Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meneladan Keshalihan dan Tawadu Nabi Sulaiman: Sebuah Cermin Kepemimpinan Ruhani

Rabu, 06 Agustus 2025 | 19:01 WIB Last Updated 2025-08-06T12:01:46Z

TintaSiyasi.id -- Pendahuluan: Sosok yang Unik dalam Sejarah Kenabian.

Di antara para nabi, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menempati posisi yang sangat unik. Beliau adalah nabi dan sekaligus raja yang diberi oleh Allah kekuasaan luar biasa atas manusia, jin, hewan, bahkan angin. Namun, yang lebih menarik dari sosoknya bukan sekadar mukjizat atau kejayaan kerajaannya, melainkan akhlaknya yang agung, keshalihannya yang tinggi, dan tawadhu’-nya yang mendalam di hadapan Rabb-nya.

Dalam kehidupan modern yang dipenuhi oleh hasrat kekuasaan, kebanggaan diri, dan haus akan pujian, sosok Nabi Sulaiman adalah lentera kebijaksanaan yang menyinari umat manusia agar kembali kepada nilai-nilai ruhani yang sejati.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami kedalaman makna yang terkandung dalam QS. An-Naml ayat 39–41, dan menggali pelajaran penting yang dapat mengubah cara kita memandang karunia, kekuasaan, dan penghambaan kepada Allah.

Tafsir dan Refleksi QS. An-Naml: 39–41

1. Ayat 39: Tawaran Kekuatan dari Jin Ifrit

“Berkatalah Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: ‘Aku akan datang kepadamu dengan (membawa) singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sungguh aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.’”
(QS. An-Naml: 39).

Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Sulaiman ingin mendatangkan singgasana Ratu Bilqis sebelum ia datang menghadap. Tawaran datang dari seorang jin ifrit yang memiliki kekuatan luar biasa.
Namun menariknya, Nabi Sulaiman tidak langsung menerima tawaran itu. Ini menunjukkan kebijaksanaan dan kedalaman ruhani, beliau tidak mudah terpesona oleh kekuatan duniawi, bahkan yang luar biasa sekalipun.

2. Ayat 40: Tindakan Orang yang Mempunyai Ilmu dan Reaksi Nabi Sulaiman

قَالَ ٱلَّذِي عِندَهُۥ عِلۡمٞ مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسۡتَقِرًّا عِندَهُۥ قَالَ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيّٞ كَرِيمٞ 
 
 “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur. Siapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan siapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.’”
(QS. An-Naml: 40).

Tiba-tiba, orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab (para mufasir menyebutnya sebagai Ashif bin Barkhiya) menunjukkan kekuatan ruhani yang luar biasa, bahkan lebih cepat dari jin. Hanya dalam sekejap kedipan mata, singgasana telah hadir di depan Sulaiman.

Namun, perhatikan reaksi Nabi Sulaiman yang sangat menakjubkan:
• Beliau tidak silau oleh kemampuan spektakuler tersebut.
• Beliau tidak membanggakan diri, walau peristiwa itu terjadi di bawah kekuasaannya.
• Justru beliau merendah dan menyandarkan semua kepada Allah: “Ini termasuk karunia Tuhanku.”

Tidak hanya itu, Nabi Sulaiman menyadari bahwa karunia besar adalah ujian. Ia berkata, “Untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.”

3. Ayat 41: Ujian Bijak untuk Ratu Bilqis

“Dia (Sulaiman) berkata: ‘Ubahlah baginya singgasananya; kita akan lihat apakah dia (Bilqis) mengenal atau termasuk orang yang tidak mengenal.’”
(QS. An-Naml: 41).

Nabi Sulaiman tidak langsung memamerkan kekuatan di hadapan Ratu Bilqis. Ia memilih jalan hikmah, menyamarkan singgasananya, dan menguji kecerdasannya.

Ini adalah pelajaran penting bahwa kekuasaan sejati bukan untuk dipertontonkan, tetapi digunakan dengan penuh kebijaksanaan dan kelembutan.

Pelajaran Berharga dari Kisah Ini

1. Karunia Bukan untuk Dibanggakan, Tetapi Disyukuri
Nabi Sulaiman mengajarkan bahwa setiap nikmat adalah amanah, bukan trofi kemenangan. Semakin besar nikmat, semakin besar pula pertanggungjawabannya.
Syukur bukan sekadar ucapan, tetapi kesadaran akan peran kita sebagai hamba.

2. Tawadhu di Tengah Ketinggian

Meskipun kekuasaannya luar biasa, Nabi Sulaiman tidak pernah merendahkan orang lain. Bahkan ketika orang lain lebih cepat membawa singgasana, beliau tidak merasa tersaingi.
Tawadhu adalah tanda keagungan jiwa, bukan kelemahan. Orang besar tak butuh pamer kekuatan.

3. Ilmu Lebih Tinggi daripada Kekuatan

Dalam kisah ini, jin dengan kekuatan fisik luar biasa dikalahkan oleh orang yang berilmu. Ini menjadi pesan kuat bahwa ilmu yang benar (terutama ilmu syar’i dan ma’rifah kepada Allah) lebih unggul dari sekadar kekuatan lahiriah.

4. Kepemimpinan yang Bijak dan Lembut

Sikap Nabi Sulaiman terhadap Bilqis adalah contoh kepemimpinan profetik yang mengedepankan hikmah, pengujian, dan pendekatan yang tidak memaksa.

Relevansi dengan Umat Hari Ini

Dalam era modern ini, banyak manusia yang mencari kekuasaan untuk membesarkan ego, bukan untuk mengabdi. Banyak yang mengukur kesuksesan dari seberapa tinggi jabatan, seberapa banyak harta, seberapa besar pengaruh, tanpa menyadari bahwa semua itu adalah ujian keimanan.

Kisah Nabi Sulaiman adalah pelajaran bahwa ketinggian derajat sejati bukanlah pada apa yang tampak di luar, tetapi pada seberapa dalam kita tunduk kepada Allah di dalam hati.

Penutup: Menjadi Hamba dalam Segala Hal.

قَالَ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ

“Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.”
(QS. An-Naml: 40).

Kalimat ini harus menjadi mantra hidup kita sehari-hari. Setiap keberhasilan, setiap prestasi, setiap rezeki, semuanya adalah karunia Allah, dan semuanya adalah ujian untuk melihat di mana posisi hati kita.

Apakah hati kita bertambah dekat kepada-Nya atau justru semakin jauh?

Mari kita meneladani Nabi Sulaiman:
• Bersyukur ketika diberi kekuasaan
• Tawadhu ketika dipuji
• Bijak dalam memimpin
• Lembut dalam berdakwah
• Dan sadar bahwa setiap detik adalah ujian cinta dari Allah

Doa Penutup

“Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang bersyukur saat diberi nikmat, tawadhu saat diberi kedudukan, dan istiqamah dalam mengabdi kepada-Mu dalam segala kondisi.”

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana  UIT LIrboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update