Tintasiyasi.ID-- “Betapa banyak orang yang tidak bisa tidur malam karena kelaparan, sementara engkau mengeluh hanya karena tidak ada lauk yang engkau suka. Bukankah itu pertanda hatimu buta akan nikmat?”
— Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin
Pendahuluan: Syukur sebagai Jalan Kembali kepada Allah
Dalam kehidupan yang terus bergerak cepat, sering kali kita terseret arus keluhan, kegelisahan, dan ketidakpuasan. Kita lupa bahwa dalam setiap tarikan napas, setiap detik yang berlalu, dan setiap denyut nadi yang berfungsi, terdapat nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Namun, mengapa begitu sulit bagi manusia untuk bersyukur?
Imam Al-Ghazali, seorang hujjatul Islam dan ulama besar abad ke-5 Hijriyah, memberikan pandangan yang mendalam tentang hakikat syukur dan bekal agar manusia mampu menjaganya secara konsisten. Dalam magnum opus-nya Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menekankan bahwa syukur adalah cermin dari iman yang hidup, dan sekaligus penyempurna ibadah seorang hamba.
1. Ma'rifatullah: Mengenal Allah sebagai Sumber Segala Nikmat
Al-Ghazali membuka pintu syukur dengan ma'rifatullah, yaitu pengenalan terhadap Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Memberi. Menurut beliau, seseorang tidak akan bisa bersyukur secara hakiki jika ia tidak mengenal dari siapa nikmat itu berasal.
“Syukur adalah buah dari ma’rifat. Barang siapa yang mengenal Allah, dia akan mencintai-Nya. Dan barang siapa mencintai-Nya, maka dia akan bersyukur kepada-Nya.”
— Ihya’ ‘Ulumuddin
Refleksi:
Sudahkah kita menyadari bahwa kesehatan, akal, harta, keluarga, dan bahkan ujian hidup adalah bagian dari kasih sayang-Nya? Rasa syukur hanya akan tumbuh dalam hati yang penuh kesadaran akan kemurahan Allah.
Amalan praktis:
• Merenungi nama-nama Allah (Asmaul Husna) dalam dzikir harian.
• Menyendiri dalam tafakur tentang kehidupan dan penciptaannya.
2. Menyadari Nikmat Kecil dan Besar: Melatih Hati yang Peka
Al-Ghazali menjelaskan bahwa banyak orang terhalang untuk bersyukur bukan karena kurangnya nikmat, tetapi karena matanya tertutup oleh kelalaian. Mereka hanya melihat nikmat dalam bentuk besar dan spektakuler, namun lupa pada air minum, udara, dan detak jantung yang tak pernah menagih bayaran.
"Kamu akan lebih mudah bersyukur jika tidak menganggap nikmat itu kecil."
— Imam Al-Ghazali
Refleksi:
Cobalah satu hari saja tanpa listrik, tanpa sinyal, atau tanpa teman bicara—maka kita akan sadar bahwa hal-hal “kecil” adalah anugerah yang besar.
Amalan praktis:
• Tulis jurnal syukur harian: 3 nikmat kecil yang dialami hari ini.
• Ucapkan "Alhamdulillah" bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan rasa.
3. Hudhūr al-Qalb: Hadirnya Kesadaran Hati
Syukur menurut Al-Ghazali bukan sekadar kata-kata, tapi kondisi ruhani hati yang penuh kehadiran. Ia menyebutnya hudhūr al-qalb, yakni hati yang senantiasa sadar akan kehadiran nikmat Allah dan tidak tertipu oleh dunia.
“Sungguh rugi orang yang mengucap syukur dengan lisannya, namun hatinya lalai.”
— Ihya’ ‘Ulumuddin
Refleksi:
Apakah hatiku benar-benar hadir saat mengucap Alhamdulillah? Ataukah hanya sekadar basa-basi?
Amalan praktis:
• Perbanyak dzikir dengan makna, seperti "Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush-shalihat."
• Latih kehadiran hati dalam shalat dan sujud.
4. Menggunakan Nikmat Sesuai Tujuan Ilahi
Al-Ghazali memberikan definisi syukur yang sangat dalam:
"Syukur adalah menggunakan nikmat pada tempatnya yang benar, sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya."
Artinya, jika seseorang diberi harta, maka syukurnya adalah dengan menafkahkannya pada jalan yang halal dan bermanfaat. Jika diberi ilmu, maka syukurnya adalah dengan mengamalkannya dan mengajarkannya.
Refleksi:
Apakah mata ini hanya melihat kebaikan? Apakah lidah ini hanya digunakan untuk kebenaran?
Amalan praktis:
• Audit diri: bagaimana kita menggunakan lima nikmat utama (waktu, tenaga, akal, lisan, dan harta)?
• Targetkan satu amal syukur setiap hari (sedekah, membantu, menahan amarah, dll).
5. Sabar atas Ujian: Wajah Lain dari Rasa Syukur
Salah satu pelajaran paling unik dari Al-Ghazali adalah bahwa ujian pun bisa menjadi ladang syukur. Ia menyebut bahwa jika seseorang sabar saat tertimpa musibah, maka sesungguhnya ia sedang bersyukur atas nikmat tersembunyi, yaitu kesempatan mendapatkan pahala dan kedekatan dengan Allah.
“Seorang yang sabar saat diuji adalah seperti orang yang bersyukur, karena ia tahu bahwa ujian itu datang dari Dzat Yang Maha Menyayangi.”
— Imam Al-Ghazali
Refleksi:
Ujian bukan berarti Allah menjauh, bisa jadi itu cara-Nya mendekatkan.
Amalan praktis:
• Ucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dengan hati yang ridha.
• Renungi hikmah di balik musibah yang pernah terjadi.
6. Berteman dengan Orang-orang yang Bersyukur dan Zuhud
Lingkungan menentukan kekuatan rasa syukur. Al-Ghazali menganjurkan agar kita dekat dengan orang-orang zuhud, orang yang tidak sibuk mengejar dunia, namun penuh rasa syukur dalam kesederhanaan hidup mereka.
Refleksi:
Apakah lingkaran pertemanan kita membuat hati kita banyak bersyukur atau justru banyak mengeluh?
Amalan praktis:
• Ikuti majelis ilmu dan dzikir.
• Jadikan ulama dan orang-orang shalih sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari.
Penutup: Syukur sebagai Tanda Hidupnya Iman
Syukur bukanlah beban, tapi keindahan. Ia menjadikan hidup lebih lapang, hati lebih tenang, dan hubungan dengan Allah semakin dekat. Imam Al-Ghazali telah menunjukkan bahwa syukur adalah cermin dari iman dan tanda kebersihan hati.
"Jika engkau tidak bisa menambah nikmat, maka jagalah yang ada dengan syukur. Karena syukur adalah pengikat nikmat dan kunci bertambahnya rahmat."
— Imam Al-Ghazali
Doa Syukur Harian
"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang sedikit, yang bersyukur atas segala nikmat-Mu, yang tidak lalai dari mengingat-Mu, dan yang menggunakan seluruh karunia-Mu untuk mencari ridha-Mu."
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)