Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tawakal sebagai Obat Hakiki: Seni Menyatu dengan Kehendak Allah

Senin, 21 Juli 2025 | 09:59 WIB Last Updated 2025-07-21T03:00:12Z

TintaSiyasi.id -- “Terus-meneruslah setuju dengan Allah Azza wa Jalla, baik dalam duka maupun suka, miskin maupun kaya, derita maupun sejahtera, sakit maupun sehat, keburukan maupun kebaikan, dan saat diberi maupun saat tak diberi. Aku tidak melihat obat bagi kalian selain tawakal kepada-Nya.”
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Fathur Rabbani.

Pendahuluan: Nasihat dari Lautan Ma'rifat.

Nasihat Sayyid Abdul Qadir al-Jailani ini bukanlah sekadar untaian kata motivasi, melainkan pancaran cahaya dari samudra ma‘rifatullah. Ia tidak berbicara dari sekadar logika akal atau emosi jiwa, tetapi dari limpahan nur yang ia dapatkan lewat kedekatan yang mendalam dengan Allah Swt. Apa yang beliau sampaikan adalah buah dari suluk spiritual, dari tahapan ujian dan keterhubungan batin yang mendalam dengan Rabbul ‘Alamin.

Ketika beliau mengatakan, “Aku tidak melihat obat bagi kalian selain tawakal kepada-Nya,” maka itu bukan sekadar opsi hidup, tetapi inti penyembuh luka-luka jiwa dan penawar segala kegelisahan manusia modern.

1. Makna “Setuju dengan Allah” dalam Segala Keadaan

Frasa “setuju dengan Allah” menunjukkan maqam yang sangat tinggi dalam iman. Ini bukan sekadar bersabar. Ini adalah kerelaan total (ridha). Seorang hamba yang ridha tidak hanya menerima apa yang Allah takdirkan, tetapi menyambutnya dengan lapang dada, seolah berkata dalam hatinya:
"Ya Allah, apapun yang Engkau tentukan untukku, baik dalam senyum maupun air mata, aku tahu semua itu berasal dari cinta dan hikmah-Mu."

Setuju dengan Allah berarti menyelaraskan diri dengan kehendak-Nya, berhenti berkeluh-kesah terhadap ketentuan-Nya, dan menyadari bahwa Allah tidak pernah zalim dalam semua keputusan-Nya.
Ridha bukan sikap pasif. Justru ia adalah ketenangan aktif, yakni: terus bergerak dalam ibadah, terus berikhtiar dalam hidup, tetapi tidak pernah menggugat Allah ketika hasilnya tak sesuai harapan.

2. Ujian sebagai Sinyal Kasih Sayang Allah

Ketika derita datang, ketika rezeki terhenti, ketika doa belum juga diijabah, banyak manusia yang resah dan kecewa, tetapi seorang wali, seorang salik, dan seorang mukhlis sejati justru melihat itu sebagai panggilan untuk naik kelas iman. Ia tahu bahwa ujian adalah isyarat bahwa Allah sedang mendidiknya, sedang membentuk jiwanya agar lebih dekat, lebih kuat, lebih tulus.

Sayyid Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa yang penting bukan kondisi lahir, tetapi sikap batin terhadap kondisi itu.
Apakah kita bersyukur dalam senang?
Apakah kita bersabar dalam susah?
Apakah kita tetap istiqamah dalam amal meskipun tidak melihat hasil langsung?

Inilah bentuk “setuju” itu. Dan inilah jalan menuju kebahagiaan ruhani yang sejati.

3. Tawakal: Puncak dari Tauhid Amali

Tawakal dalam bahasa Arab berasal dari kata wakala yang berarti menyerahkan urusan kepada pihak lain. Dalam konteks spiritual, tawakal adalah menyerahkan seluruh urusan hidup kepada Allah, setelah usaha dan doa maksimal dilakukan.
Tawakal adalah buah dari tauhid. Ia adalah bentuk konkret dari keyakinan bahwa tidak ada yang berkuasa selain Allah. Tawakal tidak hanya terjadi dalam musibah, tetapi juga dalam karunia. Orang yang bertawakal tidak sombong ketika diberi, dan tidak putus asa ketika ditahan.

Seorang mukmin yang bertawakal:
• Tidak menggantungkan harapan kepada makhluk.
• Tidak takut kehilangan rezeki karena tahu Allah-lah Ar-Razzaq.
• Tidak patah semangat karena tahu semua hal berjalan sesuai takdir dan rencana-Nya.

4. Mengapa Tawakal Adalah Obat Hakiki?

Kita hidup di zaman kegelisahan. Dunia modern menjanjikan kontrol, tetapi justru menghadirkan stres karena ilusi kendali yang palsu. Ketika manusia merasa bisa mengendalikan segalanya, maka ketika gagal, ia hancur. Di sinilah tawakal menjadi obat.
Tawakal menyembuhkan:
• Kecemasan akan masa depan.
• Penyesalan terhadap masa lalu.
• Ketakutan terhadap kemiskinan, penyakit, kehilangan, dan kematian.

Sebab hati yang bersandar kepada Allah tak akan limbung. Ia tahu bahwa tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin-Nya, dan semua yang ditentukan-Nya pasti mengandung rahmat, walau kadang tersembunyi.

