Tintasiyasi.ID -- Pakar Ekonomi dan Bisnis Islam Ustaz Dwi Condro Triyono, Ph.D. mengungkapkan bahwa makro ekonomi lesu itu ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
"Nah, bagaimana makro ekonomi itu bisa lesu?
biasanya ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi," ungkapnya dalam
acara Bincang-Bincang Bareng Tsalis Group dengan tema Menjaga Ekonomi
Keluarga Saat Krisis Melanda di YouTube Tsalis Group, Rabu
(09/07/2025).
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi bisa dijadikan
indikator bagi pakar ekonomi untuk melihat bagaimana berjalannya ekonomi itu
adalah indikator yang paling mudah. “Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan
pertumbuhan angkatan tenaga kerja, jadi ekonomi itu bisa lag (menurun)
bisa juga lead (tumbuh),” bebernya.
"Nah, kalau ekonomi itu tetap mengalami lag
tetapi pertumbuhan penduduk juga relatif tetap, apalagi negatif, itu insyaallah
aman. Tetapi kalau pertumbuhan penduduk naik, sementara tidak ada pertumbuhan
ekonomi berarti ada penambahan angkatan tenaga kerja yang menganggur. Angkatan
kerja itu bertambah terus maka pengangguran bertambah terus," ujarnya.
Jumlah pengangguran yang akan bertambah diikuti bisa
dihitung dari jumlah pertambahan penduduk. “Misalnya saja Indonesia pertambahan
42 persen. Katakanlah yang mudah penduduk Indonesia itu 300 juta. 2 persennya
itu berarti sudah sekitar enam juta. Berarti setahun itu ada tambahan angkatan
kerja baru ya sekitar enam juta,” paparnya.
"Berapa kekuatan penyerapan dari lapangan kerja?
Kalau lapangan kerja itu misalnya hanya tambah Rp500.000 atau tambah satu juta
berarti kan ada penambahan pengangguran sekitar 5 juta atau 5,5 juta,” ulasnya.
“Nah, itulah yang menyebabkan ekonomi tidak bisa
bertumbuh. Berarti apa? banyak pengangguran. Orang menganggur itu kan tidak
punya daya beli. Kalau tidak ada daya beli, maka banyak penjualan-penjualan
yang enggak laku. Itu teori seperti itu. Jadi,
pelambatan ekonomi atau tidak adanya pertumbuhan ekonomi itu menyebabkan
terjadinya banyak pengangguran," ungkapnya.
Kemudian jika dirunut lagi, lanjutnya, ekonomi tidak
bisa bertumbuh karena ekonomi negara di dunia ini tidak ada yang
perekonomiannya itu tertutup.
“Semua negara-negara sekarang ini perekonomian
terbuka. Ini apa? Kalau kita itu melangsungkan kegiatan ekonomi, tidak hanya
produksi itu dijual di negaranya sendiri, tetapi penjualan itu juga ke luar
negeri. Termasuk kita juga mengimpor, baik itu mengimpor bahan jadi maupun
bahan-bahan untuk keputuan industri,” ucapnya.
"Sehingga lalu lintas ekspor impor sekarang itu
suatu keniscayaan. Di negeri mana pun tidak ada yang tertutup, semua terbuka. Sehingga
kalau ada negara yang ekonominya itu sangat menggantungkan kepada ekspor
seperti Indonesia ini kan produk-produknya itu banyak bergantung kepada
ekspor," terangnya.
Lanjut dikatakan, kalau ada keguncangan ekonomi dunia
pasti akan langsung memukul ekonomi dalam negeri. “Misalnya kemarin yang
terjadi ketika Amerika mulai mengumumkan proteksionisme. proteksionisme itu
mencoba untuk menutup impor yang masuk ke negaranya dengan cara menaikkan tarif
biaya impor,” sebutnya.
“Kenaikan tarif biaya impor yang masuk ke Amerika itu
jelas akan memukul negara eksportirnya. Ke Indonesia itu dipukul katakanlah 32
persen barang yang masuk, sehingga harus bersaing dengan produk dalam negeri
Amerika,” tandasnya.
"Kalau harganya terlalu tinggi karena tarif biaya
masuknya tinggi, itu secara tidak langsung akan memukul pengekspor Indonesia.
Kalau ekspor Indonesia itu terpukul akibatnya apa? Pabriknya tutup. Nah,
gelombang PHK itu akan terjadi," lugasnya.
Ia munyebut, kalau gelombang PHK terjadi, berarti
masyarakat tidak punya pendapatan. Kalau tidak punya pendapatan, tidak ada daya
beli, kalau tidak ada daya beli itu akan menyebabkan penjualan-penjualan
produk-produk dari dalam negeri mengalami kelesuan, tidak ada yang membeli.
"Ditambah lagi program efisiensi yang dilakukan
oleh pemerintah. Kita tahu efisiensi yang dilakukan pemerintah itu sangat
memukul industri dalam negeri, khususnya industri perhotelan dan pariwisata. Yang
biasanya banyak pelanggan-pelanggan hotel itu dari instansi-instansi dari
kantor-kantor untuk rapat-rapat, untuk raker dan sebagainya," imbuhnya.
Lanjut ijarnya, sekarang sudah efisiensi akibatnya
semua hotel-hotel itu ambruk. “Di Yogyakarta kita tahu bagaimana hotel-hotel
itu menawarkan harga yang sampai gila-gilaan. Dipotong 50 persen, ada yang
potong 70 persen, bahkan ada yang potong sampai 90 persen tetap enggak laku,”
ungkapnya.
"Kalau banyak industri perhotelan pariwisata
mulai ambruk, menambah kelesuan ekonomi, daya beli masyarakat semakin turun,
maka inilah yang membuat ekonomi semakin sulit. Sehingga semua upaya keras kita
untuk melakukan penjualan, pemasaran. Nah, sebagus apapun program pemasaran
kita, sebagus apapun produk-produk yang kita hasilkan, itu tetap akan sulit
mendapatkan pembeli," ujarnya.
Ia mengatakan, jika hal itu terjadi secara nasional,
berarti secara makro itu benar-benar dalam area krisis ekonomi yang biasanya
ditandai awalannya itu disebut resesi.
“Resesi itu sudah mulai ada pelambatan dan nanti kalau
tidak bisa ditanggulangi masuk ke area depresi. Kalau sudah depresi itu memang
biasanya ditandai dengan tumbangnya rezim biasanya kalau tidak mampu menghadapi
itu.
"Sebagaimana yang dulu terjadi ketika krisis
moneter tahun 1997-1998. Kemarahan di Sri Lanka juga tumbang, Bangladesh juga
begitu. Itu puncak depresi ekonomi biasanya seperti itu. Nah, itu yang sekarang
kita jadi tidak sekadar ini persoalan kemiskinan individual, tetapi sudah
kemiskinan struktural," pungkasnya.[] Rina