Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Cegah Fatherless Buah Penerapan Sistem Sekuler Kapitalis

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 06:06 WIB Last Updated 2025-10-24T23:06:53Z

Tintasiyasi.id.com -- Fatherless! Istilah yang belakangan ini muncul untuk menunjukkan suatu fenomena dalam kehidupan keluarga yang kehilangan peran utama seorang ayah. Meskipun sosok ayah berada dalam keluarga, tetapi kehadirannya tidak terasa bak ruang hampa. 

Fatherless tidak bicara tentang ketiadaan sosok ayah secara fisik misalnya meninggal dunia.
Fenomena fatherless dikabarkan mulai menjamur di Indonesia. Kabar tersebut tentu mengundang kekhawatiran masyarakat. 

Menurut analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. 

Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional badan Pusat Statistik Maret 2024. Analisis ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Wihaji. 

Mengutip data UNICEF, Wihaji menyebut pada 2021 sebanyak 20,9 persen anak Indonesia fatherless. Artinya, seperlima anak di Indonesia kehilangan sosok ayah yang memengaruhi pembentukan karakter, daya tahan, daya tarung, dan hal-hal yang berkenaan dengan kepemimpinan (Voi.id, 1/10/2025).

Data VOI juga dirilis dalam RRI yang melansir dari laman instagram @tentanganak_id memberitakan, bahwa sebanyak 20,1% atau sekitar 15,9 juta anak Indonesia berpotensi tumbuh dengan mengalami fatherless (rri.co.id, Selasa 14/1/2025).

Data-data yang begitu besar tidak boleh dianggap hanya sekedar angka atau nominal tanpa arti. Sebab angka tersebut menunjukkan jumlah jiwa generasi yang terancam tumbuh dengan fenomena fatherless. 

Sementara untuk mengawal tumbuh kembang seorang anak dengan sempurna, haruslah berada dalam bimbingan seorang ayah jika wujudnya masih berada diantara keluarganya.

Sekulerisme - Kapitalis Melahirkan Tragedi Fatherless

Semakin maraknya potensi fatherless yang menimpa keluarga khususnya di Indonesia, layak menjadi perhatian khusus semua kalangan terlebih sosok ayahnya sendiri.

Akan tetapi, tanggung jawab terbesar untuk menghentikan situasi ini ada di pundak negara. Sebab tragedi fatherless tidak muncul otomatis begitu saja tanpa adanya perjalanan ataupun proses yang sebelumnya dilalui. 

Serta adanya berbagai faktor yang menyebabkan fatherless. Jika ditelusuri secara faktual, ada beberapa faktor yang patut diduga sebagai latar belakang tingginya potensi fatherless di Indonesia.

Pertama, alasan ekonomi. Pemandangan keluarga yang ditinggal oleh suami atau seorang ayah dengan alasan keluarga dalam rentang waktu yang lama dan bahkan tidak dapat dipastikan, bukan hal baru di negeri ini. Hingga keadaan demikian dianggap lumrah jika alasannya adalah demi pekerjaan sebagai tanggung jawab seorang suami atau ayah terhadap keluarganya.

Seorang ayah terkadang hanya pulang sekali sebulan, bahkan bisa jadi ada yang hanya sekali setahun bertemu dengan anak-anaknya. Bagaimana mungkin ia akan mampu menjalin kedekatan emosional dengan buah hatinya jika untuk bertemu saja sangat sulit. 

Meskipun secara fisik mereka ada, tetapi kehadirannya tidak dapat dirasakan oleh anak-anak. Walhasil, anak-anak hanya mengenal sosok ayahnya dari handphone atau gambar. Selebihnya, anak-anak menganggap antara ada dan tiada.

Kedua, bisa juga disebabkan oleh salah kaprah pemahaman terhadap fungsi seorang ayah dalam keluarga. Pada kasus budaya tertentu, model patriarki yang menggambarkan sosok suami atau ayah adalah raja masih banyak terjadi.

