TintaSiyasi.id -- Publik dibuat terkejut ketika mengetahui bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp100 juta per bulan. BeritaSatu (20 Agustus 2024) menulis, “Total gaji dan tunjangan anggota DPR mencapai sekitar Rp100 juta per bulan. Jumlah ini dinilai menyakiti hati rakyat yang masih bergelut dengan kesulitan ekonomi.” Jumlah yang fantastik ini seakan menampar wajah rakyat kecil yang tiap hari berjibaku dengan harga kebutuhan pokok yang terus meroket.
Tidak berhenti di situ, berbagai tunjangan lain pun turut menyertai. Tempo (22 Agustus 2024) mengungkapkan, “Anggota DPR juga mendapat tunjangan bensin Rp7 juta per bulan dan tunjangan beras Rp12 juta per bulan, selain berbagai fasilitas lain yang sudah disediakan negara.” Sementara BBC Indonesia (23 Agustus 2024) mengutip pandangan pengamat yang menilai, “Pendapatan fantastis tersebut tidak sepadan dengan kinerja DPR yang kerap mengecewakan publik.”
Ketidakpuasan rakyat terhadap DPR bukanlah cerita baru. Tingkat kehadiran anggota dewan yang sering rendah, kualitas undang-undang yang sering bermasalah, hingga banyaknya legislator yang terjerat kasus korupsi semakin menguatkan kesan bahwa posisi mereka lebih sering menjadi privilege ketimbang amanah. Maka, pertanyaan besar pun mencuat: bagaimana mungkin di tengah ekonomi yang seret, wakil rakyat justru hidup dengan fasilitas mewah dari uang rakyat sendiri?
Jawabannya bisa ditemukan pada sistem yang menaungi kehidupan politik hari ini, yakni demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, kesenjangan adalah sesuatu yang wajar. Politik dijalankan dengan logika transaksional, di mana jabatan menjadi alat investasi. Biaya besar yang dikeluarkan sejak kampanye hingga negosiasi politik membuat banyak politisi menganggap kursi DPR sebagai jalan untuk mengembalikan modal dan meraup keuntungan. Dari sanalah muncul keputusan-keputusan yang justru menguntungkan mereka sendiri, termasuk soal gaji dan tunjangan.
Di bawah kerangka berpikir kapitalistik, jabatan lebih sering dipandang sebagai privilege, bukan amanah. Orientasi materi membuat empati terhadap rakyat terkikis. Tak heran jika publik mendapati anggota DPR yang tidur saat rapat, absen dalam sidang, atau terlibat skandal korupsi. Semua itu menandakan bahwa jabatan telah bergeser maknanya: bukan lagi sarana mengabdi, melainkan sarana memperkaya diri.
Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang wakil rakyat. Dalam sistem Islam, ada lembaga bernama Majelis Umat. Anggotanya dipilih untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan kepada Khalifah. Namun, mereka tidak memiliki kewenangan membuat hukum atau menetapkan anggaran untuk kepentingan pribadi. Aturan sudah ditetapkan Allah melalui syariat, sehingga jabatan hanya dimaknai sebagai sarana menyalurkan suara umat, bukan alat memperkaya diri.
Islam menempatkan setiap jabatan sebagai amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari–Muslim). Kesadaran ini menjadikan seorang pejabat dalam Islam tak berani bermain-main dengan fasilitas negara, apalagi menjadikan jabatannya sebagai sumber kemewahan. Keimanan menjadi benteng yang mengikat mereka pada aturan syariat, sehingga mereka hanya berfokus pada kepentingan umat.
Jika dalam demokrasi kapitalisme kesenjangan dan ketidakadilan adalah keniscayaan, maka dalam Islam, pelayanan terhadap umat justru menjadi tujuan utama. Anggota Majelis Umat didorong oleh semangat fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berlomba-lomba dalam menumpuk kekayaan. Dengan begitu, jabatan tidak lagi dilihat sebagai jalan pintas menuju kemewahan, melainkan sebagai amanah mulia untuk memperjuangkan kesejahteraan umat.
Dari sini kita bisa melihat, polemik tunjangan fantastis DPR sejatinya bukan hanya masalah teknis besaran gaji, melainkan masalah sistem. Selama demokrasi kapitalisme dipertahankan, praktik politik transaksional, privilege jabatan, dan pengkhianatan amanah akan terus berulang. Mengurangi tunjangan atau membuat aturan baru tidak akan menyentuh akar persoalan.
Akar itu hanya bisa diselesaikan jika kita mengganti asas yang melandasi politik. Islam menawarkan sistem yang bersumber dari wahyu, bukan dari kepentingan manusia. Dengan menjadikan syariat sebagai pedoman, setiap pejabat akan sadar bahwa jabatannya adalah amanah, bukan privilege. Mereka tak akan berani menyalahgunakan wewenang, sebab kelak akan dimintai hisab di hadapan Allah.
Karena itu, solusi bagi persoalan ini bukanlah sekadar wacana pemotongan gaji atau tuntutan moral kepada DPR. Solusi sejati adalah perubahan sistemik—menanggalkan demokrasi kapitalisme yang melahirkan kesenjangan, lalu kembali kepada sistem Islam yang menegakkan keadilan. Hanya dengan itu, kita bisa berharap memiliki wakil rakyat yang benar-benar menjadi wakil umat, bukan wakil kepentingan pribadi.
Oleh: Prayudisti. SP
Aktivis Muslimah