Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Barang siapa Merendahkan Diri karena Allah, maka Allah Akan Mengangkatnya (Refleksi Ruhani tentang Tawadu sebagai Jalan Kemuliaan)

Kamis, 17 Juli 2025 | 05:59 WIB Last Updated 2025-07-16T23:06:15Z

TintaSiyasi.id -- “Barang siapa Merendahkan Diri karena Allah, Maka Allah Akan Mengangkatnya”

Refleksi Ruhani tentang Tawadhu' Sebagai Jalan Kemuliaan

“مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ”

“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya.”
(HR. Muslim)

Pendahuluan: Jalan Menuju Ketinggian Dimulai dari Kerendahan Diri
Dunia hari ini sangat memuja pencapaian dan pengakuan. Seseorang dianggap bernilai jika memiliki banyak gelar, jabatan, atau followers. Tetapi Islam mengajarkan satu prinsip yang paradoks dengan standar dunia: semakin kau merendah karena Allah, semakin Dia meninggikan derajatmu.
Sabda Nabi ﷺ ini bukan hanya nasihat akhlak, tetapi kunci kebesaran hakiki, baik di mata manusia maupun di sisi Allah. Maka penting bagi kita untuk merenung, memahami, dan mengamalkannya dalam setiap nafas kehidupan.

1. Tawadhu’ adalah Cermin Kesempurnaan Iman
Tawadhu’ berasal dari kata وَضَعَ (wada’a), yang berarti “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Dalam konteks ruhani, tawadhu’ adalah sikap hati yang menempatkan diri pada posisi rendah di hadapan Allah dan sesama, bukan karena hina, tetapi karena sadar bahwa segala kelebihan hanyalah titipan Ilahi.
Tawadhu’ bukan berarti merasa tidak berharga, tetapi menyadari bahwa segala kemuliaan sejati hanya milik Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa tawadhu’ adalah pilar utama keimanan, dan kesombongan adalah penghalang menuju surga.

2. Tawadhu’ karena Allah, Bukan Karena Dunia
Dalam hadits tersebut dikatakan: "tawadhu' lillah (karena Allah)."
Artinya:
• Tawadhu’ bukan karena ingin dianggap rendah hati oleh manusia.
• Bukan pula strategi sosial agar disenangi atau dipuji.
• Tapi karena kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba yang lemah dan fakir di hadapan-Nya.
Tawadhu’ karena Allah berarti:
• Kita bersikap rendah hati meskipun punya ilmu tinggi.
• Kita tidak merasa lebih baik meskipun punya amal banyak.
• Kita tidak merendahkan orang lain meskipun kita lebih kaya, cerdas, atau saleh.
Tawadhu’ sejati lahir dari penghancuran ke-aku-an, dan hanya bisa dilakukan oleh jiwa yang telah ditempa mujahadah dan makrifat.

3. Bagaimana Allah Mengangkat Derajat Orang Tawadhu’?

a. Diangkat dalam Pandangan Allah
Allah mencintai hamba yang tidak menyombongkan dirinya. Dalam Al-Qur'an:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu adalah mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati..."
(QS. Al-Furqan: 63)
Mereka dijanjikan tempat istimewa di sisi-Nya. Derajat ruhani mereka ditinggikan, walau mungkin mereka tidak dikenal di bumi.

b. Diangkat di Hati Manusia
Orang yang tawadhu’ secara alami akan dicintai manusia. Meski tak mencari pujian, Allah tanamkan cinta dalam hati manusia untuknya.
Contoh:
• Umar bin Khattab yang sangat kuat dan tegas, tetap dikenal sangat tawadhu’.
• Para wali Allah tidak mencari ketenaran, tapi justru dikenal karena kerendahan hatinya.

c. Diangkat dalam Ilmu, Hikmah, dan Keberkahan
Allah bukakan pintu ilmu, hikmah, dan keberkahan kepada hamba-hamba yang merendahkan dirinya. Seperti tanah yang rendah bisa menampung air, demikian pula hati yang tawadhu’ bisa menampung limpahan cahaya-Nya.

4. Kisah-Kisah Tawadhu’ Para Kekasih Allah
Nabi Muhammad ﷺ: Puncak Tawadhu’
Beliau duduk bersama budak dan orang miskin, makan di lantai, memperbaiki sandalnya sendiri. Padahal beliau adalah pemimpin seluruh alam.
Ketika Fathu Makkah, beliau masuk ke kota dengan menundukkan kepala, bukan dengan membusungkan dada.
“Barangsiapa paling dekat kepada Rasulullah, maka dialah yang paling rendah hati dan paling baik akhlaknya.”

Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Seorang sufi dan wali agung, dikenal memiliki ribuan murid. Tapi ia tetap menjaga kerendahan hati, bahkan berkata:
“Semakin aku mengenal Allah, semakin aku merasa hina di hadapan-Nya.”
Tawadhu’ membuatnya semakin tinggi di sisi Allah dan semakin dicintai umat.

5. Refleksi Diri: Sudahkah Kita Tawadhu’?
Tawadhu’ bukan sekadar gaya bicara lembut atau penampilan sederhana. Ia adalah laku hati dan tindakan nyata.
Pertanyaan reflektif untuk diri kita:
• Apakah kita meremehkan orang yang tidak sepintar kita?
• Apakah kita merasa lebih baik karena ilmu, harta, atau amal?
• Apakah kita mudah tersinggung bila tidak dihormati?
Jika iya, barangkali kita belum benar-benar tawadhu’.

