Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Wassim Dourehi : Nyawa Umat Islam Dikorbankan Murah demi Melayani Kepentingan Musuh dalam Serangan di Suwaida

Minggu, 27 Juli 2025 | 18:49 WIB Last Updated 2025-07-27T11:49:31Z

Tintasiyasi.ID -- Intelektual Muslim Sydney, Australia, Wassim Dourehi menyatakan bahwa peristiwa serangan ke Suwaida, Suriah,  menyisakan rasa sakit, karena bukan hanya nyawa umat Islam menjadi korbannya, tetapi juga telah melayani kepentingan musuh.

 

“Banyak yang bisa diutarakan tentang peristiwa di Suwaida. Rasa sakit akibat peristiwa ini bukan hanya nyawa umat Muslim yang hilang akibat agresi, tetapi nyawa tersebut dikorbankan murah yang akhirnya melayani kepentingan musuh kita,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Senin (21/07/2025).

 

Selain itu, peristiwa yang terjadi di Suriah, tepatnya di Suwaida, juga telah memicu berbagai respons dari berbagai kalangan kaum Muslim dunia selama seminggu terakhir.

 

Menurutnya, umat juga bisa mengambil pelajaran yang lebih luas, bukan hanya melihat peristiwa Suriah dari sisi fakta semata. “Meskipun sulit untuk dijelaskan pada kalangan awam, tetapi bisa dipahami dari beragam sudut pandangan,” jelasnya.

 

“Peristiwa ini telah memicu berbagai respons. Baik yang kontradiktif, apalagi bagi yang masih awam dan terkadang sulit untuk dijelaskan. Kita coba memandang dari pengalaman baru-baru ini, yang memberikan pengajaran lebih baik bagi kita daripada peristiwa-peristiwa sejarah.  Dan mengupas bukan hanya sekadar peristiwa terjadi, tetapi juga alasan-alasan lebih luas yang dan menjelaskan tanggapan-tanggapan yang berbeda,” lanjutnya.

 

Untuk memahami kebenaran serangan yang Suwaida, kata Wassim, harus dimulai dengan hitungan mundur peristiwa tahun 2011, yaitu saat Suriah dipimpin oleh Basar al-Assad, sang diktator brutal.

 

Assad kemudian berhasil digulingkan selama 13 tahun perlawanan rakyat Suriah, yang perlawanan tersebut menurut Wassim bersifat alamiah, spontan, dan terdesentralisasi.

 

Aktor-aktor politik regional dan internasional berperan penting dalam mengarahkan hasil dari upaya-upaya pelengseran Assad. “Akan tetapi masalah Suriah masih jauh dari kata selesai,” tandasnya.

 

“Pengganti Assad yaitu Joulani, muncul sebagai pemimpin utama revolusi melalui dukungan aktor-aktor regional, khususnya Turki, dengan persetujuan aktor-aktor internasional, terutama AS,” ungkapnya lanjut.

 

Fakta-fakta mendasar tersebut sebagian besar terlihat biasa-biasa saja, akan tetapi memiliki makna berbeda, dan sepenuhnya bergantung pada interpretasi politik umat Islam menurut Wassim.

 

Interpretasi Politik Umat Islam terhadap Situasi Suriah

 

Wassim menyatakan, ada lima interpretasi politik umat yang lahir dari situasi di Suriah.

 

Pertama, dari sisi keterlibatan terhadap tatanan internasional. “Sebelumnya, banyak kaum Muslim yang berpendapat bahwa tatanan internasional bersifat netral, tidak berbahaya, dan positif. Akan tetapi, suara-suara tersebut mulai meredup dan hampir tidak terdengar lagi,” ujarnya.

 

“Perbedaan di antara kita memandang ini sebagian besar adalah, apakah  tatanan internasional masih bisa dilibatkan? Jika  ya, lalu bagaimana melibatkannya?” tanya Wassim.

 

Kalangan yang  menolak gagasan harus terlibat dengan tatatan internasional didorong oleh prinsip-prinsp yang kuat. “Menurut mereka, tatanan internasional tidak terlepas dari intervensi, maka harus ditentang secara aktif dan berupaya menghancurkannya,” urainya.

 

Kalangan penentang berpendapat, bahwa setiap upaya pembebasan harus dibangun di luar tatanan internasional, dengan perubahan  yang bersifat revolusioner secara alamiah.

 

Ia melanjutkan, lain lagi dengan kalangan yang lebih pragmatis. “Mereka  mampu menyadari bahaya tatanan internasional, tetapi tidak dapat menemukan jalan keluar, dan menerima gagasan keterlibatan di dalamnya. Alasan yang dikemukakan kalangan ini sebagai sarana mewujudkan perubahan bertahap,” bebernya.

