Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pendidikan Gratis: Patut Disyukuri, tapi Butuh Sistem yang Menjamin Secara Menyeluruh

Selasa, 22 Juli 2025 | 20:33 WIB Last Updated 2025-07-22T13:33:36Z

TintaSiyasi.id -- Kabar gembira datang dari Mojokerto. Di tengah realitas pendidikan nasional yang masih menghadapi berbagai tantangan, Pemerintah Kota Mojokerto mengambil langkah konkret yang patut diapresiasi. Pemerintah kota tersebut menggulirkan program bantuan perlengkapan sekolah secara cuma-cuma kepada ribuan siswa baru dari jenjang TK, SD, hingga SMP.

Program ini tidak sekadar simbolik. Sebanyak 5.641 pelajar menerima paket bantuan berupa seragam, sepatu, tas, dan alat tulis yang dibutuhkan untuk memulai tahun ajaran baru. Pemerintah Kota bahkan mengalokasikan anggaran cukup besar, lebih dari Rp28 miliar, untuk mendanai program ini. Ini adalah bentuk nyata komitmen terhadap pendidikan rakyat.

Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari, menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan wujud tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif, merata, dan dapat diakses oleh semua kalangan, tanpa diskriminasi sosial-ekonomi. Di tengah banyaknya daerah yang masih mencatat angka putus sekolah akibat beban biaya, inisiatif ini tentu menjadi angin segar dan patut ditiru oleh daerah lain. (Sumber: beritajatim.com, 18 Juli 2025)

Namun, jika kita ingin berbicara jujur dan menyeluruh, bantuan semacam ini sejatinya hanyalah solusi parsial. Program ini belum menyentuh akar persoalan pendidikan di negeri ini. Masalah sesungguhnya jauh lebih dalam dan sistemis. Maka, kita perlu mendorong kehadiran negara yang bukan hanya responsif sesaat, tetapi benar-benar menjamin pendidikan rakyat dari hulu hingga hilir—secara total dan tanpa batas.


Menyoal Sistem yang Menopang Pendidikan: Antara Kepedulian dan Keberlanjutan

Rasa syukur atas bantuan yang diberikan tentu perlu kita haturkan. Tetapi tak cukup hanya itu. Kita juga harus mengajukan pertanyaan mendasar: Mengapa pendidikan masih mahal, tidak merata, dan lemah secara kualitas? Padahal Indonesia telah merdeka lebih dari tujuh dekade. Seharusnya akses terhadap pendidikan yang baik dan terjangkau telah menjadi keniscayaan bagi setiap anak bangsa.

Jawaban atas pertanyaan ini tidak terletak pada individu pemimpin atau pemerintah daerah semata, melainkan pada sistem besar yang menjadi kerangka pikir dan kerangka kerja dalam mengelola negara—yakni sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan segala hal—termasuk pendidikan—sebagai komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dijamin negara.
Beberapa fakta yang bisa kita soroti dari sistem ini:

Pertama, dalam paradigma kapitalisme, pendidikan dinilai berdasarkan manfaat ekonominya, bukan sebagai investasi peradaban. Negara lebih fokus membangun infrastruktur fisik dan proyek strategis yang menjanjikan keuntungan jangka pendek, sementara pendidikan dianggap sektor sekunder yang tak mendatangkan profit langsung.

Kedua, kualitas pendidikan sering diukur dari standar global semacam PISA (Programme for International Student Assessment) milik OECD. Ini membuat pendidikan di Indonesia mengejar ranking semata, alih-alih membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Akibatnya, banyak pelajar cerdas secara akademik, tapi lemah dalam integritas dan kepemimpinan moral.

Ketiga, negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam konsep good governance. Ini berarti dunia pendidikan diserahkan kepada pasar. Swasta bebas masuk, mendirikan lembaga pendidikan, dan mematok biaya tinggi sesuai logika bisnis. Pendidikan pun menjadi hak istimewa bagi kalangan mampu.

