Tintasiyasi.ID -- Intelektual Muslim Sydney, Australia, Wassim Dourehi menyatakan bahwa peristiwa serangan ke Suwaida, Suriah, menyisakan rasa sakit, karena bukan hanya nyawa umat Islam menjadi korbannya, tetapi juga telah melayani kepentingan musuh.
“Banyak yang bisa diutarakan tentang peristiwa di Suwaida.
Rasa sakit akibat peristiwa ini bukan hanya nyawa umat Muslim yang hilang
akibat agresi, tetapi nyawa tersebut dikorbankan murah yang akhirnya melayani
kepentingan musuh kita,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Senin
(21/07/2025).
Selain itu, peristiwa yang terjadi di Suriah, tepatnya
di Suwaida, juga telah memicu berbagai respons dari berbagai kalangan kaum
Muslim dunia selama seminggu terakhir.
Menurutnya, umat juga bisa mengambil pelajaran yang
lebih luas, bukan hanya melihat peristiwa Suriah dari sisi fakta semata. “Meskipun
sulit untuk dijelaskan pada kalangan awam, tetapi bisa dipahami dari beragam
sudut pandangan,” jelasnya.
“Peristiwa ini telah memicu berbagai respons. Baik
yang kontradiktif, apalagi bagi yang masih awam dan terkadang sulit untuk
dijelaskan. Kita coba memandang dari pengalaman baru-baru ini, yang memberikan
pengajaran lebih baik bagi kita daripada peristiwa-peristiwa sejarah. Dan mengupas bukan hanya sekadar peristiwa
terjadi, tetapi juga alasan-alasan lebih luas yang dan menjelaskan
tanggapan-tanggapan yang berbeda,” lanjutnya.
Untuk memahami kebenaran serangan yang Suwaida, kata
Wassim, harus dimulai dengan hitungan mundur peristiwa tahun 2011, yaitu saat
Suriah dipimpin oleh Basar al-Assad, sang diktator brutal.
Assad kemudian berhasil digulingkan selama 13 tahun
perlawanan rakyat Suriah, yang perlawanan tersebut menurut Wassim bersifat
alamiah, spontan, dan terdesentralisasi.
Aktor-aktor politik regional dan internasional
berperan penting dalam mengarahkan hasil dari upaya-upaya pelengseran Assad. “Akan
tetapi masalah Suriah masih jauh dari kata selesai,” tandasnya.
“Pengganti Assad yaitu Joulani, muncul sebagai
pemimpin utama revolusi melalui dukungan aktor-aktor regional, khususnya Turki,
dengan persetujuan aktor-aktor internasional, terutama AS,” ungkapnya lanjut.
Fakta-fakta mendasar tersebut sebagian besar terlihat
biasa-biasa saja, akan tetapi memiliki makna berbeda, dan sepenuhnya bergantung
pada interpretasi politik umat Islam menurut Wassim.
Interpretasi Politik Umat Islam terhadap
Situasi Suriah
Wassim menyatakan, ada lima interpretasi politik umat
yang lahir dari situasi di Suriah.
Pertama, dari sisi keterlibatan terhadap
tatanan internasional. “Sebelumnya, banyak kaum Muslim yang berpendapat bahwa
tatanan internasional bersifat netral, tidak berbahaya, dan positif. Akan
tetapi, suara-suara tersebut mulai meredup dan hampir tidak terdengar lagi,”
ujarnya.
“Perbedaan di antara kita memandang ini sebagian besar
adalah, apakah tatanan internasional
masih bisa dilibatkan? Jika ya, lalu
bagaimana melibatkannya?” tanya Wassim.
Kalangan yang
menolak gagasan harus terlibat dengan tatatan internasional didorong
oleh prinsip-prinsp yang kuat. “Menurut mereka, tatanan internasional tidak
terlepas dari intervensi, maka harus ditentang secara aktif dan berupaya
menghancurkannya,” urainya.
Kalangan penentang berpendapat, bahwa setiap upaya
pembebasan harus dibangun di luar tatanan internasional, dengan perubahan yang bersifat revolusioner secara alamiah.
Ia melanjutkan, lain lagi dengan kalangan yang lebih
pragmatis. “Mereka mampu menyadari
bahaya tatanan internasional, tetapi tidak dapat menemukan jalan keluar, dan
menerima gagasan keterlibatan di dalamnya. Alasan yang dikemukakan kalangan ini
sebagai sarana mewujudkan perubahan bertahap,” bebernya.
“Mereka menganggap perlu melibatkan tatanan ini ke
dalam sistem, sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan bertahap. Segala biaya
yang terkait dengan keterlibatan, baik secara politis maupun spiritual,
dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk kemajuan,” sambungnya.