Ayah dipandang sebagai orang yang sudah sangat lelah bekerja dan tidak punya tanggung jawab lagi untuk urusan anak-anaknya. Pulang kerja, makan, tidur, handphone, atau terkadang melanjutkan pekerjaan lagi. Bahkan ayah digambarkan sebagai sosok kejam dan bukan tempat bermanja dengan anak-anaknya.

Ketiga, disfungsi ayah juga tidak lepas dari kurangnya pemahaman tabu sebagian masyarakat yang menganggap kedekatan anak dengan ayah khususnya anak perempuan adalah marabahaya. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus inses membuat masyarakat semakin yakin bahwa ayah dan anak tidak boleh didekatkan.

Namun, jika diteliti lagi lebih dalam, faktor-faktor faktual tersebut disebabkan oleh satu persoalan dasar yaitu Sekuler-kapitalisme. Paham yang memisahkan aturan Islam dengan kehidupan termasuk berkeluarga menjadi persoalan utamanya.

Sekulerisme -kapitalis mengajarkan seorang ayah tidak perlu belajar tanggung jawab terhadap keluarganya berdasarkan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Banyak para lelaki yang siap mengucapkan ijab kabul pernikahan, tetapi buntu dalam ilmu kepemimpinan rumah tangga.

Kehidupan di tengah-tengah masyarakat juga demikian. Masyarakat tidak lagi memandang laki-laki harus punya pemahaman Islam yang benar sebagai pemimpin dalam rumah tangga. 

Seperti memahami kewajiban ayah dan suami, menjadi pelindung bagi anggota keluarga, dan sebagai perisai dari api neraka.
Di sisi lain, negara juga mandul dalam menerapkan aturan yang mencegah terjadinya fatherless atau disfungsi ayah. 

Padahal, ayah adalah sosok pemimpin yang sejatinya hadir di tengah-tengah keluarga dan memaksimalkan perannya membentuk generasi tangguh dan calon pemimpin masa depan.
Ironisnya, negara justru mencipta kondisikan kehidupan keluarga sekuler kapitalis yang berlomba-lomba mengejar materi walaupun harus meninggalkan keluarganya. 

Meskipun pada faktanya, keluarga yang fatherless dengan alasan pekerjaan juga mayoritas tak kunjung sejahtera. Negara seharusnya memikirkan cara untuk menyatukan keluarga yang terpisah karena pekerjaan dan juga mengatur jam kerja dari semua pekerjaan. 

Agar mereka tidak mengabaikan hak-hak keluarganya.
Syari'at Islam Cegah Fatherless
Sebagai aturan hidup yang sempurna (rule of life), Islam tidak kehabisan solusi dalam menyelesaikan problematika kehidupan manusia. Tidak terkecuali menyelesaikan problematika keluarga.

Islam memandang bahwa keluarga adalah bangunan yang harus didirikan dengan kokoh dan visioner. Karena fungsi keluarga dalam Islam adalah untuk menjaga generasi dengan membangun ketakwaan mereka yang dimulai dari rumahnya.

Tidak seperti bangunan keluarga dalam perspektif sekuler yang hanya berfungsi untuk melestarikan prudusen material. Manusia hanya dipandang sebagai bagian produksi yang bernilai rendah sebatas kepingan - kepingan rupiah.

Islam bukan hanya memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran hukum, tetapi juga menyiapkan langkah-langkah pencegahan (kuratif) demi mengurangi pelaksanaan sanksi. Begitu juga dengan fenomena sosial, Islam memiliki sistem pergaulan yang jikalau diterapkan akan menjaga keselamatan masyarakat, keluarga, serta individu.

Salah satu maqasid as-syariah Islam adalah menjadi kelangsungan hidup manusia dengan membentuk keluarga. Keluarga terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak-anak. Ketiganya terhubung sesuai dengan aturan yang diterapkan dalam keluarga.
Islam mengajarkan seorang ayah sebagai qowwam (pemimpin) dalam keluarga. 

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ

"Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya."

Tugas utama seorang ayah atau suami dalam rumah tangga adalah sebagai penanggung jawab atas kebutuhan dan keselamatan seluruh anggota keluarga. Artinya, kebutuhan fisik, dan jaminan jiwa anggota keluarga ada di pundak kepala keluarga.

