Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Magang Berbayar Fresh Graduate, Potret Suram Politik Ekonomi Kapitalisme

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 10:45 WIB Last Updated 2025-10-18T03:45:19Z

Tintasiyasi.id.com -- Laporan World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs menyoroti fakta pahit: satu dari tujuh anak muda di China dan Indonesia menganggur. Data ini diungkap CNN Indonesia pada 8 Oktober 2025, menunjukkan bahwa pasar kerja di dua negara dengan ekonomi terbesar di Asia itu masih gagal menyerap lulusan muda yang terus bertambah setiap tahun. 

Krisis ini bukan hanya soal kurangnya lapangan kerja, tapi juga mencerminkan mandeknya roda perekonomian.

Sebagai respons, pemerintah Indonesia meluncurkan program magang berbayar bagi fresh graduate. Menurut Kontan.co.id (2 Oktober 2025), Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan 100.000 peserta hingga akhir tahun. Magang ini menjanjikan gaji setara UMP, berkisar antara Rp3–5 juta per bulan, sebagaimana disebut Bloomberg Technoz (10 Oktober 2025).

Program ini sekilas terlihat sebagai solusi. Namun jika ditelusuri lebih dalam, kebijakan tersebut justru menyingkap wajah suram politik ekonomi kapitalisme—sistem yang menempatkan rakyat sebagai roda produksi, bukan pemilik harta.

Pengangguran dan Ketimpangan Akar Krisis Kapitalisme

Tingginya angka pengangguran bukan semata karena jumlah lulusan yang melebihi lapangan kerja, tetapi karena kekayaan hanya berputar di lingkaran kecil para pemilik modal.

Harta tidak mengalir ke seluruh lapisan rakyat, melainkan terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Akibatnya, aktivitas ekonomi rakyat melambat, daya beli melemah, dan lapangan kerja justru menyusut.

Dalam logika kapitalisme, perusahaan akan selalu berusaha menekan biaya produksi, termasuk ongkos tenaga kerja. Maka, program magang berbayar sesungguhnya menjadi instrumen efisiensi baru—memberi tenaga murah dengan label “pelatihan kerja”. 

Para fresh graduate ditempatkan di posisi sementara, dibayar sekadarnya, tanpa jaminan keberlanjutan. Padahal, akar masalahnya bukan kurangnya skill tenaga kerja, tetapi gagalnya sistem ekonomi dalam mendistribusikan harta secara adil.

Politik Ekonomi Islam: Fokus pada Distribusi Harta

Islam memiliki paradigma ekonomi yang berbeda. Politik ekonomi Islam bukan berorientasi pada pertumbuhan angka, melainkan pada distribusi harta agar setiap individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Rasulullah SAW mencontohkan sistem ekonomi yang berkeadilan—di mana harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya sebagaimana larangan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7:
 “… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Negara dalam sistem Islam berkewajiban menciptakan lapangan kerja bagi laki-laki balig agar ia dapat menafkahi dirinya dan keluarganya. Namun, lapangan kerja bukan berarti sekadar membuka lowongan magang, melainkan menciptakan ekosistem ekonomi yang menumbuhkan aktivitas produktif rakyat secara nyata.

Rasulullah SAW menegakkan tiga konsep kepemilikan harta: milik individu, milik umum, dan milik negara. Ketiganya memiliki peran penting dalam menjaga sirkulasi kekayaan di masyarakat. Negara berfungsi sebagai pengelola harta milik umum, bukan penyerah izin kepada swasta. 

Dari sinilah muncul distribusi yang adil—karena rakyat memiliki akses langsung terhadap sumber daya yang menjadi hak bersama.
Harta Milik Umum sebagai Sumber Kesejahteraan dan Lapangan Kerja
Harta milik umum seperti sungai, laut, hutan, dan tambang adalah aset yang semestinya dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Negara tidak boleh memberikan izin usaha kepada individu atau korporasi untuk menguasai sumber daya itu. Dari hasil pengelolaan harta milik umum, negara bisa membiayai pendidikan dan kesehatan gratis, memperluas infrastruktur sosial, serta menciptakan lapangan kerja di sektor produktif.

Dengan mekanisme ini, rakyat tidak bergantung pada perusahaan atau lembaga magang untuk bekerja. Mereka bisa berdaya secara mandiri dalam sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan, yang semuanya bersumber dari kekayaan umum. 

Jika modal menjadi kendala, Islam mengenal konsep iqtha’, yakni kebijakan negara memberikan lahan atau modal kepada rakyat untuk digarap sebagai sumber penghidupan.

Sedangkan tambang besar yang memerlukan teknologi tinggi wajib dikelola oleh negara. Rakyat menjadi pekerja tetap di sektor ini dengan jaminan kesejahteraan dan perlindungan kerja. 

Tambang yang kecil boleh dikelola langsung oleh rakyat, namun tetap di bawah pengawasan negara untuk mencegah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak publik. 

Dengan mekanisme ini, lapangan kerja tercipta bukan karena belas kasihan korporasi, tetapi sebagai buah dari sistem yang menempatkan kekayaan di tangan umat.

Kembali ke Sistem yang Adil
Magang berbayar mungkin tampak sebagai kebijakan pro-rakyat, tetapi ia hanyalah tambal sulam atas luka struktural ekonomi kapitalisme. Ia tidak menyentuh akar masalah: ketimpangan distribusi harta dan lemahnya peran negara dalam mengelola kekayaan alam.

Islam menawarkan jalan keluar yang mendasar: politik ekonomi berbasis distribusi, bukan eksploitasi. Ketika negara mengambil kembali peran sebagai pengelola harta milik umum dan memastikan hasilnya kembali ke rakyat, maka pengangguran dapat diatasi secara struktural. 

Tidak perlu lagi program magang berbayar untuk menampung lulusan muda, karena setiap orang akan memiliki akses riil terhadap sumber penghidupan.[]

Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update