Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Makro Ekonomi Lesu Ditandai dengan Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi

Senin, 21 Juli 2025 | 21:58 WIB Last Updated 2025-07-21T14:58:46Z

Tintasiyasi.ID -- Pakar Ekonomi dan Bisnis Islam Ustaz Dwi Condro Triyono, Ph.D. mengungkapkan bahwa makro ekonomi lesu itu ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.

 

"Nah, bagaimana makro ekonomi itu bisa lesu? biasanya ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi," ungkapnya dalam acara Bincang-Bincang Bareng Tsalis Group dengan tema Menjaga Ekonomi Keluarga Saat Krisis Melanda di YouTube Tsalis Group, Rabu (09/07/2025).

 

Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi bisa dijadikan indikator bagi pakar ekonomi untuk melihat bagaimana berjalannya ekonomi itu adalah indikator yang paling mudah. “Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan pertumbuhan angkatan tenaga kerja, jadi ekonomi itu bisa lag (menurun) bisa juga lead (tumbuh),” bebernya.

 

"Nah, kalau ekonomi itu tetap mengalami lag tetapi pertumbuhan penduduk juga relatif tetap, apalagi negatif, itu insyaallah aman. Tetapi kalau pertumbuhan penduduk naik, sementara tidak ada pertumbuhan ekonomi berarti ada penambahan angkatan tenaga kerja yang menganggur. Angkatan kerja itu bertambah terus maka pengangguran bertambah terus," ujarnya.

 

Jumlah pengangguran yang akan bertambah diikuti bisa dihitung dari jumlah pertambahan penduduk. “Misalnya saja Indonesia pertambahan 42 persen. Katakanlah yang mudah penduduk Indonesia itu 300 juta. 2 persennya itu berarti sudah sekitar enam juta. Berarti setahun itu ada tambahan angkatan kerja baru ya sekitar enam juta,” paparnya.

 

"Berapa kekuatan penyerapan dari lapangan kerja? Kalau lapangan kerja itu misalnya hanya tambah Rp500.000 atau tambah satu juta berarti kan ada penambahan pengangguran sekitar 5 juta atau 5,5 juta,” ulasnya.

 

“Nah, itulah yang menyebabkan ekonomi tidak bisa bertumbuh. Berarti apa? banyak pengangguran. Orang menganggur itu kan tidak punya daya beli. Kalau tidak ada daya beli, maka banyak penjualan-penjualan yang enggak laku. Itu teori seperti itu. Jadi,  pelambatan ekonomi atau tidak adanya pertumbuhan ekonomi itu menyebabkan terjadinya banyak pengangguran," ungkapnya.

 

Kemudian jika dirunut lagi, lanjutnya, ekonomi tidak bisa bertumbuh karena ekonomi negara di dunia ini tidak ada yang perekonomiannya itu tertutup.

 

“Semua negara-negara sekarang ini perekonomian terbuka. Ini apa? Kalau kita itu melangsungkan kegiatan ekonomi, tidak hanya produksi itu dijual di negaranya sendiri, tetapi penjualan itu juga ke luar negeri. Termasuk kita juga mengimpor, baik itu mengimpor bahan jadi maupun bahan-bahan untuk keputuan industri,” ucapnya.

 

"Sehingga lalu lintas ekspor impor sekarang itu suatu keniscayaan. Di negeri mana pun tidak ada yang tertutup, semua terbuka. Sehingga kalau ada negara yang ekonominya itu sangat menggantungkan kepada ekspor seperti Indonesia ini kan produk-produknya itu banyak bergantung kepada ekspor," terangnya.

 

Lanjut dikatakan, kalau ada keguncangan ekonomi dunia pasti akan langsung memukul ekonomi dalam negeri. “Misalnya kemarin yang terjadi ketika Amerika mulai mengumumkan proteksionisme. proteksionisme itu mencoba untuk menutup impor yang masuk ke negaranya dengan cara menaikkan tarif biaya impor,” sebutnya.

 

“Kenaikan tarif biaya impor yang masuk ke Amerika itu jelas akan memukul negara eksportirnya. Ke Indonesia itu dipukul katakanlah 32 persen barang yang masuk, sehingga harus bersaing dengan produk dalam negeri Amerika,” tandasnya.

 

"Kalau harganya terlalu tinggi karena tarif biaya masuknya tinggi, itu secara tidak langsung akan memukul pengekspor Indonesia. Kalau ekspor Indonesia itu terpukul akibatnya apa? Pabriknya tutup. Nah, gelombang PHK itu akan terjadi," lugasnya.

 

Ia munyebut, kalau gelombang PHK terjadi, berarti masyarakat tidak punya pendapatan. Kalau tidak punya pendapatan, tidak ada daya beli, kalau tidak ada daya beli itu akan menyebabkan penjualan-penjualan produk-produk dari dalam negeri mengalami kelesuan, tidak ada yang membeli.

 

"Ditambah lagi program efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Kita tahu efisiensi yang dilakukan pemerintah itu sangat memukul industri dalam negeri, khususnya industri perhotelan dan pariwisata. Yang biasanya banyak pelanggan-pelanggan hotel itu dari instansi-instansi dari kantor-kantor untuk rapat-rapat, untuk raker dan sebagainya," imbuhnya.

 

Lanjut ijarnya, sekarang sudah efisiensi akibatnya semua hotel-hotel itu ambruk. “Di Yogyakarta kita tahu bagaimana hotel-hotel itu menawarkan harga yang sampai gila-gilaan. Dipotong 50 persen, ada yang potong 70 persen, bahkan ada yang potong sampai 90 persen tetap enggak laku,” ungkapnya.

 

"Kalau banyak industri perhotelan pariwisata mulai ambruk, menambah kelesuan ekonomi, daya beli masyarakat semakin turun, maka inilah yang membuat ekonomi semakin sulit. Sehingga semua upaya keras kita untuk melakukan penjualan, pemasaran. Nah, sebagus apapun program pemasaran kita, sebagus apapun produk-produk yang kita hasilkan, itu tetap akan sulit mendapatkan pembeli," ujarnya.

 

Ia mengatakan, jika hal itu terjadi secara nasional, berarti secara makro itu benar-benar dalam area krisis ekonomi yang biasanya ditandai awalannya itu disebut resesi.

 

“Resesi itu sudah mulai ada pelambatan dan nanti kalau tidak bisa ditanggulangi masuk ke area depresi. Kalau sudah depresi itu memang biasanya ditandai dengan tumbangnya rezim biasanya kalau tidak mampu menghadapi itu.

 

"Sebagaimana yang dulu terjadi ketika krisis moneter tahun 1997-1998. Kemarahan di Sri Lanka juga tumbang, Bangladesh juga begitu. Itu puncak depresi ekonomi biasanya seperti itu. Nah, itu yang sekarang kita jadi tidak sekadar ini persoalan kemiskinan individual, tetapi sudah kemiskinan struktural," pungkasnya.[] Rina

Opini

×
Berita Terbaru Update