5. Spiritualitas dalam Keseharian: Menjadikan Tawakal Gaya Hidup

Tawakal bukan sekadar laku hati di atas sajadah. Ia harus menjiwai seluruh aktivitas hidup. Inilah yang diajarkan para salaf, termasuk al-Jailani:
• Dalam bekerja, seorang Muslim bertawakal bahwa rezekinya takkan tertukar.
• Dalam berdakwah, seorang dai bertawakal bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah.
• Dalam mendidik anak, orang tua bertawakal bahwa tugasnya hanya menanam, Allah-lah yang menumbuhkan.
Tawakal harus menjadi mindset ruhani: bekerja dengan niat lillah, berjuang dengan sungguh-sungguh, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan hati yang lapang.

6. Ridha dan Tawakal: Dua Sayap Penerbangan Ruhani

Ridha adalah rasa tenang terhadap apa yang sudah terjadi. Tawakal adalah kepercayaan pada apa yang akan terjadi. Keduanya adalah dua sayap untuk terbang menuju kedekatan dengan Allah. Ketika hati telah memiliki keduanya, maka dunia tidak lagi menakutkan, sebab semua telah berada dalam genggaman Allah.
Sayyid Abdul Qadir tidak mengajarkan pelarian dari dunia, tetapi keterhubungan dengan Allah dalam menghadapi dunia.
“Siapa yang tawakal kepada Allah, maka Allah akan cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 3).

Penutup: Jalan Ketenangan Sejati

Di tengah zaman yang penuh kompetisi, kegelisahan, dan krisis spiritual, marilah kita kembali kepada nasihat para wali, kepada suara hati yang lurus: bersandar hanya kepada Allah.
Jangan menakar hidup dengan logika semata.
Jangan menilai kebahagiaan dari materi dunia.
Jangan kecewa terhadap takdir, sebab semua datang dari Sang Mahakasih.

Tundukkanlah hatimu di hadapan-Nya. Biarkan Dia yang menuntun hidupmu. Sebab obat segala luka, jawaban segala tanya, dan kunci segala ketenangan hanyalah satu: tawakal kepada Allah.

Doa Penutup
اللهم اجعلنا من المتوكلين عليك، الراضين بقضائك، الصابرين على بلائك، الشاكرين لنعمائك، المحبين لك في السراء والضراء، واجعل قلوبنا لا تأنس إلا بك، ولا ترضى إلا بك، ولا تهدأ إلا بذكرك.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

Doa indah yang penuh makna ini menggambarkan sebuah ruh yang lurus, hati yang ikhlas, dan jiwa yang telah pasrah sepenuhnya kepada Allah. Berikut terjemahan dan penjelasannya secara mendalam untuk memperkuat maknanya dalam hati kita:

Doa Tawakal dan Ridha yang Menentramkan Hati
اللهم اجعلنا من المتوكلين عليك،
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bertawakal kepada-Mu,".

Tawakal bukan hanya menyerahkan hasil, tetapi meletakkan seluruh harap dan sandaran hanya kepada Allah, bukan makhluk.
الراضين بقضائك،
orang-orang yang ridha terhadap segala keputusan-Mu,

Ridha adalah kedamaian hati saat takdir Allah terjadi, tanpa protes dan tanpa kecewa.
الصابرين على بلائك،
yang sabar atas ujian dan musibah-Mu,

Sabar bukan hanya menahan, tetapi tetap istiqamah dalam iman dan amal saat badai datang.
الشاكرين لنعمائك،
yang pandai bersyukur atas segala nikmat-Mu,

Syukur bukan hanya di lisan, tetapi juga tercermin dalam amal, dalam hati yang mengakui bahwa semua datang dari Allah.
المحبين لك في السراء والضراء،
yang mencintai-Mu baik dalam keadaan senang maupun susah,

Cinta sejati tidak memudar saat dunia menjauh, justru semakin dalam ketika diuji.
واجعل قلوبنا لا تأنس إلا بك،
dan jadikanlah hati kami tak merasa tenteram kecuali dengan-Mu,

Dunia bisa menyibukkan, tapi hanya Allah yang bisa menenangkan hati.
ولا ترضى إلا بك،
tidak ridha kecuali dengan-Mu sebagai tujuan dan kekasih sejati,

Semua selain Allah adalah fana. Maka keridhaan hakiki hanya bila kita mendekat kepada-Nya.
ولا تهدأ إلا بذكرك.
dan tidak tenang kecuali dengan mengingat-Mu.
Sebagaimana firman-Nya: “Alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Renungan Penutup

Doa ini adalah refleksi dari maqam-maqam ruhani tertinggi: tawakal, ridha, sabar, syukur, cinta, dan dzikir. Jika hati telah sampai pada tingkatan ini, maka dunia tidak lagi menggoncang, dan surga terasa sudah mulai dibuka di dunia.
Marilah kita ulang-ulang doa ini dalam sujud dan tangisan kita.
Karena ia bukan sekadar untaian kata indah, tapi jalan menuju Allah, tempat kita pulang.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana  UIT LIrboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update