Keempat, beban fiskal negara yang tinggi akibat utang luar negeri menyebabkan minimnya dana untuk sektor publik. Banyak pos anggaran tersedot untuk membayar bunga utang dan subsidi proyek infrastruktur. Sementara sektor pendidikan sering kali hanya mendapatkan sisa-sisa.

Kelima, sistem desentralisasi dan otonomi daerah menyebabkan ketimpangan kualitas dan akses pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil. Pemerintah pusat tidak bisa mengintervensi banyak hal, sementara pemerintah daerah sering kekurangan dana dan kapasitas untuk memberikan layanan pendidikan berkualitas.

Maka, sebaik dan setulus apa pun niat pemerintah daerah seperti Mojokerto, upaya tersebut akan selalu terbatas dan tidak berkelanjutan jika sistemnya masih kapitalistik.


Solusi Islam: Pendidikan Dijamin Negara, Bukan Dijual Pasar

Islam memandang pendidikan sebagai hak mendasar setiap manusia dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar alat mobilitas sosial, tetapi merupakan sarana untuk membentuk kepribadian Islam yang kokoh, membangun peradaban, dan mencetak pemimpin masa depan yang bertakwa dan bertanggung jawab.

Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadis ini bukan hanya menunjukkan keutamaan ilmu, tetapi juga menggambarkan urgensi menyediakan jalan agar ilmu itu mudah diraih semua orang.

Dalam sistem Islam, yang diterapkan secara kaffah melalui institusi khilafah, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjamin pendidikan rakyat. Negara tidak membebankan biaya kepada rakyat, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi, termasuk untuk laki-laki maupun perempuan.

Jaminan ini mencakup gaji guru dan dosen yang mencukupi dan terhormat, fasilitas sekolah dan perguruan tinggi yang memadai dan tersebar merata, kurikulum yang terintegrasi dengan akidah Islam, yang mencetak insan berilmu dan berkepribadian Islam, buku pelajaran, alat tulis, bahkan hingga seragam yang disediakan negara, sistem pembelajaran yang mendorong adab, akhlak, dan tanggung jawab sosial.

Pendanaan sistem ini tidak berasal dari utang atau pajak yang mencekik rakyat, melainkan dari pos-pos pemasukan negara yang sah dalam Islam, seperti fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, serta pengelolaan kekayaan alam (SDA) yang merupakan milik umum.

Dalam sejarahnya, sistem khilafah telah membuktikan kemampuan luar biasa dalam mencerdaskan rakyatnya. Universitas seperti Al-Qarawiyyin dan Nizamiyah berdiri megah di berbagai wilayah dunia Islam, tanpa memungut biaya. Sekolah-sekolah bahkan dibangun hingga ke pelosok-pelosok desa. Para ulama, ilmuwan, dan cendekiawan lahir dari sistem pendidikan Islam yang membebaskan dari tekanan ekonomi.


Penutup: Syukur Saja Tak Cukup, Butuh Perubahan Sistemis

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Mojokerto patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Ini membuktikan bahwa masih ada pemimpin yang peduli terhadap nasib pendidikan rakyat kecil. Namun rasa syukur tak boleh membuat kita terlena. Bantuan tas dan sepatu tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan pendidikan bangsa.

Jika akar masalahnya adalah sistem kapitalisme, maka solusi sejatinya adalah perubahan sistemik ke arah sistem Islam. Sistem ini telah terbukti secara sejarah menjamin pendidikan gratis, berkualitas, dan berorientasi pada pembentukan kepribadian mulia. Sistem yang bukan hanya melahirkan manusia cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan spiritual.

Saatnya kita berpikir lebih jauh. Pendidikan bukan sekadar soal angka, fasilitas, atau rangking internasional. Pendidikan adalah jalan membangun peradaban. Dan peradaban agung hanya bisa lahir dari sistem yang agung. Islam telah menawarkan sistem itu, tinggal umat ini berani atau tidak untuk mengambilnya kembali. []


Oleh: Mujiman
(Lulusan API 3, 2025)

Opini

×
Berita Terbaru Update