TintaSiyasi.id -- Angka kemiskinan di Indonesia diklaim menunjukkan tren penurunan, namun di balik kata “kemiskinan turun”, tapi tetap saja realitanya masih ada sebanyak 23,85 juta orang hidup dalam kondisi kekurangan, hingga tidak layak.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen terhadap September 2024, menjadi 8,47 persen. Berkurangnya jumlah penduduk miskin 210.00 orang pada periode yang sama, mencapai 23,85 juta orang. Meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun, BPS menyebut penduduk miskin di kota justru bertambah sekitar 220.000 orang. Apa yang terjadi? (BBC.com, 25 Juli 2205)
Presidan Prabowo Subianto juga mengatakan bahwa angka kemiskinan absolut di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini diungkapkan dalam Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di Jawa Tengah. (CNBCIndonesia.com, 20/7/2025)
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim kemiskinan turun, padahal ada banyak PHK di mana-mana, BPS juga mengubah garis kemiskinan Nasional pada Maret 2025 sebesar sekitar Rp 20.305 per hari. Inilah yang terjadi ketika standar kemiskinan dihitung dengan versi BPS dimana dasar perhitungan dinilai dengan perkapita perbulan. Ternyata miskin itu tergantung standar penilaian apa yang digunakan saat ini. Nyatanya kemiskinan ekstrem, dan ancaman PHK tetap nyata.
Walaupun angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah (masih mengadopsi PPP (Purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000)/hari). Ini manipulasi statistik untuk menunjukkan progres semu. Inilah wajah sistem kapitalisme sekuler yang lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan rakyat.
Dalam sistem kapitalisme, para swasta maupun korporasi berhak menguasai harta milik umum seperti sumber daya alam. Akibatnya, harta yang seharusnya digunakan untuk mengurus rakyat lari ke kantong pribadi yaitu swasta dan korporasi. Dari sinilah awal bencana kemiskinan itu dimulai.
Akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan jarak kaya-miskin. Kekayaan menumpuk disegelintir elite, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit. Negara dalam sistem kapitalisme memainkan angka-angka data kemiskinan, agar citra mereka terjaga mereka mengklaim angka kemiskinan turun.
Namun sebaliknya alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tidak pernah menyentuh akar masalah. Sistem ekonomi yang cacat dan menindas. Belum lagi pasar bebas yang melegalkan monopoli kebutuhan umum semakin membuat masyarakat tambah miskin.
Saat ini ketika dikatakan kemiskinan menurun, namun nyatanya masih ada jutaan orang yang hidup sengsara bahkan untuk membeli makanan pokok (beras), mereka tidak mampu, ditambah lapangan pekerjaan sulit, daya beli rendah, dan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tidak jarang dengan kondisi seperti ini banyak warga yang depresi bahkan sampai bunuh diri.
Sangat berbeda dengan sistem Islam dalam menyelesaikan masalah kemiskinan, Islam memliki sejumlah mekanisme praktis dan solutif dalam mengentaskan kemiskinan hingga batas limit. Di antara mekanisme itu adalah sebagai berikut:
Pertama. Islam mengatur masalah kepemilikan harta secara adil dan mencegah peredaran kekeayaan hanya pada orang-orang tertentu saja. Allah SWT berfirman “Agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS. Al-Hasyr ayat 7).
Kedua. Islam memilki syari’at zakat, infak, dan sedekah.
Ketiga. Islam mewajibkan setiap laki-laki mencari nafkah.
Keempat. Islam mewajibkan Negara menjadi pihak yang menjamin kebutuhan dasar publik secara langsung.
Dalam sistem khilafah, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyatnya baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang merupakan kebutuhan dengan biaya besar. Jika kebutuhan ini dibebankan kepada setiap individu maka bisa dipastikan terjadi diskriminasi layaknya dalam sistem kapitalisme. Sumber daya alam akan dikelola oleh DAULAH hanya untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialkan.
Di dalam Islam mewajibkan negara menjadi pihak utama yang menyediakan semua kebutuhan pokok secara gratis agar setiap warga negara mendapatkan kebutuhan tersebut dengan kualitas yang sama. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (Kepala Negara) atau khalifah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. An-Nasa’I).
Seperti inilah mekanisme pengentasan kemiskinan di dalam syariat Islam, khilafah tidak mengukur kemiskinan dari angka yang tidak real buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak.
Demikianlah penerapan Islam secara kaffah yang akan mewujudkan kesejahteraan yang hakiki bagi tiap-tiap individu rakyatnya. Semua akan terwujud hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Sandrina Luftia
Aktivis Muslimah