelas, tidak berakhir di ujian akhir, dan tidak bisa digantikan oleh teknologi
secanggih apa pun.
Mendidik berarti membangun manusia secara utuh: akalnya,
hatinya, dan imannya.
Seorang guru sejati bukan hanya mengajar pelajaran, tetapi
menghidupkan nilai kehidupan. Ia bukan hanya memberi informasi, tetapi
menyalakan cahaya dalam jiwa muridnya.
Ketika pendidikan kita kembali berorientasi pada adab dan
ketakwaan, maka bangsa ini akan melahirkan generasi yang bukan hanya berhasil
di dunia, tetapi juga mulia di sisi Allah.
Pendidikan unggul bukan diukur dari ranking dan nilai
ujian, melainkan dari sejauh mana ia menumbuhkan manusia yang beriman,
beradab, dan bermanfaat bagi semesta.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual
dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Jakarta, 16 Oktober 2025, Arya Duta Hotel
Menteng Jakarta Pusat)