Tintasiyasi.id.com -- Olahan Data tim Jurnalisme Data dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 ada 15,9 Juta anak atau setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun yang berpotensi mengalami Fatherless.
Sebanyak 4,4 juta karena tidak tinggal bersama ayah. Adapun 11,5 juta anak karena ayahnya sibuk bekerja atau separuh harinya lebih banyak bekerja di luar rumah (Kompas.id/10 Oktober 2025).
Kondisi sosial ini memunculkan solidaritas sosial melalui Instagram Komunitas Satu Meja Makan yang dibentuk April 2025 sebagai komunitas pendukung tanpa figur ayah. "Meminjamkan Ayah" menjadi bentuk empati untuk memenuhi anggota komunitas untuk merasakan kehadiran sang ayah yang tidak mereka dapatkan di rumah.
Dampak Fatherless menurut hasil survei kualitatif 16 Psikolog Klinis jangan dianggap remeh. Ada 8 antara lain sulit berinteraksi sosial, tidak percaya diri, gangguan perilaku seksual, motivasi akademik rendah. Emosi dan mental tidak stabil, krisis identitas, pergaulan bebas dan kenakalan remaja (Kompas.id/10 Oktober 2025).
Fatherless dilatarbelakangi secara dominan oleh sebab kesibukan mencari nafkah dan ketidakhadiran sosok ayah sebagai pendidik. Anak seratus persen dibebankan pada sosok ibu. Mulai dari pemenuhan fisik sampai pengajaran. Sosok ayah hanya sebagai pelengkap bukan pemain utama dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Kondisi ini lahir dari sistem hidup kapitalistik, para ayah tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah. Sehingga waktu untuk membersamai anak minim.
Pikiran, tenaga, dan waktu hanya difokuskan pada bagaimana agar dapur tetep "ngebul". Pemasukan lebih besar dibandingkan pengeluaran. Gaji yang didapat tidak cukup untuk kebutuhan pokok. Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin menjauhkan anak dari prioritas ayah.
Tidak hanya itu paham sekularisme yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan membuat hilangnya fungsi qawwam dalam diri para ayah, baik sebagai pemberi nafkah dan pemberi rasa aman bagi anak.
Banyak "pria" yang menjadi "ayah" apa adanya sebagai konsekuensi menikah. Tidak sedikit yang mendapat peran dadakan karena salah pergaulan. Akhirnya mereka menjadi ayah yang tidak bertanggungjawab.
Mereka jauh dari pemahaman agama yang mengatur hak dan kewajiban laki laki. Islam hanya mengatur wilayah ibadah ritual saja, sedang urusan kehidupan berjalan sesuai pemahaman masing-masing.
Kesempurnaan Islam nampak dalam sistem pergaulan yang menjelaskan ayah dan ibu sama-sama punya fungsi penting. Ayah bertanggung jawab dalam nafkah. Ayah juga menjadi teladan dalam pendidikan anak (teladan kisah Lukman).
Disisi lain ibu juga punya peran penting dalam hal mengasuh, menyusui, mendidik dan mengatur rumah tangga. Mereka berkolaborasi mencetak generasi penerus yang takut Tuhannya, meneladani RasulNya, mencintai agamanya dan berbakti pada orang tuanya. Namun tidak cukup pada sosok ayah dan ibu saja, ada peran negara didalamnya.
Negara sebagai pihak yang dibebani menjalankan syari'at Allah (Khilafah) akan mensupport peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah layak. Upah yang cukup menghidupi keluarga secara layak, bukan upah standar hidup satu orang.
Selain itu memberikan jaminan kehidupan berupa tersedianya alat pemenuhan kebutuhan pokok manusia secara merata dan terjangkau. Ditambah akses pendidikan dan fasilitas kesehatan yang bisa dijangkau secara merata tanpa kasta finansial. Sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak.
Membersamai tumbuh kembang anak tanpa terlewati. Anak pun akan dekat secara fisik dan psikologis dengan ayahnya. Ayah ibu menjadi sosok pertama yang akan dipercayai anak.
Saat seseorang kehilangan ayahnya, Sistem perwalian dalam Islam akan menjamin setiap anak akan tetap memiliki figur ayah. Figur ayah didapat dari pihak atas (kakek) maupun dari saudara ayah seperti paman.
Jadi dalam Islam tidak ada generasi kurang kasih sayang ayah. Fatherless merupakan buah busuk dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme yang saat ini diterapkan diseluruh negri muslim. Waallahualam bishawwab.[]
Oleh: Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalistik-Sekuler
Oleh: Mamuroha vidya anggreyani
(Aktivis Muslimah)