Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kecurangan Pengoplosan Beras Hanya Terjadi di dalam Sistem Kapitalis Sekuler

Minggu, 27 Juli 2025 | 05:52 WIB Last Updated 2025-07-26T22:54:24Z

TintaSiyasi.id -- Saat ini beras oplosan tengah jadi bahan perbincangan hangat setelah pemerintah mengungkapkan praktik-praktik curang oleh sejumlah pengusaha beras. Di antaranya beras tidak sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, juga klaim yang tidak sesuai dengan label pada kemasan. Akan tetapi saat ini, Satgas Pangan Polri tengah melakukan penyidikan lanjut atas temuan lapangan bersama oleh Kementrian Pertanian (Kementan), Badan Pangan Nasional (Bapanas), Satgas Pangan, Kejaksaan dan pihak terkait lainnya.

Dampak dari kecurangan praktik pencampuran beras dengan varietas berkualitas rendah dengan kemasan premium marak dilakukan pelaku usaha beras hasil oplosan pun dijual mahal. Padahal kualitasnya tidak sepenuhnya memenuhi standar. Hasil investigasi Kementrian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri mengemukakan bahwa ada 212 merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan 5Kg, padahal isinya hanya 4,5 Kg.

Banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa. Berdasarkan hitungan sementara Kementrian Pertanian (Kementan), potensi kerugian konsumen mencapai Rp 99 Triliun dalam setahun. Jika praktik ini dilakukan dalam kurun waktu 5-10 tahun ke belakang, maka nilai kerugian jauh lebih bombastis. Penyebab kerugian beras oplosan ini adalah karena konsumen merasa tertipu ketika membeli beras berkualitas rendah yang dijual, dan penjualan bisa turun drastis. (Kompas.com, 12/07/2025)

Namun kecurangan beras baik dalam timbangan maupun kualitas/jenis sudah terjadi beberapa waktu ini. Terutama masyarakat dan negara semakin menderita dan mengalami kerugian besar. Miris pelakunya telah melibatkan perusahaan besar, yang seharusnya menjadi teladan dalam etika bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem sekuler kapitalisme praktik curang demi keuntungan adalah suatu keniscayaan bahkan dianggap sah-sah saja selama bisa menguntungkan dalam jumlah yang besar.

Inilah jika kehidupan jauh dari aturan agama. Semua demi keuntungan, meski harus menghalalkan yang haram dan melanggar aturan. Dan yang lebih miris lagi banyaknya penguasa yang bekerjasama dengan pengusaha dalam praktik haram tersebut, akhirnya banyak pengusaha yang melakukan kecurangan tapi pemerintah terkesan membiarkan dan tidak berdaya menghadapi mereka.

Dalam hal ini konsekuensi logis dari sistem yang melepaskan agama dari kehidupan standar halal dan haram terpinggirkan oleh logika untung dan rugi. Berlarut persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara dan juga sanksi yang tidak menimbulkan efek jera juga erat kaitannya dengan sistem pendidikan yang gagal mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Output sistem sekuler tidak menjadikan ketakwaan sebagai pondasi moral pada setiap individu.

Ironisnya lagi, negara tidak memliki kuasa karena sektor pangan telah dikuasai oleh korporasi besar yang berorientasi pada bisnis semata. Penguasaan negara terhadap pasokan pangan tidak lebih dari 10%, sehingga tidak punya bargaining power terhadap korporasi. 

Ketergantungan ini berimbas besar pada lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi hukum serta menyingkirkan peran negara dalam menjamin ketersediaan dan keadilan distrbusi pangan bagi rakyat. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sistem alternative yang mampu menempatkan negara sebagai pelayan rakyat sekaligus penjaga amanah distribusi kebutuhan pokok umat.

Bagi pejabat dan penguasa, Islam mengharuskan mereka untuk amanah dan juga bertanggung jawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Apalagi penguasa adalah pelayan rakyat, sebagaimana sabda rasulullah SAW di dalam hadisnya:

Imam (penguasa) adalah raain (penggembala/pelayan) dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia pimpin.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam tegaknya aturan tidak bisa hanya mengandalkan satu aspek tetapi didukung oleh tiga pilar utama. Yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat yang aktif dalam mengoreksi penguasa, serta tegaknya aturan Islam secara menyeluruh oleh negara yang didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Lebih jauh lagi Islam memerintahkan negara untuk hadir penuh dalam urusan pangan bukan hanya memastikan pasokan tersedia tetapi juga mengelola seluruh rantai produksi hingga distribusi . Dan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat individu per individu.
Maka tidak ada hal yang lebih baik dan lebih sempurna dalam mengatur urusan umat manusia secara umum dan khususnya terkait kebutuhan pokok (beras) selain sistem Islam. Sehingga kewajiban menerapkan syariah Islam kaffah dalam kehidupan setiap muslim tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dan kehidupan seperti itu hanya bisa terlaksana dalam naungan khilafah.

Wallhu a'lam bishshawab. []


Oleh: Sandrina Luftia
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update