 

“Mereka menganggap perlu melibatkan tatanan ini ke dalam sistem, sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan bertahap. Segala biaya yang terkait dengan keterlibatan, baik secara politis maupun spiritual, dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk kemajuan,” sambungnya.

 

Kedua, adanya realitas hegemoni AS yang telah menjadi negara terdepan selama lebih dari tujuh dekade. “AS telah mengeksploitasi posisi negaranya yang bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya, baik secara luas maupun mendalam,” cetusnya.

 

Sehingga  saat ini, ujar Wassim, tidak ada alasan untuk tidak mampu membaca kekuatan AS dengan tepat, terutama terkait penentangannya terhadap upaya pembebasan kaum Muslim.

 

Menurutnya, intervensi AS dalam urusan Muslim mampu mendatangkan keuntungan internal Amerika, tetapi sekaligus juga menyebabkan kerugikan. “Setiap intervensi AS di dunia Muslim telah menunjukkan kebenaran yang mendasar ini,” lugasnya.

 

“Jika AS menjadi bagian dari proses politik, tidak cukup hanya dengan kita merasa benar untuk berasumsi bahwa akan membawa bencana, akan tetapi kita kita juga berkewajiban untuk berpolitik dan melakukan perlawanan secara politik juga,” imbuh Wassim.

 

Lanjut, ia mengatakan, jika seseorang menerima intervensi AS, maka patut dipertanyakan pemikirannya menilai intervensi tersebut sebagai sesuatu yang positif.

 

“Seringkali penilaian demikian jelasnya, hanya dilakukan oleh mereka yang tidak akan terdampak langsung oleh hasil intervensi, atau lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umat Islam,” ungkapnya.

 

Ketiga, penentuan arah politik umat yang sangat bergantung pandangan kekuatan internal diri kaum Muslim.

 

“Terkait keterlibatan dengan tatanan internasional, pertanyaannya kemudian adalah, akankah saya dibentuk oleh tatanan ini melalui keterlibatan saya, atau dapatkah saya membentuknya untuk memajukan politik saya?” tegasnya .

 

Hanya saja, jawabannya kata Wassim sering kali kembali saat mendefinisikan politik, apakah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tetap atau fleksibel, serta kemajuan diukur sebagai yang utama atau pragmatis.

 

Itulah sebabnya keberhasilan dan kegagalan dikaitkan dengan tindakan yang sama. “Duduk di meja merupakan keberhasilan bagi seorang pragmatis. Tetapi sebaliknya, menjadi kegagalan bagi orang berprinsip dan mengingkari segala sesuatu yang diwakili oleh meja tersebut,” tandasnyaa.

 

Keempat, terkait peran para penguasa Muslim. “Para penguasa Muslim hanyalah pos terdepan kolonialisme Barat yang ditanamkan di tubuh kaum Muslim untuk melestarikan dinamika kekuatan kolonial,” tegasnya.

 

“Meskipun terdapat sebagian pemimpin Muslim yang bersifat independen, tetapi model kepemimpinan mereka tidak berbeda  dengan negara modern Barat lain yang hanya peduli pada batas-batas teritorial kekuasannya saja,” jelasnya.

 

“Para penguasa Muslim tidak semuanya sama. Ada yang merupakan musuh bebuyutan, ada yang mementingkan diri sendiri, sementara yang lain adalah sekutu rahasia. Pandangan mana yang kita ambil  secara dramatis, akan mengubah cara kita memandang tindakan dari negara-negara Muslim,” ia teruskan lagi.

 

Kelima, interpretasi tentang syariat dan politik. “Pada kenayataannya, posisi syariat dalam politik dan aktivitas politik hampir tidak menjadi ciri utama percakapan Muslim modern,” tutur aktivis Islam dari partai internasional ideologis itu.

 

“Hasilnya, muncul berbagai seruan kembali ke dalam Islam tetapi membenarkan segala macam posisi yang bermasalah, bahkan yang fatalis,” ulasnya.

 

Lanjut diulasnya, sebagian umat Islam bersikeras bahwa syariat secara eksplisit menganut aturan komprehensif tentang segala bentuk keterlibatan politik. “Pandangan politik ini dianggap bersifat eksklusif dan sempit karena membatasi serangkaian tindakan politik yang dapat diterima,” bebernya.

 

“Di sisi lain, para pendukung fatalis juga meyakini bahwa aktivitas politik Islam hanya berpedoman pada prinsip-prinsip umum, dan keputusan individu seputar penerimaan tindakan politik hanya perlu dibenarkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip universalitas. Pandangan politik ini dinilai lebih fleksibel dan akomodatif, serta tidak bergantung secara tekstual,” sebutnya.

 

Bagaimana Semua Berhubungan dengan Suriah?

