TintaSiyasi.id -- 1. Wisuda: Simbol Puncak Perjalanan Ilmu
Wisuda bukan sekadar seremoni atau perayaan akademik. Ia adalah penanda berakhirnya satu fase perjuangan intelektual—proses panjang yang penuh pengorbanan, kerja keras, dan doa. Seorang sarjana tidak hanya dinilai dari seberapa tinggi nilainya, tetapi dari kejujuran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Dalam perspektif Islam, menuntut ilmu adalah ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Maka, wisuda sejatinya adalah syukuran atas ibadah ilmu. Gelar sarjana hanyalah simbol pengakuan dunia, tetapi keberkahan ilmu adalah pengakuan dari langit.
2. Ilmu: Cahaya yang Menuntun, Bukan Hanya Gelar
Dalam perspektif ruhani, ilmu sejati bukan yang hanya menambah wawasan, tetapi yang menuntun kepada ketaatan.
Imam al-Ghazali mengatakan:
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”
Wisuda menjadi momen refleksi:
Apakah ilmu yang diperoleh telah menuntun kepada ketundukan kepada Allah, atau sekadar menjadi alat mengejar dunia?
Seorang sarjana sejati tidak berhenti belajar setelah wisuda. Justru wisuda adalah awal dari pengabdian ilmu—mengajarkan, menginspirasi, dan memberi manfaat bagi umat.
3. Spiritualitas Sarjana: Dari ‘Aql ke Qalb
Dalam pandangan sufistik, manusia memiliki dua pusat kesadaran: akal (‘aql) dan hati (qalb).
Ilmu yang hanya mengisi akal tanpa menyentuh hati akan melahirkan kesombongan; tetapi ilmu yang menembus qalb akan melahirkan hikmah dan tawadhu‘.
Wisuda mengajarkan dua hal:
Tunduk secara intelektual: bahwa ilmu manusia terbatas.
Tunduk secara spiritual: bahwa semua ilmu berasal dari Allah.
Allah berfirman:
“Dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit.”
(QS. Al-Isra’: 85)
Kesadaran ini melahirkan rendah hati dan ketaatan, dua pilar spiritualitas sarjana sejati.
4. Syukur dan Amanah Ilmu
Setiap gelar adalah amanah. Amanah untuk menebar manfaat dan memperbaiki kehidupan manusia.
Seorang sarjana tidak boleh berhenti pada rasa bangga, tetapi harus naik menuju rasa syukur dan tanggung jawab.
Syukur yang sejati bukan hanya ucapan, melainkan pengabdian.
Pengabdian kepada:
Allah, dengan menjadikan ilmu sebagai jalan menuju ridha-Nya.
Umat, dengan menebarkan manfaat, solusi, dan inspirasi.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan katakanlah: ‘Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu.’”
(QS. At-Taubah: 105)
5. Wisuda sebagai Awal Perjalanan Hidup Baru
Secara spiritual, wisuda bukanlah “akhir perjuangan”, melainkan awal kehidupan baru yang lebih luas dan penuh ujian.
Jika di kampus mahasiswa diuji dengan teori dan ujian tertulis, maka di dunia nyata mereka diuji dengan praktik kehidupan — kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan integritas.
Wisuda yang bermakna adalah ketika seseorang menyadari bahwa:
“Gelar bukan tujuan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab besar untuk menjadi cahaya bagi sesama.”
Penutup: Sarjana sebagai Cahaya Ilmu dan Akhlak
Wisuda sarjana dalam perspektif ilmu dan spiritual adalah peristiwa ruhani — pertemuan antara syukur, pengabdian, dan kesadaran diri.
Seorang sarjana sejati bukan hanya orang yang banyak tahu, tetapi orang yang mampu menjadikan ilmunya sebagai jalan menuju Allah dan kemaslahatan umat.
“Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkannya tentang agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan Reflektif:
Gelar adalah pakaian dunia,
Ilmu adalah cahaya akal,
Hikmah adalah hiasan hati,
Tapi hanya dengan niat dan amal,
Seorang sarjana menjadi insan kamil — manusia paripurna di hadapan Allah.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wisuda Sarjana S-1 S-2 dan Dies Maulidiah ke-59 UIT Lirboyo, 26 Oktober 2025)