TintaSiyasi.id -- Di tengah panasnya krisis ekonomi dan hausnya rakyat akan kesejahteraan, negara kembali menjanjikan oase baru: BLT dan magang nasional. Pemerintah menyebutnya program quick wins — langkah cepat untuk pemulihan ekonomi. Tapi seperti fatamorgana di tengah gurun kapitalisme, janji itu tampak menyejukkan dari jauh, namun kering saat didekati. Rakyat digiring untuk percaya bahwa selembar uang tunai atau masa magang tiga bulan bisa mengubah nasib. Padahal, akar kemiskinan tetap kokoh di bawah gurun sistem yang menolak hukum Allah.
Pada Oktober 2025, Menko Perekonomian mengumumkan stimulus ekonomi berupa BLT sebesar Rp30 triliun bagi 35.046.783 keluarga penerima manfaat (KPM) yang akan disalurkan sepanjang Oktober–Desember 2025. Di waktu bersamaan, Kementerian Ketenagakerjaan meluncurkan Program Magang Nasional bagi 100 ribu fresh graduate yang bekerja sama dengan 451 perusahaan mitra, dengan peluncuran resmi pada 15 Oktober 2025 (kemnaker.go.id, 15/10/2025). Program ini masuk ke dalam daftar quick wins pemerintahan Prabowo–Gibran yang menghabiskan anggaran lebih dari Rp100 triliun (cnnindonesia.com, 22/10/2024).
Sekilas, kebijakan ini tampak penuh empati. Rakyat diberi bantuan, pemuda diberi peluang. Tapi jika ditelusuri, keduanya hanyalah solusi permukaan atas luka yang bernanah. BLT bukan pemberdayaan, melainkan pengakuan terselubung bahwa sistem telah gagal menyediakan kesejahteraan. Sementara magang nasional bukan penciptaan kerja hakiki, melainkan legalisasi tenaga murah untuk industri. Negara sekuler menilai ekonomi dari grafik dan indeks, bukan dari kesejahteraan nyata di rumah-rumah rakyat.
Kapitalisme memang pandai berkamuflase. Di balik istilah “stimulus” dan “percepatan,” tersimpan watak sistem yang pragmatis dan tak berprinsip. Solusi ekonomi diposisikan sebagai alat politik, bukan amanah kepemimpinan. Rakyat dibuat bergantung, sementara korporasi dibiarkan menguasai sumber daya. BLT hanyalah “uang tenang” agar rakyat tetap patuh, bukan strategi untuk menghapus kemiskinan dari akarnya.
Padahal Islam memandang ekonomi bukan sekadar urusan angka dan manfaat sesaat, melainkan urusan amanah dan keadilan. Dalam paradigma khilafah, negara bukan pengatur pasar, tetapi pelayan rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari sabda ini lahir prinsip dasar bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat bukanlah program, tapi kewajiban. Negara tidak cukup memberi “bantuan tunai,” tapi harus memastikan setiap individu memiliki akses riil pada kebutuhan pokok: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam sistem ekonomi Islam, sumber kekayaan strategis seperti tambang, air, minyak, dan hutan adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh diserahkan ke swasta atau asing. Negara wajib mengelola dan mendistribusikan hasilnya bagi kemaslahatan umat. Dari sinilah negara memperoleh pendapatan besar tanpa harus menarik pajak berlapis atau berutang. Pendapatan dari harta milik umum digunakan untuk membangun layanan publik, membuka lapangan kerja produktif, serta memastikan distribusi kekayaan yang adil.
Kita punya sejarah yang hidup dari prinsip ini.
Ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab menghadapi krisis pangan (tahun Ramadah), beliau tidak menyalurkan “BLT” atau “bansos tunai.” Beliau mendirikan dapur umum, mengirim bahan makanan ke setiap daerah, dan menunda penarikan zakat hingga krisis berakhir. Negara hadir langsung mengatasi kesulitan rakyatnya, bukan dengan uang hibah, tapi dengan tanggung jawab politik. Bahkan Umar menolak makan daging sampai rakyatnya kenyang kembali — sebuah potret pemimpin yang tidak berjarak dari penderitaan rakyat.
Sementara di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kesejahteraan mencapai puncaknya. Negara mengelola zakat, fai’, dan hasil sumber daya dengan transparan. Hingga tak ada lagi mustahiq zakat di wilayah Afrika Utara karena semua rakyat sudah berkecukupan. Aparat baitul mal sampai kebingungan menyalurkan harta zakat karena rakyatnya tak lagi miskin. Itulah hasil dari sistem yang berpijak pada iman, bukan pada indeks inflasi.
Berbeda jauh dengan kapitalisme, yang menjadikan rakyat objek statistik. Dalam paradigma khilafah, pengangguran diatasi dengan kebijakan riil: tanah yang tidak digarap lebih dari tiga tahun akan diberikan kepada yang mampu mengelolanya; negara mendorong produksi sektor riil — pertanian, peternakan, dan industri dasar — bukan spekulasi pasar. Semua kebijakan ini memastikan manusia produktif, bukan sekadar “dipelihara” lewat bantuan tunai.
Sebab itu, BLT dan magang nasional sejatinya hanyalah fatamorgana di gurun kapitalisme — nampak menolong, tapi menyesatkan arah. Ia tidak memadamkan dahaga rakyat, hanya memperpanjang langkah dalam kebingungan. Negara yang berpijak pada sistem sekuler takkan pernah mampu menyejahterakan rakyat, karena ia tunduk pada pasar, bukan pada Tuhan.
Allah ﷻ telah mengingatkan:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”
(QS. Al-A‘raf: 96)
Maka keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan ekonomi tak akan lahir dari stimulus dan quick wins, tapi dari iman yang menegakkan sistem ilahi. Selama negeri ini masih bernaung di bawah gurun kapitalisme, BLT hanyalah oase semu — menyilaukan, tapi menipu.
Wallahu a‘lam
Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua