TintaSiyasi.id -- Data yang tersebar dalam bentuk grafik di media sosial baru-baru ini menunjukkan fakta mencengangkan: 82,4% pendapatan negara Indonesia berasal dari pajak, yang nilainya mencapai Rp 2.309,9 triliun. Sementara itu, kontribusi dari sektor lain—termasuk sumber daya alam seperti emas, nikel, minyak, dan batu bara—sangat kecil. Ini bukan sekadar persoalan teknis fiskal, melainkan sebuah pertanyaan moral dan sistemik: ke mana perginya kekayaan alam negeri ini?
Indonesia: Kaya SDA, tapi Rakyat Dibebani Pajak
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan sumber daya alam (SDA) terbesar di dunia. Menurut US Geological Survey (2023), Indonesia menyimpan sekitar 21 juta metrik ton cadangan nikel, terbesar secara global. Di Papua, tambang Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia adalah tambang emas dan tembaga terbesar ketiga di dunia. Selain itu, Indonesia juga menempati posisi ketiga dalam ekspor batu bara global serta memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan, terutama di wilayah Sumatera dan Papua.
Namun, realitas yang ditampilkan dalam Laporan APBN 2023 Kementerian Keuangan sangat ironis. Dari total pendapatan negara yang mencapai sekitar Rp 2.800 triliun, hanya sekitar Rp 159,8 triliun (sekitar 5,7%) yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA. Bandingkan dengan beban pajak yang dipikul rakyat sebesar lebih dari 80% dari total pendapatan negara.
Artinya, meskipun Indonesia kaya raya, rakyat tetap menjadi sumber utama pemasukan negara, bukan dari pengelolaan emas, minyak, atau nikel, melainkan dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan, cukai, bahkan pajak rumah tempat tinggal mereka sendiri.
Sistem Kapitalisme Akar Masalahnya
Mengapa bisa terjadi ketimpangan seperti ini? Jawabannya ada pada sistem ekonomi kapitalisme yang sejak lama diterapkan di negeri ini. Dalam sistem ini, negara bukan pengelola utama kekayaan alam, melainkan bertindak sebagai regulator dan fasilitator kepentingan korporasi besar, termasuk asing. Negara membuat aturan, membuka peluang investasi, dan memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi SDA kepada swasta melalui sistem konsesi, kontrak karya, atau production sharing contract.
Sebagai contoh, dalam kasus tambang Grasberg, lebih dari 50% sahamnya dulunya dikuasai oleh Freeport-McMoRan (AS), meskipun kini sebagian telah diambil alih oleh Indonesia lewat Inalum. Namun, kontrol teknologi, manajemen, dan pemasaran tetap banyak berada di tangan asing. Hal ini menjelaskan mengapa nilai ekspor tinggi, tapi kontribusinya terhadap kas negara rendah.
Lebih parah lagi, sektor SDA merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap praktik korupsi dan kebocoran, menurut Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2022 dan data dari Transparency International Indonesia (TII). Praktek transfer pricing, izin palsu, penambangan ilegal, hingga kerusakan lingkungan dibiarkan begitu saja selama menguntungkan elit tertentu.
Jadi jelas, sistem kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan kekayaan kepada pasar bebas dan korporasi adalah penyebab utama mengapa rakyat tidak pernah benar-benar merasakan manfaat dari kekayaan alam yang mereka miliki.
Rakyat Jadi Korban Sistem Pajak yang Mencekik
Dalam sistem kapitalisme, pajak adalah instrumen utama negara untuk bertahan hidup. Setiap tahun, target penerimaan pajak terus dinaikkan. Bila tidak tercapai, negara akan berutang. Jika berutang pun tidak cukup, maka subsidi akan dipangkas, tarif dasar listrik dinaikkan, BBM disesuaikan, dan kebutuhan pokok ikut melonjak.
Ini menciptakan lingkaran penderitaan: rakyat membayar pajak, tapi tidak menikmati layanan publik yang layak. Sekolah tetap mahal, rumah sakit penuh antrean, transportasi publik terbatas, dan angka pengangguran tetap tinggi. Semua ini terjadi di negeri yang konon kaya akan segala jenis tambang dan energi.
Maka wajar jika muncul pertanyaan kritis dari masyarakat: kalau sumber daya alam tidak menopang pendapatan negara, lalu untuk siapa semua kekayaan itu?
Islam Menjawab dengan Sistem Khilafah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem yang mengatur pengelolaan kekayaan alam secara adil dan tegas. Dalam Islam, SDA—terutama yang menjadi hajat hidup orang banyak dan tidak terbatas—termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Air, api (energi), dan padang rumput (sumber makanan atau tambang) adalah milik bersama. Maka negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu atau swasta, apalagi asing. Sebaliknya, negara wajib mengelolanya secara langsung, dan hasilnya digunakan untuk menyejahterakan seluruh rakyat.
Dalam sistem Khilafah Islamiyah, negara bertindak sebagai pengelola amanah publik, bukan pemilik, dan tidak pula bertindak sebagai perantara investor. Negara tidak akan memungut pajak tetap dari rakyat seperti sekarang. Pajak (dharibah) hanya akan dikenakan dalam situasi darurat dan bersifat sementara, serta hanya kepada Muslim kaya yang mampu, bukan kepada semua lapisan rakyat.
Sumber pemasukan negara dalam sistem Islam sangat beragam dan stabil: zakat, fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, serta hasil pengelolaan milik umum. Dengan sistem seperti ini, negara bisa mandiri tanpa utang ribawi, dan rakyat tidak dibebani pajak yang mencekik.
Contoh Sejarah: Bukan Sekadar Teori
Model pengelolaan ini bukan utopia. Sejarah Islam mencatat bahwa di masa Khilafah Islam, layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan tanpa pungutan dari rakyat. Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahkan sempat menghapuskan zakat karena tidak ada lagi rakyat miskin yang perlu diberi.
Bandingkan dengan saat ini, saat negara gencar memungut pajak, tapi kesejahteraan tetap jauh dari kata merata. Dalam sistem Islam, pajak bukan instrumen utama ekonomi negara. Negara tidak hidup dari rakyat, tapi menghidupi rakyat.
Kesimpulan: Sistem Kapitalisme Gagal, Khilafah Solusinya
Gambar data di awal tulisan ini adalah cermin ketimpangan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Rakyat hanya menjadi obyek pajak, sementara kekayaan alam yang semestinya menjadi sumber kesejahteraan justru dinikmati oleh korporasi dan elit tertentu.
Sudah saatnya kita berhenti berharap pada tambal sulam kebijakan dalam sistem yang cacat dari akarnya. Solusi sejati bukan sekadar ganti presiden atau menteri, tapi ganti sistem. Islam telah menawarkan solusi tuntas melalui penerapan syariah secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Sistem ini bukan hanya teori ideal, tapi sistem yang pernah mewujudkan peradaban gemilang dan adil selama lebih dari 13 abad. Kini saatnya umat Islam menggali kembali warisan politik Islam dan berjuang menegakkannya sebagai jalan keluar dari kebuntuan sistemik yang kita alami hari ini.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Mujiman
Lulusan API 3 2025
Referensi:
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan APBN 2023. https://www.kemenkeu.go.id
US Geological Survey. (2023). Mineral Commodity Summaries. https://www.usgs.gov
Indonesia Corruption Watch (ICW). (2022). Laporan Tren Korupsi Sektor Sumber Daya Alam.
Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi.
Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, Hadis tentang milik umum: “Al-Muslimûna syurakâ’ fî tsalâts: al-mâ’, wa al-kalâ’, wa an-nâr.”
Taqiyuddin an-Nabhani. (1999). Sistem Ekonomi Islam. Hizbut Tahrir.