— Ibnu Athaillah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam
Maksiat bukan hanya sekumpulan perbuatan yang dilarang, tetapi lebih dalam dari itu: ia adalah penolakan terhadap anugerah Allah, penentangan terhadap cinta dan petunjuk-Nya. Ketika manusia melakukan maksiat, sejatinya ia sedang berkata dalam diam: “Aku memilih jalanku sendiri, bukan jalan-Mu, ya Allah.”
Maksiat Menghalangi Cahaya Ilahi
Ibnu Athaillah berkata:
"Jangan heran bila kegelapan menyelimutimu karena engkau melihat maksiat. Sebab, maksiat itu adalah asap yang menutup cahaya hati."
Maksiat itu seperti kabut tebal yang menutupi cermin hati. Seberapapun kuat cahaya Allah menyinarimu, jika cermin hatimu tertutup debu dan karat maksiat, kau tidak akan pernah melihat-Nya. Maka, jangan bertanya, “Mengapa aku sulit merasakan manisnya iman?” jika engkau masih bergelimang dalam maksiat yang sengaja engkau biarkan.
Hikmah di Balik Larangan
Larangan Allah bukan untuk menyiksa, tetapi untuk menyelamatkan. Setiap maksiat yang Allah haramkan pasti mengandung kerusakan. Dan setiap perintah yang diwajibkan pasti membawa kebaikan. Maka, menjauhi maksiat adalah bentuk kecintaan kepada diri sendiri—karena kita menjaga jiwa dari kehinaan dan murka Tuhan.
Tanda Keimanan: Benci pada Maksiat
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah orang yang berbuat maksiat masih punya iman?” Ia menjawab:
“Jika ia membenci maksiatnya dan menyesal, maka ia masih beriman. Tapi jika ia menikmati dan meremehkannya, maka imannya sedang sekarat.”
Iman dan maksiat tidak pernah akur. Bila salah satunya hadir, yang lain akan terusir. Maka, jika hati kita mulai tenang dengan dosa, itu pertanda bahaya. Kita bukan lagi hanya jatuh dalam dosa, tetapi sudah nyaman tinggal di dalamnya.
Jalan Pulang: Taubat dan Tekad
Sebesar apapun maksiatmu, jalan pulang selalu terbuka. Allah tidak menutup pintu-Nya kecuali kau sendiri yang berpaling. Ibnu Athaillah menulis:
“Jangan sampai besarnya dosamu membuatmu putus asa dari rahmat Allah. Sebab, siapa yang mengenal Tuhannya, ia akan yakin bahwa rahmat-Nya jauh lebih besar daripada murka-Nya.”
Meninggalkan maksiat bukan hanya tentang menahan diri, tetapi juga menata hati, memperbaiki niat, dan menguatkan tekad untuk taat. Dan setiap langkah meninggalkan dosa, sejatinya adalah langkah mendekat kepada-Nya.
Penutup: Pilih Jalan Cahaya.
Saudaraku, jangan anggap remeh maksiat, sekecil apapun itu. Sebab, maksiat kecil yang terus dilakukan akan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan yang tidak ditobati akan mematikan nurani. Mari jadikan pesan Ibnu Athaillah sebagai pengingat jiwa:
"Maksiat adalah penentangan terhadap Allah. Maka jauhilah ia, karena siapa yang menentang Raja, takkan selamat dari kemurkaan-Nya."
Semoga Allah menjadikan hati kita peka terhadap dosa, cepat bertaubat, dan istiqamah dalam kebaikan. Amin.
oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)