Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HAN Tercoreng Pengeroyokan Pelajar Blitar

Senin, 28 Juli 2025 | 11:41 WIB Last Updated 2025-07-28T04:41:27Z

TintaSiyasi.id -- Hari Anak Nasional yang dirayakan setiap tanggal 23 Juli seharusnya menjadi momentum syukur dan refleksi sejauh mana negara dan masyarakat sudah menjamin keamanan dan masa depan generasi muda. Namun fakta di lapangan justru menampar nurani. Kasus pengeroyokan pelajar SMPN 3 Doko, Blitar, jadi bukti nyata. Dilansir dari kompas.com (22/7/2025) WV, siswa kelas 7, dikeroyok sekitar 20 pelajar lintas kelas. Korban dipukul, ditendang, dan didorong bergantian, hingga luka fisik dan trauma psikis.

Kapolres Blitar, AKBP Arif Fazlurrahman, mengungkapkan bahwa hingga kini sudah 18 siswa yang diperiksa terkait dugaan perundungan dan pengeroyokan tersebut.
 
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Adi Andaka, menyebut sudah ada kesepakatan damai dalam pertemuan pada Sabtu (19/7/2025). Permintaan orangtua korban agar beberapa pelaku dibina oleh Babinsa.

Ironisnya, perayaan Hari Anak sering berhenti pada seremonial, seperti lomba, slogan manis, “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dan foto pejabat bersama anak-anak. Sementara realita di sekolah dan lingkungan sosial menunjukkan krisis moral. Generasi yang seharusnya dilindungi justru tumbuh dalam iklim kekerasan, seperti bullying, tawuran, perundungan daring, kriminalitas, hingga pelecehan masih marak. Lingkungan yang seharusnya ramah anak malah jadi ladang trauma.


Akar Masalahnya Adalah Sistem Pendidikan Sekuler dan Paparan Kekerasan

Fenomena ini bukan insiden tunggal, tapi gejala sistemik. Sistem pendidikan sekuler memisahkan agama dari kurikulum. Anak dibina untuk pintar akademik, tapi kosong akhlak. Media sarat kekerasan, seperti film, game, konten viral, menormalisasi perilaku brutal.

Sementara kontrol orang tua dan guru melemah. Ibu sibuk bekerja dan para guru fokus pada nilai ujian, bukan pembinaan kepribadian Islam. Padahal di usia SMP rata-rata anak sudah baligh. Artinya sudah memikul tanggung jawab syariat, tapi tanpa pemahaman halal dan haram, mereka akan mudah terjerumus

Islam melarang tegas kekerasan, Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari-Muslim).

Al-Qur’an juga menegaskan dalam surah An-Nisa ayat 29 yang artinya, “Dan janganlah kamu saling membunuh; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” 

Imam An-Nawawi (ulama Syafi’iyah) dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab beliau menjelaskan, “Segala bentuk penganiayaan (ta’addi) yang tidak ada ketentuan had (hudud) maupun kaffarat di dalamnya, maka penguasa berhak memberikan ta’zir sesuai kemaslahatan.”

Ini mencakup pengeroyokan karena bentuknya aniaya tanpa ketentuan hudud tertentu. Pelaku pengeroyokan yang sudah baligh wajib diberi hukuman ta’zir (sesuai tingkat kejahatan).

Hukuman ini mendidik sekaligus mencegah generasi lain meniru. Negara Islam tak akan melepaskan pelaku dengan alasan “Masih anak-anak”, karena itu membuka peluang kekerasan berulang.

Rasulullah Saw bersabda, “Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar.” (HR. Abu Dawud)

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Jika seorang anak telah baligh, maka hukum baginya sama dengan hukum orang dewasa dalam segala ketentuan syariat, baik ibadah maupun jinayah (pidana).”


Solusi Khilafah Mencetak Generasi Beradab

Khilafah Islam menyiapkan generasi dengan dua pendekatan, yaitu pencegahan dan penindakan.

Pencegahan pertama, melalui penerapan sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Disini, sains dipelajari bukan untuk sekadar karir, tapi untuk memahami kebesaran Allah Swt. Sejarah diajarkan bukan glorifikasi sekuler, tapi untuk mengenalkan teladan para nabi dan pahlawan Islam.

Anak benar-benar dibentuk mengenal Allah Sawt, paham halal-haram, berkarakter mulia sejak dini sesuai dengan tujuan akhirnya, yaitu membentuk kepribadian Islami dimana pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) anak diikat akidah.

Kedua, lingkungan aman. Masyarakat dan negara menegakkan amar makruf nahi munkar; semua pihak saling mengawasi, bukan apatis.

Tindakan penindakan adalah dengan penerapan sanksi tegas. Remaja baligh yang berbuat kekerasan dikenai uqubat ta’zir sesuai tingkat kesalahan, untuk menjerakan dan mendidik.

Sejarah membuktikan, sistem Islam melahirkan pemuda seperti Muhammad Al-Fatih yang beradab, cerdas, dan berjiwa pemimpin, bukan generasi pengeroyok yang viral karena kebrutalan.

Oleh karena itu, Hari Anak Nasional semestinya mengingatkan kita bahwa anak bukan sekadar aset bangsa, tapi amanah Allah Swt yang harus dijaga. Selama pendidikan sekuler dipertahankan, kekerasan akan berulang. Solusi sejati adalah kembali ke sistem Islam kaffah satu-satunya jalan untuk melahirkan generasi beriman, aman, dan mulia. Tidakkah kita merindukannya? []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update