Kedua, adanya realitas hegemoni AS yang
telah menjadi negara terdepan selama lebih dari tujuh dekade. “AS telah
mengeksploitasi posisi negaranya yang bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya,
baik secara luas maupun mendalam,” cetusnya.
Sehingga saat
ini, ujar Wassim, tidak ada alasan untuk tidak mampu membaca kekuatan AS dengan
tepat, terutama terkait penentangannya terhadap upaya pembebasan kaum Muslim.
Menurutnya, intervensi AS dalam urusan Muslim mampu
mendatangkan keuntungan internal Amerika, tetapi sekaligus juga menyebabkan kerugikan.
“Setiap intervensi AS di dunia Muslim telah menunjukkan kebenaran yang mendasar
ini,” lugasnya.
“Jika AS menjadi bagian dari proses politik, tidak
cukup hanya dengan kita merasa benar untuk berasumsi bahwa akan membawa bencana,
akan tetapi kita kita juga berkewajiban untuk berpolitik dan melakukan
perlawanan secara politik juga,” imbuh Wassim.
Lanjut, ia mengatakan, jika seseorang menerima
intervensi AS, maka patut dipertanyakan pemikirannya menilai intervensi
tersebut sebagai sesuatu yang positif.
“Seringkali penilaian demikian jelasnya, hanya
dilakukan oleh mereka yang tidak akan terdampak langsung oleh hasil intervensi,
atau lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umat Islam,”
ungkapnya.
Ketiga, penentuan arah politik umat yang
sangat bergantung pandangan kekuatan internal diri kaum Muslim.
“Terkait keterlibatan dengan tatanan internasional,
pertanyaannya kemudian adalah, akankah saya dibentuk oleh tatanan ini melalui
keterlibatan saya, atau dapatkah saya membentuknya untuk memajukan politik
saya?” tegasnya .
Hanya saja, jawabannya kata Wassim sering kali kembali
saat mendefinisikan politik, apakah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tetap
atau fleksibel, serta kemajuan diukur sebagai yang utama atau pragmatis.
Itulah sebabnya keberhasilan dan kegagalan dikaitkan
dengan tindakan yang sama. “Duduk di meja merupakan keberhasilan bagi seorang
pragmatis. Tetapi sebaliknya, menjadi kegagalan bagi orang berprinsip dan
mengingkari segala sesuatu yang diwakili oleh meja tersebut,” tandasnyaa.
Keempat, terkait peran para penguasa Muslim.
“Para penguasa Muslim hanyalah pos terdepan kolonialisme Barat yang ditanamkan
di tubuh kaum Muslim untuk melestarikan dinamika kekuatan kolonial,” tegasnya.
“Meskipun terdapat sebagian pemimpin Muslim yang
bersifat independen, tetapi model kepemimpinan mereka tidak berbeda dengan negara modern Barat lain yang hanya
peduli pada batas-batas teritorial kekuasannya saja,” jelasnya.
“Para penguasa Muslim tidak semuanya sama. Ada yang
merupakan musuh bebuyutan, ada yang mementingkan diri sendiri, sementara yang
lain adalah sekutu rahasia. Pandangan mana yang kita ambil secara dramatis, akan mengubah cara kita
memandang tindakan dari negara-negara Muslim,” ia teruskan lagi.
Kelima, interpretasi tentang syariat dan
politik. “Pada kenayataannya, posisi syariat dalam politik dan aktivitas
politik hampir tidak menjadi ciri utama percakapan Muslim modern,” tutur aktivis
Islam dari partai internasional ideologis itu.
“Hasilnya, muncul berbagai seruan kembali ke dalam
Islam tetapi membenarkan segala macam posisi yang bermasalah, bahkan yang
fatalis,” ulasnya.
Lanjut diulasnya, sebagian umat Islam bersikeras bahwa
syariat secara eksplisit menganut aturan komprehensif tentang segala bentuk
keterlibatan politik. “Pandangan politik ini dianggap bersifat eksklusif dan sempit
karena membatasi serangkaian tindakan politik yang dapat diterima,” bebernya.
“Di sisi lain, para pendukung fatalis juga meyakini
bahwa aktivitas politik Islam hanya berpedoman pada prinsip-prinsip umum, dan keputusan
individu seputar penerimaan tindakan politik hanya perlu dibenarkan dengan
mengacu pada prinsip-prinsip universalitas. Pandangan politik ini dinilai lebih
fleksibel dan akomodatif, serta tidak bergantung secara tekstual,” sebutnya.
Bagaimana Semua Berhubungan dengan
Suriah?
