TintaSiyasi.id -- Kasus pembunuhan dengan sadis hingga memutilasi makin marak terjadi. Bahkan kasus yang terbaru, dilansir detik.com (8-9-2025), seorang pemuda bernama Alvi Maulana (24) telah membunuh dan memutilasi pacarnya, TAS (25).
Kasus tragis ini terjadi di kos pelaku di Jalan Raya Lidah Wetan, Kelurahan Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya, pada hari Minggu (31-8-2025). Selama 5 tahun pelaku dan korban sudah tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan di kos tersebut. Semua berawal karena pelaku tidak dibukakan pintu kos dan banyaknya tuntutan ekonomi dari korban, akhirnya pelaku marah dan berbuat nekat. Setelah menghabisi nyawa korban, pelaku membuang ratusan potongan tubuhnya ke daerah Pacet, Mojokerto.
Miris ya. Nyawa manusia seolah tidak ada harganya. Hanya karena masalah percintaan, ekonomi, utang, dan lainnya, nyawa dengan mudah melayang. Mirisnya lagi, tragedi ini menyisakan fakta tren kehidupan bebas generasi muda saat ini, yakni living together atau biasa dikenal kumpul kebo. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Penerapan Sistem Sekulerisme
Maraknya pembunuhan secara sadis menggambarkan rusaknya pemikiran manusia hari ini. Sekulerisme inilah yang menjadi biang rusaknya pemikiran. Sekulerisme telah mencabut dan menjauhkan nilai-nilai agama (Islam) pada setiap individu. Oleh karena itu, mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak lagi memiliki perisai untuk mencegah perbuatan maksiat. Perisai sebagai alat kontrol dalam berperilaku.
Sistem sekulerisme menyebabkan orang tidak takut dosa dan murka Allah, sehingga mereka enteng dalam bertindak kriminal, termasuk membunuh. Ketika melakukan tindak kriminal, mereka hanya takut dipenjara daripada siksa neraka. Bahkan, gambaran surga dan neraka seolah jauh dari realitas kehidupan. Inilah akibat penerapan sistem sekulerisme.
Dalam sekulerisme, tujuan hidupnya adalah kepuasan tanpa peduli halal, haram, benar, dan salah. Ketika realitas hidup tidak sesuai keinginannya, ia bisa melampiaskan kemarahannya dengan apa pun sesuka hatinya, termasuk dengan menghilangkan nyawa seseorang.
Menormalisasi Pergaulan Bebas
Tragedi mengerikan ini bukanlah kasus tunggal. Ia merupakan gambaran dari pergaulan bebas dan kohabitasi, atau biasa dikenal kumpul kebo, dari generasi muda. Sistem sekulerisme melahirkan liberalisme, paham yang menjunjung tinggi nilai kebebasan. Oleh karena itu, mereka menganggap tinggal bersama tanpa pernikahan merupakan bentuk dari ekspresi hak pribadi.
Usia remaja yang terdorong menjalani hubungan layaknya suami istri, sebenarnya belum siap secara mental, emosional, dan finansial. Walaupun mereka sudah hidup bersama selama 5 tahun, hubungan seperti ini rapuh dan rawan. Mengapa demikian? Karena hubungan tanpa pernikahan tentu tidak ada komitmen yang kuat dan tanggung jawab yang pasti dari pihak laki-laki. Oleh karena itu, ketika masalah muncul, hubungan mudah berakhir dan kekerasan mudah terjadi.
Kalau kita mau berpikir, sebenarnya kasus kohabitasi banyak merugikan pihak perempuan. Mereka tidak mendapat perlindungan, kehilangan kehormatan, banyak mendapat tekanan mental, dan berakhir tragis. Sementara itu, laki-laki hidup bebas tanpa ada tanggung jawab yang jelas. Kohabitasi tidak hanya menimbulkan kerusakan individu, tetapi juga menjadi racun pemikiran remaja yang lain. Akan muncul anggapan ikatan pernikahan itu tidaklah penting dan menormalisasi zina. Inilah benih kerusakan dari liberalisme yang tumbuh di negeri ini.
Di sisi lain, masyarakat juga sudah kehilangan kontrol bahkan seolah menormalisasi perilaku menyimpang dengan dalih hak pribadi. Sementara itu, aparat hukum seolah tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada hukum yang mengatur pergaulan bebas. Orang tua juga tidak bisa mencegah anak berbuat menyimpang, karena lingkungan masyarakat, negara, dan sistem tidak mendukung untuk membentuk keluarga yang ideal sesuai hukum syara’. Begitu juga dengan lembaga pendidikan, kurikulum yang digunakan hanya fokus pada prestasi akademik, bukan membentuk kepribadian yang baik.
Perlindungan Islam
Berbeda dengan Islam. Islam tidak mencabut dan menjauhkan nilai-nilai agama (Islam) pada setiap individu. Ketika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh oleh negara (Khilafah), semua perbuatan maksiat dan kejahatan, termasuk pembunuhan, bisa dicegah. Islam memandang nyawa manusia merupakan anugerah Allah yang sangat berharga dan akan dilindungi oleh negara. Karena begitu berharganya, Allah dan Rasul-Nya mengancam keras pelaku pembunuhan, terutama kepada kaum Muslim.
Sebagaimana Allah menegaskan dalam Qur’an surah An-Nisa ayat 93, yang artinya:
“Siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya ialah neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutuk dia, dan menyediakan bagi dirinya azab yang besar.”
Oleh karena itu, untuk mencegah kejahatan berupa pembunuhan, negara Islam (Khilafah) memberikan sanksi yang tegas berupa hukum qishash sesuai firman Allah dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 178. Hukum qishash merupakan hukuman setimpal. Dalam kasus pembunuhan, maka hukumannya adalah hukuman mati. Akan tetapi, jika pihak keluarga korban tidak menghendaki hukum qishash, mereka bisa menuntut pembayaran diat (tebusan) atau memaafkannya. Dengan adanya hukuman demikian, pembunuhan bisa dicegah, memberi efek jera, dan sebagai penebus dosa.
Zina Haram
Kalau kita perhatikan, kohabitasi itu sama saja dengan perbuatan mendekati zina, bukan? Karena berduaan dengan yang bukan mahram, tidur bersama, dan tinggal bareng dalam satu atap merupakan perbuatan yang akan membuka celah untuk melakukan hal yang diharamkan. Padahal sudah jelas Allah berfirman dalam Qur’an surah Al-Isra ayat 32, yang artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
Dari ayat tersebut sudah jelas Allah melarang perbuatan yang mendekati zina. Karena zina merupakan perbuatan yang sangat buruk. Oleh karena itu, untuk mencegah perbuatan zina ada tiga langkah efektif yang perlu dilakukan.
Pertama, membekali diri dengan akidah Islam. Dengan mengkaji dan memahami kebenaran ajaran Islam, akan mendorong keterikatan dengan hukum Islam.
Kedua, adanya kontrol masyarakat. Sikap masyarakat di sini sangat penting. Ketika masyarakat mau menegur, mengingatkan orang-orang yang berbuat menyimpang, maka akan mencegah meluasnya penyimpangan tersebut. Sebaliknya, ketika masyarakat abai dengan lingkungan sekitar, bahkan menormalisasi perbuatan menyimpang, maka penyimpangan akan meluas dan kerusakan terjadi di mana-mana.
Ketiga, adanya penerapan aturan Islam oleh negara. Ketika aturan Islam diterapkan, semua masalah teratasi dan semua kejahatan bisa dicegah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Rasti Astria
Aktivis Muslimah