TintaSiyasi.id -- Kedua istilah viral yang tengah mencuri perhatian dunia maya. Bukan pasangan sah suami istri, tetapi istilah untuk rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana). Kedua ini istilah digunakan untuk mereka yang mengunjungi pusat perbelanjaan (mal) tetapi tidak berbelanja atau hanya bertanya tanya saja tanpa melakukan pembelian. Situasi ini banyak ditemui di pusat perbelanjaan (mal) kota besar. Banyak masyarakat memadati mal diakhiri pekan, Namun tidak semua pengunjung membeli alias Rojali. Atau sebagian di antaranya hanya menanyakan harga barang dan membandingkannya dengan harga di lapak online alias Rohana.
Alpholuz Widjaja sebagai Ketua umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyatakan bahwa fenomena rojali makin marak. Meski kunjungan ke mal meningkat, pola belanja masyarakat dinilai berubah signifikan. “Kunjungan ke mal meningkat, masyarakat datang ke mal, tapi yang terjadi perubahan pola belanja. Tren belanja utamanya yang kelas menengah kebawah daya belinya belum pulih, mereka beli produk yang harga satuannya kecil, tetapi datang (ke mal).” Kata Alpholuz Widjaja kepada wartawan CNBC ( 28/07/2025).
Fenomena yang naik daun ini menjadi cermin kondisi finansial masyarakat hari ini. Fenomena yang tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas menengah, tetapi pada masyarakat kelas atas. Jika kelas menengah karena saldo terbatas, masyarakat kelas atas sadar belanja ini beresiko besar. Fenomena ini dikenal dengan downtrading yaitu perubahan perilaku konsumtif dengan membeli produk yang lebih murah sebagai respon terhadap tekanan ekonomi. Hal ini mirip dengan dengan krisis ekonomi 2008 yaitu melemahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini akan kembali normal saat daya beli masyarakat mulai meningkat. Namun jika tren ini terus bertahan tentu sektor barang, manufaktur, serta jasa akan terdampak. Pusat-pusat perbelanjaan berusaha mengatur setrategi dengan menggelar promo dan event untuk menarik daya beli masyarakat.
Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah menstimulus agar daya beli meningkat dan perputaran ekonomi kembali normal. Serta investasi masih tetap menjadi strategi utama untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Seperti memberikan jaminan kredit kepada koperasi dan UMKM, tujuannya memperlancar pendanaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu berupaya sebaik mungkin menciptakan iklim investasi yang lebih terbuka dan ramah bagi investor asing dan aseng. Serta memberikan diskon terhadap tiket pesawat dan jalan tol. Mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Investasi pada negara berkembang seperti di Indonesia diharapkan mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Sehingga berdampak langsung pada kenaikan penghasilan dan mendorong daya beli masyarakat meningkat.
Bagaikan bom waktu, namun pada faktanya hal ini menjadikan negara semakin bergantung kepada negara negara maju sebagai pihak investor. Mengurangi kemandirian fiskal dan sangat rentan memicu krisis.
Selain itu risiko hutang dengan bunga yang sangat membebani APBN dan membahayakan kondisi ekonomi dalam negeri. Pembayaran pokok dan bunga hutang menyedot dana APBN, tentu ini akan menyebabkan pengurangan alokasi untuk sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Maka wajar jika biaya pendidikan dan kesehatan di negeri ini semakin tahun mahal karena subsidi dari pemerintah semakin kecil, pada akhirnya dibebankan kepada individu. Ketika hutang luar negeri besar dan dalam mata uang asing, depresiasi mata uang lokal akan meningkatkan beban hutang dalam nilai domestik. Negara kesulitan membayar dan memicu krisis keuangan.
Jelas hal ini rentan digunakan negara yang menghutangi (kreditur) sebagai alat untuk menjajah dengan cara memaksa kebijakan tertentu di negara peminjam (debitur).
Pada akhirnya yang menjadi fokusan negara adalah dengan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor swasta (investasi), tentu hal ini berakibat pada meminnya peran negara dalam mengurusi hajat (sandang, pangan, papan, kesehatan,pendidikan) individu masyarakat nya. Kalau negara tidak berpihak pada rakyat, maka keuntungan bukan lagi untuk "bangsa", tapi untuk segelintir orang, kekuasaan, atau kepentingan luar. Rakyat hanya jadi alat, bukan tujuan. Serta arah kebijakannya dikendalikan oleh elite politik-ekonomi (oligarki). Rakyat hanya jadi penonton, atau bahkan jadi korban: (digusur, diperas, diabaikan).
Sangat berbeda dalam Islam.
Politik ekonomi dalam Islam tidak menjadikan pertumbuhan pendapatan nasional sebagai dasarnya. Tidak memperbanyak jasa dan barang untuk kemakmuran hidup masyarakatnya. Tidak membiarkan individu bebas mendapatkan sesuai kadar kemampuan. Tetapi memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki dan bekerja.
Islam fokus terhadap empat perkara yaitu:
Pertama. Setiap individu perlu dipenuhi berbagai kebutuhannya
Kedua. kebutuhan primer individu harus dipenuhi secara menyeluruh
Ketiga. usaha dalam mencari rizki adalah mubah dan halal. Sehingga membuka jalan untuk memperoleh kekayaan dikehendakinya. Sehingga seseorang tersebut bersunguh-sungguh Demi Mersin ke kemakmuran hidup
Keempat. Pandangan bahwa nilai luhur wajib mendominasi semua interaksi yang terjadi antar individu di tengah masyarakat.
Politik ekonomi Islam akan memberikan peluang kepada setiap individu di masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dan merealisasikan kesejahteraan dirinya. Politik ekonomi Islam ditujukan untuk menjamin terealisasinya pendistribusian kekayaan negara bagi setiap individu masyarakat. Secara menyeluruh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer setiap individu terjamin. Hal ini juga akan sepenuhnya menjamin setiap individu memenuhi semua kebutuhan sekundernya sebesar kadar kemampuannya. Politik ekonomi Islam merupakan solusi atas berbagai persoalan saat ini. []
Oleh: Neni Moerdia
Aktivis Muslimah