 

Wassim menyatakan, hubungan kelima pertimbangan yang telah ia jelaskan dengan peristiwa Suriah, akan membentuk cara pandang umat dalam menyikapi perkembangan situasi sejak 2011 hingga kini yang terjadi di Suriah, sebagai postif atau negatif.

 

Pertama, jika tatanan internasional hanyalah bentuk kolonialisme modern, yang mencengkeram kita di mana-mana dan secara nyata memusuhi kita, lalu bagaimana kita bisa memandang reintegrasi kita ke dalam tatanan ini sebagai hal yang baik?” tegasnya.

 

Apalagi, lanjutnya, ketika mengingat kembali  pengalaman umat Islam dalam peristiwa Arab’s Spring yang menuntut penerapan Islam dan diadopsi secara universal, tetapi hasilnya berbeda.

 

Kedua, jika AS adalah pimpinan kekufuran modern, bahkan telah menunjukkan permusuhannya terhadap umat selama beberapa dekade, jelas peran Amerika tidak mungkin bisa diterima dalam membentuk masa depan Suriah pasca-Assad.

 

Ketiga, seberapa besar kekuasaan yang sebenarnya dimiliki Joulani, dan apakah akan berbeda bagi yang lain jika menduduki posisi yang sama? Bukan berarti umat Islam tidak mampu benar-benar membebaskan diri mereka sendiri. Banyak contoh upaya perjuangan revolusioner berada di ambang kemerdekaan sejati, tapi terus-menerus dikhianati oleh aktor-aktor regional dan internasional karena kelalaian brigade-brigade revolusioner,” terang Wassim.

 

Keempat, ia menyinggung posisi Erdogan di hadapan umat Islam, apakah patut dijadikan sebagai pahlawan, benarkah Erdogan menggelontorkan dana perubahan di Suriah tanpa syarat.

 

“Apakah uang dari negara-negara Teluk benar-benar tanpa syarat? Negara-negara yang sama dan berupaya keras merehabilitasi Assad kini ditampilkan sebagai sekutu umat. Bisakah kebohongan yang sia-sia menutupi kontradiksi yang begitu nyata?” tegasnya kembali.

 

Ia melanjutkan, jika konsepsi tentang politik Islam tidak ada atau kurang informasi, maka tidak heran bila umat Isam terus-menerus dikhianati oleh orang-orang yang dianggap sebagai teman. 

 

“Bahkan mengejar kemajuan melalui jalan yang pada akhirnya merusak dari dalam. Dan  lebih buruk lagi adalah kondisi demikian seolah-olah untuk menjadi kutukan dan terus mengulangi kesalahan yang sama,” jelasnya.

 

Peristiwa di Suwaida

 

Jika mempertimbangkan semua hal di atas, kata Wassim, maka akan muncul beberapa pertanyaan.

 

“Kekuasaan apa yang diandalkan Joulani untuk memerintah? Apakah kekuasaan itu alami dan domestik, atau eksternal dan artifisial? Seberapa besar kebijakan Suriah ditentukan oleh aktor eksternal, dan seberapa besar kapasitas yang dimiliki Joulani untuk melawan?” ungkapnya.

 

Lanjutnya, jika AS mengorganisasikan dan menjadi perantara, serta mengumumkan gencatan senjata terkini, maka poisi kekuasaan Joulani sangat dipertanyakan. 

 

“Begitu juga jika gencatan senjata didukung oleh Turki, Yordania, dan negara-negara Teluk, belum tentu bisa dipandang secara positif dan layak didukung oleh Umat Islam,” ulasnya.

 

Joulani, awalnya, kata Wassim, mengirim pasukannya ke Suwaida lalu menarik mereka ke luar, kemudian mengirimkan mereka kembali ke Suwaida, setelah itu mereka ditarik ke perbatasan Suwaida. “Semuanya dilakukan dalam beberapa hari,” ungkapnya.

 

“Apakah ini terdengar seperti seorang pemimpin yang memiliki kemauan politik independen?” uajrnya.

 

Oleh karena itu, sebutnya, pelajaran berharga dari munculnya beragam argumen seputar posisi politik yang saling bertentangan dan terkadang terdengar teoretis, terutama jika dilakukan jauh dari lokasi terjadinya peristiwa, akan tetapi dampaknya jika diterapkan di lapangan, nyata dan mematikan.

 

“Saya harap peristiwa di Suwaida, Suriah, harus memaksa kita, setidaknya untuk mengkaji posisi yang lebih cermat dan mempertanyakan asumsi yang mendasarinya. Terpenting lagi adalah, saya harap kita menyempurnakan posisi kita agar dapat membantu membentuk hasil yang lebih baik di lapangan,” pungkasnya.[] M. Siregar

Opini

×
Berita Terbaru Update