Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pajak Konsumsi Malaysia, Aktivis: Kapitalisme Terus Menekan Rakyat

Senin, 04 Agustus 2025 | 06:40 WIB Last Updated 2025-08-03T23:47:27Z

Tintasiyasi.ID -- Dalam Kajian Muslimah Cakna Umat, Aktivis Dakwah Malaysia Puan Hazirah menyebutkan bahwa penerapan pajak konsumsi di Malaysia SST (Sales and Services Tax) pada 01 Juli 2025 adalah bukti nyata sistem kapitalis terus membebani rakyat.

 

“Pajak konsumsi atau Sales and Services Tax (SST) yang diterapkan pada 01 Juli 2025 adalah bukti nyata sistem kapitalis terus membebani rakyat,” ungkap Hazirah dalam presentasi bertajuk Ada Apa dengan 1 Juli?, Ahad (06/07/2025).

 

Ia menyebut bahwa sekarang rakyat merasa cemas, bukan karena menantikan hari raya, tetapi karena khawatir akan 01 Juli, hari di mana cakupan SST diperluas dan harga barang, termasuk barang pilihan dan premium, naik hingga 10 persen.

 

“Seperti yang kita tahu, saat pemerintah menaikkan pajak, kita sebagai rakyat pasti akan terdampak. Terlebih di tengah biaya hidup yang sudah tinggi, walaupun gaji minimum naik, jika harga barang ikut melonjak, maka rakyat, terutama golongan berpenghasilan rendah dan menengah, akan makin tertekan,” ujarnya.

 

Ia mempersoalkan alasan pemerintah menaikkan pajak demi meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki sistem perlindungan sosial, padahal kenyataannya justru menambah beban rakyat.

 

“Katanya, 01 Juli bukanlah ‘hari kelam’, melainkan langkah berani membangun negara. Konon SST yang diperbarui ini dilakukan demi pengumpulan dana negara yang transparan dan adil, lalu dikembalikan pada rakyat dalam bentuk subsidi dan bantuan,” bebernya.

 

Tapi lucu juga, lanjutnya, kenapa pembangunan negara harus dilakukan dengan cara membebani rakyat. “Apakah ini benar-benar untuk Pembangunan atau hanya membungkus penindasan?” tanyanya kritis.

 

Menurutnya, pemerintah dan politisi kerap memakai narasi seperti ini demi meredam kemarahan publik.

 

“Rakyat dipersuasi bahwa membayar pajak adalah kontribusi langsung terhadap kemajuan negara, namun ini menciptakan kesan bahwa pemasukan negara hanya bergantung pada pajak,” ucapnya.

 

“Perdana Menteri bilang pajak perlu untuk menaikkan gaji pejabat, tetapi apa benar negara hanya bergantung pada pajak? Di saat subsidi makin dikurangi, kenapa justru pajak terus ditambah? Lalu kenapa bebannya justru ditimpakan ke rakyat?” katanya.

 

Pajak dalam Kapitalisme

 

Hazirah mengkritik sistem kapitalis yang menurutnya menggunakan pajak sebagai alat untuk memeras rakyat demi menutup kelemahan pengelolaan negara.

 

“Dalam sistem kapitalis, semua didasarkan pada manfaat. Meski sesuatu itu haram, kalau dinilai ‘bermanfaat’, maka dianggap sah,” lugasnya.

 

Pajak diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat, sambungnya, yang mengakibatkan rakyat harus kerja lebih dari satu untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bukan untuk hidup mewah.

 

“Tetapi untuk tempat tinggal, makanan, biaya sekolah anak, semuanya jadi beban,” tegasnya.

 

Ia juga menyebut bahwa kapitalisme dan sistem keuangan berbasis utang berbunga (riba) adalah sistem yang tidak adil dan menambah beban rakyat.

 

“Ketika negara memiliki utang besar, rakyat dipaksa membayar bunganya lewat pajak dan pemotongan subsidi. Ini tidak hanya membebani, tetapi juga bertentangan dengan prinsip Islam yang menolak riba dan menuntut distribusi kekayaan yang adil,” tandasnya.

 

“Coba kita lihat realitas hari ini. Banyak negara, termasuk negara kita, menanggung utang miliaran. Mantan Menteri Ekonomi Rafizi Ramli pernah menyebut bahwa negara membayar Rp46,1 miliar hanya untuk bunga utang. Itu baru bunganya saja, baru unsur riba. Bahkan bunga ini menyedot 16 persen dari total pendapatan negara,” jelasnya.

 

Selain itu, ia juga mengkritik ketimpangan sistem saat ini yang memberikan insentif pajak pada investor asing atas nama ‘pertumbuhan ekonomi’, sementara rakyat lokal terus ditekan.

 

“Ibaratnya, monyet di hutan disusui, anak sendiri mati kelaparan,” sindirnya pedas.[] Aliya Ab Aziz

Opini

×
Berita Terbaru Update