Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sound Horeg dan Kegaduhan Budaya: Saatnya Kembali ke Arah Peradaban Islam

Minggu, 10 Agustus 2025 | 19:24 WIB Last Updated 2025-08-10T12:24:59Z

TintaSiyasi.id -- Blitar kembali gaduh. Bukan karena musibah, bukan pula karena urusan hajat besar negara, melainkan karena polemik “sound horeg”—bunyi musik keras, hingar-bingar, yang biasa menyertai karnaval Agustusan. 

Persaudaraan Kepala Desa Blitar mengklaim bahwa 60% warga menginginkan karnaval Agustusan tetap diramaikan dengan sound horeg. Dukungan itu bahkan sudah ditandai dengan pengumpulan 15.000 KTP sebagai bentuk legitimasi keinginan masyarakat. Namun, suara masyarakat ini bukan tanpa perlawanan. Di satu sisi, ada suara-suara lain yang menilai sound horeg sebagai ancaman ketertiban, kenyamanan lingkungan, bahkan moralitas generasi muda. Pemerintah daerah pun gamang—antara menuruti selera warga atau menjaga ketertiban umum. (Beritajatim, 6 Agustus 2025)

Fenomena ini bukan sekadar soal musik keras. Ia adalah cermin dari arah budaya yang sedang dibangun oleh masyarakat, dan pada akhirnya menjadi potret nilai yang hidup dalam sistem kehidupan hari ini.

Apa yang sedang terjadi sesungguhnya bukan sekadar perkara selera. Ini adalah soal arah peradaban. Ketika masyarakat begitu mudah menyepakati sesuatu yang berisik, hura-hura, dan tak jarang menjurus pada kemaksiatan, itu adalah tanda bahwa nilai yang dominan bukanlah nilai spiritualitas dan keadaban, melainkan nilai hiburan dan hedonisme. Lebih parah, ia dilegitimasi oleh sistem demokrasi yang menjadikan suara terbanyak sebagai dasar kebenaran.

Sistem sekuler hari ini telah berhasil memisahkan agama dari kehidupan. Agama cukup di masjid, sementara ruang publik bebas diatur oleh selera mayoritas, tak peduli apakah itu sesuai syariat atau tidak. Maka tak heran jika karnaval menjadi ajang “tontonan” yang jauh dari nilai edukatif dan moral. Bahkan anak-anak dan remaja menjadi bagian dari arak-arakan musik keras, dandanan nyentrik, dan perilaku bebas.

Padahal dalam Islam, budaya bukanlah sekadar soal kebiasaan masyarakat. Budaya adalah hasil dari pemikiran yang lahir dari suatu akidah. Jika akidahnya Islam, maka budaya pun harus dibangun di atas standar halal-haram. Hiburan boleh saja, tetapi bukan yang melenakan apalagi merusak akhlak. Islam tidak anti-karnaval, namun menolak segala bentuk kemungkaran dan kerusakan moral yang ditampilkan secara terbuka.

Lebih dari itu, budaya juga bagian dari alat pembentukan karakter masyarakat. Ketika yang ditonjolkan adalah kegaduhan dan kebebasan tanpa batas, maka jangan salahkan jika masyarakat kehilangan kepekaan, kehilangan arah hidup, bahkan kehilangan kehormatan.

Kondisi ini hanya bisa diperbaiki jika kita kembali menjadikan Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan, termasuk budaya dan hiburan. Dan untuk itu, dibutuhkan sistem yang menerapkan Islam secara kaffah, Khilafah Islamiyah.

Dalam sistem khilafah, negara bertanggung jawab menjaga moral publik. Setiap aktivitas budaya, termasuk perayaan-perayaan umum, harus sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karnaval boleh dilakukan, namun harus diisi dengan hal-hal yang mendidik, menyemangati keimanan, menumbuhkan kecintaan pada Islam, dan tidak mencederai syariat.

Khalifah sebagai pemimpin akan mengatur agar media, hiburan, bahkan perayaan rakyat menjadi sarana membangun peradaban Islam, bukan sarana menurunkan derajat manusia menjadi hamba hawa nafsu. Negara tidak akan membiarkan masyarakat membentuk budaya berdasarkan arus global yang rusak, apalagi sekadar karena "60% suara rakyat".

Sebab dalam Islam, kebenaran tidak diukur oleh banyaknya suara, melainkan oleh kesesuaiannya dengan wahyu. Dan negara wajib memelihara akidah umat dari kerusakan pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan Islam.

Kita perlu jujur, bahwa sound horeg bukan sekadar soal bunyi keras. Ia adalah simbol dari budaya yang sedang terjerumus dalam arus sekularisme dan hedonisme. Jika dibiarkan, ia akan menjadi normalitas baru yang merusak arah bangsa, terutama generasi mudanya.

Sudah saatnya kita berkata cukup. Cukup bagi budaya bising yang menghilangkan jati diri. Cukup bagi pembiaran atas kerusakan moral atas nama hiburan. Dan cukup bagi sistem demokrasi yang menjadikan suara terbanyak sebagai penentu benar-salah.Saatnya kembali ke Islam. Saatnya hadirkan Khilafah yang akan membimbing umat dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk membangun budaya yang agung, mulia, dan mendidik. []


Oleh: Mujiman
Lulusan API 3 2025

Opini

×
Berita Terbaru Update