Maka seorang ayah harus bisa memastikan seluruh kebutuhan keluarganya terpenuhi dengan ma'ruf. Khususnya dalam persoalan jaminan keselamatan jiwa anak-anak yang harus dilindungi dengan tidak mengabaikannya.

Rasulullah Saw adalah teladan terbaik sebagai seorang ayah sepanjang masa. Keteladanan Beliau tercermin dalam sikapnya sehari-hari berinteraksi dengan anak-anaknya. Terlebih kepada putrinya Fatimah Az-Zahra yang banyak diriwayatkan oleh para ulama.

Rasulullah Saw sangat mencintai putrinya dan sering mencium serta memeluknya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, rumah Fatimah Az-Zahra adalah tempat yang paling disukai Rasulullah untuk dikunjungi tatkala Beliau sedang butuh renungan. Beliau juga menjadikan Fatimah sebagai teman diskusi pada saat-saat tertentu.

Kesibukan Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara, tidak membuatnya lupa dengan tanggung jawab pribadinya sebagai seorang ayah. Begitupun hingga cucu Beliau lahir, sering membersamainya.

Islam mengajarkan bahwa cinta, kasih sayang, dan perlakuan terbaik seseorang yang paling pantas diberikan adalah untuk keluarga intinya. Sehingga di masa Islam, sangat jarang terdengar kasus-kasus yang mengerikan seperti di zaman sekuler kapitalis sekarang.

Peran maksimal seorang ayah tentunya harus ditopang oleh lingkungan. Sekalipun seorang lelaki telah belajar menjadi sosok suami atau ayah panutan, tetapi ia harus pergi meninggalkan keluarganya dalam waktu yang tidak ditentukan, maka disinilah perlunya kebijakan dari negara untuk mengaturnya.

Alkisah, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada putrinya tentang lamanya waktu seorang istri tahan ditinggal jauh suaminya hingga tidak sampai menzalimi kebutuhannya lahir dan batin, maka putri Umar bin Khattab menunjukkan tiga jarinya yang mengisyaratkan tiga bulan.

Kemudian Umar sebagai kepala negara (Khalifah) saat itu, membuat kebijakan bagi kaum pria yaitu suami dan ayah hanya boleh berada dalam masa tugas jihad luar Madina tidak lebih dari tiga bulan.

Betapa sigapnya Umar dalam memahami kebutuhan psikis rakyatnya hingga persoalan nafkah jiwa seperti kebersamaan dan kasih sayang yang butuh penyaluran juga menjadi tanggung jawabnya.

Di sisi lain, dalam Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan membuka peluang bagi asing untuk menguasai sumber daya alam kaum Muslim. Karena Islam mengajarkan bahwa negaralah yang wajib mengelolanya.

Dengan demikian, akan terbuka kesempatan kerja yang luas di setiap daerah tanpa harus meninggalkan keluarganya. Bahkan, Islam akan menerapkan berbagai cara dalam memperoleh harta kekayaan individu selain bekerja.

Dan semua cara itu tidak membuat anak-anak mengalami fatherless (disfungsi) sosok ayah. Sehingga ayah bisa terus memenuhi tanggung jawab nafkah keluarga tanpa mengabaikan kebutuhan naluri anggota keluarganya.

Demikianlah Islam membangun peran ayah yang sangat penting dalam membersamai tumbuh kembang anak-anaknya. Tentu saja, anak-anak yang tumbuh bersama kedua orang tua di samping mereka apalagi dekat, maka anak-anak lebih cenderung mudah diarahkan dan tertib dalam menjalani kehidupan.

Oleh karena itu, Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengentaskan tragedi fatherless yang dilahirkan oleh sekuler kapitalisme. Tanpa penerapan Islam yang totalitas, maka kasus-kasus keluarga lainnya termasuk fatherless sulit diakhiri. 

Bahkan hampir tidak mungkin. Karena justru bisa melahirkan kasus-kasus baru yang tidak kalah buruk. Nauzubillah min zaalik. Allahu a'alam bishshawwab.[]

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam (Analis Mutiara Umat Institute)

Opini

×
Berita Terbaru Update