Tintasiyasi.ID -- Dalam Kajian Muslimah Cakna Umat, Aktivis Dakwah Malaysia Puan Hazirah menyebutkan bahwa penerapan pajak konsumsi di Malaysia SST (Sales and Services Tax) pada 01 Juli 2025 adalah bukti nyata sistem kapitalis terus membebani rakyat.
“Pajak konsumsi atau Sales and Services Tax (SST) yang diterapkan pada
01 Juli 2025 adalah bukti nyata sistem kapitalis terus membebani rakyat,”
ungkap Hazirah dalam presentasi bertajuk Ada Apa dengan 1 Juli?, Ahad (06/07/2025).
Ia menyebut bahwa sekarang rakyat
merasa cemas, bukan karena menantikan hari raya, tetapi karena khawatir akan 01
Juli, hari di mana cakupan SST diperluas dan harga barang, termasuk barang
pilihan dan premium, naik hingga 10 persen.
“Seperti yang kita tahu, saat
pemerintah menaikkan pajak, kita sebagai rakyat pasti akan terdampak. Terlebih
di tengah biaya hidup yang sudah tinggi, walaupun gaji minimum naik, jika harga
barang ikut melonjak, maka rakyat, terutama golongan berpenghasilan rendah dan
menengah, akan makin tertekan,” ujarnya.
Ia mempersoalkan alasan pemerintah
menaikkan pajak demi meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki sistem
perlindungan sosial, padahal kenyataannya justru menambah beban rakyat.
“Katanya, 01 Juli bukanlah ‘hari
kelam’, melainkan langkah berani membangun negara. Konon SST yang diperbarui
ini dilakukan demi pengumpulan dana negara yang transparan dan adil, lalu
dikembalikan pada rakyat dalam bentuk subsidi dan bantuan,” bebernya.
Tapi lucu juga, lanjutnya, kenapa
pembangunan negara harus dilakukan dengan cara membebani rakyat. “Apakah ini
benar-benar untuk Pembangunan atau hanya membungkus penindasan?” tanyanya
kritis.
Menurutnya, pemerintah dan politisi
kerap memakai narasi seperti ini demi meredam kemarahan publik.
“Rakyat dipersuasi bahwa membayar
pajak adalah kontribusi langsung terhadap kemajuan negara, namun ini
menciptakan kesan bahwa pemasukan negara hanya bergantung pada pajak,” ucapnya.
“Perdana Menteri bilang pajak perlu
untuk menaikkan gaji pejabat, tetapi apa benar negara hanya bergantung pada
pajak? Di saat subsidi makin dikurangi, kenapa justru pajak terus ditambah?
Lalu kenapa bebannya justru ditimpakan ke rakyat?” katanya.
Pajak dalam Kapitalisme
Hazirah mengkritik sistem kapitalis
yang menurutnya menggunakan pajak sebagai alat untuk memeras rakyat demi
menutup kelemahan pengelolaan negara.
“Dalam sistem kapitalis, semua
didasarkan pada manfaat. Meski sesuatu itu haram, kalau dinilai ‘bermanfaat’,
maka dianggap sah,” lugasnya.
Pajak diterapkan tanpa
mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat, sambungnya, yang mengakibatkan rakyat
harus kerja lebih dari satu untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bukan untuk
hidup mewah.
“Tetapi untuk tempat tinggal,
makanan, biaya sekolah anak, semuanya jadi beban,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa kapitalisme
dan sistem keuangan berbasis utang berbunga (riba) adalah sistem yang tidak
adil dan menambah beban rakyat.
“Ketika negara memiliki utang besar,
rakyat dipaksa membayar bunganya lewat pajak dan pemotongan subsidi. Ini tidak
hanya membebani, tetapi juga bertentangan dengan prinsip Islam yang menolak
riba dan menuntut distribusi kekayaan yang adil,” tandasnya.
“Coba kita lihat realitas hari ini.
Banyak negara, termasuk negara kita, menanggung utang miliaran. Mantan Menteri
Ekonomi Rafizi Ramli pernah menyebut bahwa negara membayar Rp46,1 miliar hanya
untuk bunga utang. Itu baru bunganya saja, baru unsur riba. Bahkan bunga ini
menyedot 16 persen dari total pendapatan negara,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengkritik
ketimpangan sistem saat ini yang memberikan insentif pajak pada investor asing
atas nama ‘pertumbuhan ekonomi’, sementara rakyat lokal terus ditekan.
“Ibaratnya, monyet di hutan disusui,
anak sendiri mati kelaparan,” sindirnya pedas.[] Aliya Ab Aziz