Wassim menyatakan, hubungan kelima pertimbangan yang
telah ia jelaskan dengan peristiwa Suriah, akan membentuk cara pandang umat
dalam menyikapi perkembangan situasi sejak 2011 hingga kini yang terjadi di
Suriah, sebagai postif atau negatif.
“Pertama, jika tatanan internasional hanyalah
bentuk kolonialisme modern, yang mencengkeram kita di mana-mana dan secara
nyata memusuhi kita, lalu bagaimana kita bisa memandang reintegrasi kita ke
dalam tatanan ini sebagai hal yang baik?” tegasnya.
Apalagi, lanjutnya, ketika mengingat kembali pengalaman umat Islam dalam peristiwa Arab’s
Spring yang menuntut penerapan Islam dan diadopsi secara universal, tetapi
hasilnya berbeda.
Kedua, jika AS adalah pimpinan kekufuran
modern, bahkan telah menunjukkan permusuhannya terhadap umat selama beberapa
dekade, jelas peran Amerika tidak mungkin bisa diterima dalam membentuk masa
depan Suriah pasca-Assad.
“Ketiga, seberapa besar kekuasaan yang
sebenarnya dimiliki Joulani, dan apakah akan berbeda bagi yang lain jika
menduduki posisi yang sama? Bukan berarti umat Islam tidak mampu benar-benar
membebaskan diri mereka sendiri. Banyak contoh upaya perjuangan revolusioner
berada di ambang kemerdekaan sejati, tapi terus-menerus dikhianati oleh
aktor-aktor regional dan internasional karena kelalaian brigade-brigade
revolusioner,” terang Wassim.
Keempat, ia menyinggung posisi Erdogan di
hadapan umat Islam, apakah patut dijadikan sebagai pahlawan, benarkah Erdogan
menggelontorkan dana perubahan di Suriah tanpa syarat.
“Apakah uang dari negara-negara Teluk benar-benar
tanpa syarat? Negara-negara yang sama dan berupaya keras merehabilitasi Assad
kini ditampilkan sebagai sekutu umat. Bisakah kebohongan yang sia-sia menutupi
kontradiksi yang begitu nyata?” tegasnya kembali.
Ia melanjutkan, jika konsepsi tentang politik Islam
tidak ada atau kurang informasi, maka tidak heran bila umat Isam terus-menerus
dikhianati oleh orang-orang yang dianggap sebagai teman.
“Bahkan mengejar kemajuan melalui jalan yang pada
akhirnya merusak dari dalam. Dan lebih
buruk lagi adalah kondisi demikian seolah-olah untuk menjadi kutukan dan terus
mengulangi kesalahan yang sama,” jelasnya.
Peristiwa di Suwaida
Jika mempertimbangkan semua hal di atas, kata Wassim,
maka akan muncul beberapa pertanyaan.
“Kekuasaan apa yang diandalkan Joulani untuk
memerintah? Apakah kekuasaan itu alami dan domestik, atau eksternal dan
artifisial? Seberapa besar kebijakan Suriah ditentukan oleh aktor eksternal,
dan seberapa besar kapasitas yang dimiliki Joulani untuk melawan?” ungkapnya.
Lanjutnya, jika AS mengorganisasikan dan menjadi
perantara, serta mengumumkan gencatan senjata terkini, maka poisi kekuasaan Joulani
sangat dipertanyakan.
“Begitu juga jika gencatan senjata didukung oleh
Turki, Yordania, dan negara-negara Teluk, belum tentu bisa dipandang secara
positif dan layak didukung oleh Umat Islam,” ulasnya.
Joulani, awalnya, kata Wassim, mengirim pasukannya ke
Suwaida lalu menarik mereka ke luar, kemudian mengirimkan mereka kembali ke
Suwaida, setelah itu mereka ditarik ke perbatasan Suwaida. “Semuanya dilakukan
dalam beberapa hari,” ungkapnya.
“Apakah ini terdengar seperti seorang pemimpin yang
memiliki kemauan politik independen?” uajrnya.
Oleh karena itu, sebutnya, pelajaran berharga dari
munculnya beragam argumen seputar posisi politik yang saling bertentangan dan
terkadang terdengar teoretis, terutama jika dilakukan jauh dari lokasi
terjadinya peristiwa, akan tetapi dampaknya jika diterapkan di lapangan, nyata
dan mematikan.
“Saya harap peristiwa di Suwaida, Suriah, harus
memaksa kita, setidaknya untuk mengkaji posisi yang lebih cermat dan
mempertanyakan asumsi yang mendasarinya. Terpenting lagi adalah, saya harap
kita menyempurnakan posisi kita agar dapat membantu membentuk hasil yang lebih
baik di lapangan,” pungkasnya.[] M. Siregar