Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kesepian di Antara Hiruk-pikuk Media Sosial

Rabu, 01 Oktober 2025 | 09:17 WIB Last Updated 2025-10-01T02:18:01Z

TintaSiyasi.id -- Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang semakin bising oleh notifikasi, komentar, dan unggahan tanpa henti, muncul fenomena yang melanda generasi yaitu tenggelam dalam perasaan yang kontras seperti kesepian. Ironisnya, generasi yang katanya paling terkoneksi secara digital justru menjadi generasi yang paling kesepian.

Fenomena ini bukan sekadar asumsi, melainkan didukung oleh berbagai riset. Sebuah studi terhadap remaja usia 12 19 tahun menemukan korelasi yang kuat antara waktu yang dihabiskan di media sosial dengan meningkatnya rasa kesepian, depresi, dan kecemasan (ejournal.ybli.or.id, 2024). Studi lain di kalangan mahasiswa menunjukkan bahwa meskipun media sosial digunakan setiap hari dan bahkan menjadi bagian utama dari kehidupan sosial, mereka merasakan kesepian yang mendalam (ar-raniry.ac.id, 2019).

Fenomena ini menyiratkan paradoks besar bahwa di saat kita dikelilingi oleh jutaan "teman", followers", dan "likes", hati kita tetap terasa hampa. Kita bisa berinteraksi dengan siapa saja di ujung dunia, namun seringkali tak ada satu orang pun yang benar-benar terasa kehadirannya. Lalu mengapa ini terjadi?

Media sosial, dengan segala kecanggihannya, telah mengubah cara kita berinteraksi. Ia menciptakan ilusi kedekatan melalui layar, padahal seringkali hanya menghasilkan hubungan yang dangkal. Kita terbiasa melihat potongan-potongan kehidupan orang lain yang penuh kebahagiaan, pencapaian, dan keindahan, lalu secara tidak sadar membandingkan hidup kita dengan narasi yang telah disunting itu. Perbandingan sosial ini membuat kita merasa tidak cukup, tidak terlihat, bahkan tidak penting.

Di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan mencuri waktu kita dari kehidupan nyata. Banyak dari kita lebih sibuk menatap layar daripada menatap wajah orang terdekat. Kita mungkin memiliki ratusan teman virtual, tetapi tidak punya waktu untuk menyapa tetangga, berbincang dengan keluarga, atau sekadar mendengarkan cerita teman lama.

Ketika kondisi ini dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi juga pada umat secara keseluruhan. Secara pribadi, rasa kesepian yang terus-menerus bisa menimbulkan gangguan kesehatan mental: stres, depresi, kecemasan, bahkan hilangnya motivasi hidup. Hal ini bisa menghambat produktivitas, merusak kualitas hubungan, dan mengikis rasa percaya diri. Lebih buruk lagi, generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bagi bangsa dan umat ini bisa kehilangan arah dan semangat perjuangannya karena merasa sendirian dalam kerumunan.

Secara sosial, kesepian yang masif menciptakan masyarakat yang terfragmentasi. Ketika empati menipis, ketika kepekaan sosial melemah, kita menjadi lebih individualistis, lebih mudah curiga, dan lebih sulit bekerja sama. Hal ini menciptakan tatanan masyarakat yang rapuh.

Islam sebagai agama yang paripurna tidak membiarkan kita terjebak dalam kekosongan jiwa ini. Ia datang membawa solusi, baik dari sisi spiritual maupun sosial. Islam mengingatkan kita akan tujuan penciptaan kita itu adalah untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, Islam menempatkan hubungan dengan Allah sebagai pusat ketenangan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (TQS Ar-Ra’d: 28). Karenanya kita harus menyadari agar tidak terjebak dan menghabiskan waktu untuk berlama-lama dalam dunia digital. Kita harus memperbanyak aktivitas nyata yang bermanfaat terlebih berkaitan dengan sisi ruhiyah kita seperti zikir, shalat, membaca Al-Qur’an.

Lebih dari itu, Islam mendorong terbentuknya komunitas yang sehat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan satu tubuh: jika satu anggota sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya.” Islam menekankan pentingnya silaturahmi, tolong-menolong, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam dunia yang semakin terputus secara emosional, ajaran ini menjadi sangat relevan untuk mengatasi kesepian.

Bahkan, kesepian dalam Islam bahkan bisa dimaknai sebagai momen perenungan. Sebagaimana Rasulullah SAW menyendiri di Gua Hira sebelum menerima wahyu, ada nilai dalam kesendirian yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki diri, dan menemukan kembali makna hidup.

Akhirnya, tantangan kita hari ini bukan sekadar bagaimana menjadi terkenal di media sosial, tetapi bagaimana menjadi berarti di kehidupan nyata. Generasi muda harus mulai mengembalikan keseimbangan dalam menggunakan media sosial secara bijak, membangun hubungan yang nyata, serta memperkuat ikatan spiritual dengan Sang Pencipta.

Menjadi agen perubahan bukan hanya tentang membuat konten viral, tetapi tentang membawa nilai kebaikan, kepedulian, dan keteladanan ke tengah masyarakat. Kesepian tidak harus menjadi akhir. Ia bisa menjadi awal dari perjalanan spiritual yang mendalam, asal kita tahu kemana harus kembali kepada Allah, kepada sesama, dan kepada makna hidup yang sejati. []


Oleh: Sri Mellia Marinda
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update