Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Banjir Tapanuli: Hujan adalah Qada Allah, Tapi Kerusakan Alam adalah Ulah Manusia

Kamis, 27 November 2025 | 14:21 WIB Last Updated 2025-11-27T07:21:57Z

TintaSiyasi.id -- Hujan yang turun di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah beberapa hari terakhir adalah qadha Allah dan kita beriman bahwa setiap tetes air tidak pernah salah alamat. Namun banjir bandang, ribuan rumah terendam, dan bukit yang longsor bukan hanya kisah tentang hujan, tetapi tentang tangan-tangan manusia yang merusak benteng alam yang seharusnya menjaga kita. 

Tapanuli Tengah sedang dalam kondisi mengkhawatirkan. Bupati Tapteng, Masinton Pasaribu, menyampaikan langsung bahwa ribuan rumah terendam banjir, dan longsor menelan satu keluarga di Desa Mardame, Sitahuis. (detik.com, 25/11/2025)

Lebih jauh, data pembukaan lahan sawit di Tapteng meningkat mengerikan, dari 16.000 hektar (2023) menjadi 40.500 hektar (2024). Artinya, naik hampir 200% hanya dalam setahun, dan banyak di antaranya membuka kawasan perbukitan yang semestinya menjadi hutan resapan.
(mistar.id, 18/10/2024)

Sementara itu, Tapanuli Selatan menghadapi ancaman lain yang tidak kalah serius. Tambang Emas Martabe yang berada di wilayah Batang Torudikritik yanv keras oleh pemerhati lingkungan karena ekspansinya membabat hutan yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli, spesies paling langka di dunia.
(mongabay.co.id, 04/03/2025)

Ditambah lagi proyek PLTA Simarboru (Batang Toru Hydropower) yang sejak lama diprotes karena memicu fragmentasi habitat dan pembabatan hutan besar-besaran. (mongabay.co.id, 17/05/2018).

Jika digabungkan, kerusakan ini bukan lagi indikasi tapi bukti telanjang bahwa hutan yang seharusnya menjadi penjaga alami Tapanuli telah dipotong, dipreteli, dan dipreteli demi sawit, emas, dan proyek raksasa. Jadi, masalahnya apa? Bukan hujannya, tapi kerakusan manusia.

Benteng Alam Hancur

Hutan dan perbukitan adalah “spons raksasa” yang diciptakan Allah untuk menahan aliran air. Ketika pohon ditebang dan bukit digunduli, tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Hujan lebat yang seharusnya menjadi rahmat berubah menjadi bencana.

Semua itu dikarenakan sistem kapitalis menjadikan alam barang dagangan. Dalam sistem kapitalis, alam bukan amanah, tapi aset komersial. Hutan dibuka untuk sawit, sungai direkayasa demi PLTA yang keuntungannya mengalir bukan ke rakyat, tambang emas meraup triliunan rupiah tapi rakyat hanya menanggung limbah dan longsor.

Negara dalam sistem ini tidak berdiri sebagai pelindung, tapi sebagai pemberi izin. Selama orientasi pembangunan adalah modal, bukan maslahat, izin-izin akan terus keluar meski bencana datang tiap tahun. Selama pembangunan diukur dari “nilai investasi”, bukan “nilai kehidupan”, rakyat tetap menjadi korban.

Solusi Islam: Alam Adalah Amanah, Bukan Komoditas

Dalam Islam, hutan, sungai, dan sumber daya merupakan milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh diprivatisasi atau diserahkan kepada korporasi. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, “Sumber daya alam yang besar, yang tidak mungkin diolah individu, wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Negara haram menyerahkannya kepada investor.”
(Kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam).

Menurut beliau, peran negara bukan hanya mengatur administrasi, tetapi memastikan kemakmuran rakyat langsung dari pengelolaan sumber daya, bukan melalui cukai, izin usaha, atau kerja sama investasi asing.

Dengan prinsip ini, ada beberapa solusi konkret:

Pertama, hutan wajib dilindungi sebagai kepemilikan umum.

Tidak boleh ada pembukaan sawit masif, tambang raksasa, atau proyek yang merusak ekosistem. Negara yang menerapkan syariat wajib menjaga hutan sebagai penjaga alam dan penjaga kehidupan manusia.

Kedua, proyek pembangunan tidak boleh merusak lingkungan.

Dalam Islam, pembangunan wajib memastikan, tidak membahayakan masyarakat tidak merusak keseimbangan alam, tidak mengancam kehidupan makhluk lain dan tidak menguntungkan segelintir investor.

Pembangunan energi seperti PLTA boleh, tapi harus tidak merusak hutan primer. Tidak mengganggu habitat langka dan manfaatnya 100% kembali ke rakyat. Kalau salah satu melanggar, maka proyek wajib dihentikan.

Ketiga, tambang harus dikelola negara, bukan korporasi.

Tambang emas Martabe seharusnya bukan jadi mesin kekayaan swasta, tetapi aset umat. Keuntungannya dikelola untuk perbaikan lingkungan, layanan sosial, infrastruktur publik, pelayanan kesehatan dan pendidikan rakyat. Bukan dividen pemegang saham.

Keempat, pencegahan bencana dilakukan sebelum bencana, bukan setelahnya.

Negara Islam akan membangun, sabuk hijau hutan, waduk resapan, revitalisasi sungai, pembatasan izin industri di kawasan rawan longsor dan 
reboisasi wajib, bukan sekadar seremoni.

Semua ini adalah bagian dari siyasah syar'iyyah politik pengurusan kemaslahatan rakyat. Oleh karena itu, perlu sistem yang menjaga, bukan menghancurkan. Selama sistem kapitalis tetap menjadi fondasi kebijakan, selama pembangunan ditimbang dari nilai investasi, selama hutan dianggap punya “nilai jual” bukan “nilai amanah” , maka bencana akan terus menghantam.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan, “Kerusakan tidak akan berhenti selama hukum Allah tidak ditegakkan di bumi.”

Inilah mengapa Islam menawarkan solusi sistemik? Yaitu Khilafah Islamiyah sebagai penjaga alam dan rakyat.

Dalam sistem itu, pemimpin wajib menjaga amanah Allah, bukan melayani modal.

Banjir Tapanuli adalah alarm keras. Hujan memang qada Allah, tapi kerusakan hutan, pembukaan sawit, tambang emas, dan proyek PLTA yang mempreteli bukit bukan qada, melainkan keserakahan manusia.

Jika alam dijaga dengan iman, amanah, dan syariat, hujan akan menjadi rahmat, bukan azab. Jika hutan dikelola sebagai milik umat, bukan sebagai aset komersial, Tapanuli tidak akan terus mencatat korban setiap tahun.

Dan jika negara berdiri sebagai pelindung, bukan pemberi izin investor, maka alam dan manusia akan selamat.

Semoga Allah memudahkan negeri ini kembali kepada sistem yang menjaga kehidupan, bukan menyerahkan alam kepada tangan-tangan rakus. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update