Topswara.com -- Merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat, Pengamat Politik Dr. Riyan mengatakan, tidak layak dan ini kenunjukkan inkompetensi.
"Tidak layak dan tentu ini (menyamakan pajak dengan zakat) adalah menunjukkan inkompetensi dari seorang menteri keuangan," ungkapnya di akun YouTube Khilafah News, Kamis (21/8/2025), Pernyataan Menkeu Manipulatif?
Menyamakan pajak dengan zakat, kata Riyan, merupakan cara berpikir para pejabat yang justru manipulatif.
"Pertama saya kira jadi sangat tidak layak, tidak kredibel kalau seorang pejabat publik dalam konteks keuangan menyamakan antara pajak dan zakat. Kedua faktanya pajak dengan zakat itu adalah yang berbeda. Pajak konteksnya adalah pada wilayah publik. Sementara zakat itu adalah wilayah personal, karena itu adalah merupakan kewajiban dari agama," paparnya.
Sehingga, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Menkeu terkontaminasi dengan paham sekularistik, yang memisahkan agama dari kehidupan. Maksudnya, kalau konsisten dengan cara berpikir yang sekuler tentu saja tidak mengkaitkan itu (pajak) dengan agama. Tetapi yang terjadi dia tidak konsisten, ketika dia butuh pemasukan yang besar maka kemudian dia cari legitimasi, sebenarnya (dia) menjual agama untuk kemudian hal-hal yang justru sebenarnya itu tidak seperti aturan agama terkait dengan persoalan pajak," cecarnya.
Zakat dan Pajak
Ia menjelaskan, zakat sifatnya personal dan memiliki syarat dan ketentuan. Misalnya haul dan nisab, sehingga konteksnya adalah ibadah.
"Haul masa harta itu mengendap yang kedua itu adalah nisabnya itu adalah batas minimal (pengeluaran zakat) sehingga dalam konteks agama Islam zakat adalah terkait dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sementara di dalam Islam," jelasnya.
Pajak tidak dikenal dalam konteks tax seperti sekarang ini, tax dalam Islam disebut dharibah, yakni pungutan yang diatur oleh agama tetapi hanya dalam keadaan kas negara kosong, dan hanya diterapkan (dipungut) oleh atau untuk orang-orang yang memiliki kemampuan saja dan muslim, dalam konteks Daulah Islam atau sistem Islam.
"Saya melihat ada kesalahan yang lebih fatal, menteri ini tidak memahami tentang perbedaan antara tax atau pajak dalam konteks hari ini yang sekularistik kapitalistik, sementara di dalam Islam walaupun ada aturan terkait dengan itu (dharibah) tidak bisa kemudian otomatis disampaikan sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa di dalam Islam itu pajak adalah bagian dari ibadah ya kalau yang dimaksud itu adalah tax yang sekarang itu jelas kehilangan relevansinya, manipulatif, tetapi kalau yang dimaksud itu adalah dharibah dan itu berarti tidak sama dengan pajak yang dipraktekkan sekarang yang rutin dilakukan setiap waktu tertentu kepada badan tertentu, baik orang maupun perusahaan itu jelas tindakan yang manipulatif," paparnya.
Ia mengatakan, kejadian inilah yang membuat MUI menegur posisi Menteri Keuangan. "Sebenarnya blundernya jadi berlipat-lipat, dari sisi substansinya yaitu pernyataannya tadi itu kemudian yang kedua dari sisi posisi dia yang tentukan akan menjadi pengarah karena namanya juga ketua pasti apa ketua-ketua yang di daerah ya itu bisa jadi malah meng-copy paste dan Ini berarti kesalahan masal kalau itu pola pikirnya dipertahankan tanpa adanya koreksi," pungkasnya.[] Alfia Purwanti