6. Tawadhu’ adalah Kunci Transformasi Diri
Tawadhu’ melunakkan hati, memperhalus lisan, dan membuka jalan menuju pencerahan jiwa. Ia menjadikan kita:
• Lebih mudah menerima nasihat
• Tidak merasa paling benar
• Tidak tergila-gila pada pujian
• Tidak merendahkan orang yang berdosa, karena sadar kita pun penuh kekurangan
Tawadhu’ membebaskan kita dari perbudakan ego.
Ia membuka pintu makrifat dan mendekatkan kita pada cahaya Rabbul ‘Izzah.

Penutup: Merendah untuk Ditinggikan
Saudaraku, jangan takut merendah karena Allah. Jangan khawatir jika tidak dikenal, tidak dipuji, atau tidak dielu-elukan. Karena sesungguhnya:
• Yang tidak terkenal di bumi, bisa sangat terkenal di langit.
• Yang tidak dihargai manusia, bisa dimuliakan para malaikat.
“Barangsiapa merendah karena Allah, maka Allah sendiri yang akan meninggikannya.”
Biarlah kita hidup dalam kesederhanaan, asal mulia di sisi Allah. Biarlah kita tidak dikenal manusia, asal dikenal di langit sebagai hamba yang rendah hati.

Doa Penutup
اللهم ارزقنا التواضع، واغسل قلوبنا من الكبر والعجب، وعلّق قلوبنا بك، واجعلنا من عبادك الذين رفعتَهم بصدقهم وإخلاصهم.
“Ya Allah, anugerahkan kami sifat tawadhu’, sucikan hati kami dari kesombongan dan kebanggaan, gantungkan hati kami hanya kepada-Mu, dan jadikan kami hamba-hamba-Mu yang Engkau angkat derajatnya karena kejujuran dan keikhlasannya.”

Makna dan Tafsir Ruhani
1. اللهم ارزقنا التواضع
“Ya Allah, anugerahkan kami sifat tawadhu’ (rendah hati).”
• Makna lahir: Tawadhu’ adalah akhlak utama dalam Islam. Kita memohon bukan hanya tahu tentang tawadhu’, tapi dianugerahi kemampuan untuk hidup dengan akhlak itu.
• Makna batin: Kita sadar bahwa tawadhu’ tidak bisa dicapai tanpa pertolongan Allah. Ia bukan sekadar kesopanan, tapi buah dari kedalaman iman dan makrifat.
• Ini adalah permintaan agar Allah menghancurkan rasa 'aku' yang palsu, dan menggantinya dengan kelembutan hati.

2. واغسل قلوبنا من الكبر والعجب
“Sucikan hati kami dari kesombongan dan kebanggaan.”
• Al-Kibr (kesombongan) adalah penyakit iblis, yang menyebabkan dia diusir dari rahmat Allah.
• Al-‘Ujub (bangga diri) adalah racun ruhani yang membuat seseorang merasa lebih baik dari orang lain, meski amalnya belum tentu diterima.
• Doa ini adalah permohonan pembersihan ruhani: agar hati kita dibasuh dari kotoran perasaan lebih hebat, lebih suci, lebih utama dari orang lain.
Karena kesombongan membutakan hati, dan bangga diri adalah hijab dari keikhlasan.

3. وَعلِّق قلوبنا بك
“Gantungkan hati kami hanya kepada-Mu.”
• Kalimat ini menunjukkan permohonan tertinggi: agar hati kita tidak tergantung pada makhluk, dunia, atau pujian manusia, tapi hanya kepada Allah.
• Kata “علق” (menggantungkan) menunjukkan permohonan untuk menetapkan hati secara total kepada Allah: dalam cinta, harap, takut, rindu, dan pengabdian.
• Hati yang tergantung kepada Allah adalah hati yang hidup, tenang, dan tidak guncang oleh dunia.

4. واجعلنا من عبادك الذين رفعتَهم بصدقهم وإخلاصهم
“Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang Engkau angkat derajatnya karena kejujuran dan keikhlasannya.”
• Kita memohon untuk tidak dimuliakan karena pencitraan, tapi dimuliakan karena kejujuran (ṣidq) dan keikhlasan (ikhlāṣ) yang sejati.
• Derajat hakiki bukan karena nama besar, tapi karena kesetiaan kita kepada kebenaran dan keikhlasan niat dalam setiap amal.
• Hanya Allah yang bisa mengangkat derajat seseorang tanpa harus memamerkan kelebihannya.

Refleksi Akhir:
Doa ini adalah permohonan penyucian jiwa, bukan sekadar permintaan akhlak. Ia adalah tangisan ruhani seorang hamba yang ingin keluar dari penjara ego dan ingin masuk ke dalam benteng keikhlasan.
• Tawadhu’ adalah gerbang awal menuju ma’rifat.
• Jujur dan ikhlas adalah tangga menuju derajat tertinggi di sisi Allah.
• Dan hati yang menggantung kepada Allah adalah tanda bahwa ruh telah kembali ke arah fitrahnya.

Mari Kita Hafalkan dan Amalkan Doa Ini:
اللهم ارزقنا التواضع، واغسل قلوبنا من الكبر والعجب، وعلّق قلوبنا بك، واجعلنا من عبادك الذين رفعتَهم بصدقهم وإخلاصهم.

Ya Allah, anugerahkan kami sifat tawadhu’, sucikan hati kami dari kesombongan dan kebanggaan, gantungkan hati kami hanya kepada-Mu, dan jadikan kami hamba-hamba-Mu yang Engkau angkat derajatnya karena kejujuran dan keikhlasannya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update