Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Krisis Iklim Menjelma Menjadi Bencana Katastropi

Rabu, 29 Oktober 2025 | 22:33 WIB Last Updated 2025-10-29T15:33:52Z

TintaSiyasi.id -- Analis Senior dari Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD) Fajar Kurniawan, mengungkapkan, kriris iklim yang terjadi telah menjelma menjadi bencana katastropik yang menyebabkan jutaan jiwa terkena dampaknya dan menyebabkan kerugian ekomi ratusan triliun.

"Krisis iklim telah menjelma menjadi bencana katastropik yang menyebabkan jutaan jiwa terkena dampaknya, dan tahukah kamu kerugian ekonomi Indonesia akibat bencana iklim diperkirakan mencapai 544 triliun rupiah pada rentang tahun 2020 sampai 2024, angka sangat fantastis kan," ungkapnya di akun TikTok fajar.pkad, Senin (20/10/2025).

Ia mengatakan, Wakil Ketua DPR Eddy Soeparno beberapa waktu yang lalu dengan lantang meminta agar krisis ini jadikan prioritas nasional. Akhirnya MPR dan DPR menginisiasi RUU pengelolaan perubahan iklim yang kemudian ditetapkan menjadi Prolegnas tahun 2026. Tetapi dibalik semangat legislasi ini ada kontroversi besar yang terjadi.

"Kontroversi yang mempertanyakan sebenarnya untuk siapa undang-undang ini dibuat, untuk rakyat yang menjadi korban atau untuk oligarki yang menjadi penyebab masalah? Kita melihat ada dua pandangan utama dalam penyusunan regulasi payung hukum ini," ujarnya.

Pertama, pihak yang berpegang pada prinsip pengelolaan perubahan iklim. Pihak yang diwakili oleh inisiator di parlemen ini melihat perubahan iklim sebagai isu teknis strategis semata. Fokusnya adalah pada mitigasi dan adaptasi yaitu bagaimana kita menurunkan emisi untuk mencapai target net zero emission 2060 dan bagaimana kita menyesuaikan diri dengan dampak yang sudah ada.

"Diksi pengelolaan seolah mereduksi masalah ini hanya sebatas teknis seperti mengatur mekanisme perdagangan karbon atau proyek-proyek mitigasi sektoral pendekatan ini beresiko besar mengabaikan akar masalah struktural dari krisis iklim," tambahnya. 

Kedua, adalah pihak yang mengusung prinsip keadilan iklim. Ini adalah suara yang disampaikan oleh aliansi rakyat untuk keadilan iklim (Aruki) yang terdiri dari puluhan organisasi masyarakat sipil. Bagi mereka krisis iklim adalah tragedi keadilan sosial, mereka menolak diksi pengelolaan karena itu mengaburkan akar masalah.

Padahal, krisis iklim ini kalau dicermati adalah bencana politik yang negara seharusnya hadir melindungi kekayaan alam milik rakyat justru membiarkannya dijarah oleh segelintir pemilik modal.

"Jika RUU ini hanya fokus pada pengelolaan teknis tanpa berani menyentuh aspek paradigma ideologis maka RUU ini bukan solusi sebenarnya, UU ini hanyalah izin baru bagi perusakan lingkungan berjubah mitigasi," tegasnya.

Ia menyampaikan padahal, akar masalahnya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran oleh oligarki yang dilegalisasi oleh pemilik kekuasaan.

"Coba kita lihat datanya dalam satu dekade terakhir ada lebih 28 ribu bencana iklim yang membuat 38 juta jiwa terdampak siapa korbannya? Nelayan yang kehilangan tangkapan karena ekosistem laut rusak karena abrasi, petani yang menjerit karena gagal panen akibat cuaca ekstrem," paparnya. 

Kemudian, ia menjelaskan, kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas menanggung beban berlapis saat bencana. 

"Masyarakat sipil mendesak RUU ini harus menyentuh akar dari ketidakadilan itu sendiri, mereka menuntut regulasi mencakup hak gugat bagi korban yang terdampak penyediaan jaminan sosial mereka yang kehilangan mata pencaharian akibat kerusakan lingkungan dan penerapan sanksi hukum yang keras dan tegas kepada korporasi perusahaan lingkungan," pungkasnya.[] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update