Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

AS Latihan Perang Besar-besaran di Dekat RI, Indonesia seperti Kurcaci?

Selasa, 15 Juli 2025 | 07:19 WIB Last Updated 2025-07-15T00:19:32Z

TintaSiyasi.id -- Menanggapi kegiatan latihan perang besar-besaran yang digelar Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di kawasan Indo-Pasifik, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menilai Indonesia tampak seperti kurcaci di antara dua raksasa yang sedang bertarung.

"Kita ini kayak kurcaci di tengah dua raksasa yang sedang bertarung dalam perdagangan dan geopolitik," ungkapnya dalam video Tiktok Agung Wisnuwardana, Jumat (11/7/2025).

Ia mengungkap, lebih dari 12 ribu tentara dan 350 pesawat tempur yang dikerahkan Amerika di kawasan Indo-Pasifik sejak Rabu (9/7/2025) tersebut merupakan yang terbesar sejak perang dingin sebagai bagian dari permainan untuk makin menekan Cina. 

"Terbesar sejak perang dingin. Lokasinya di Hawai, Jepang, dan Han Guang, tapi efeknya terasa sampai ke kita. Karena ini bukan cuma latihan. Ini simulasi perang sungguhan skala besar. Amerika Serikat mengajak sekutu mereka seperti Jepang Australia Inggris bahkan juga Filipina. Latihannya fokus. untuk apa? Untuk bisa memobilisasi cepat, logistik udara, operasi melawan serangan udara besar, semua sebagai upaya untuk menekan Cina," ungkapnya.

Agung mengingatkan, simulasi perang tersebut dapat berpengaruh terhadap Indonesia, mengingat posisinya di tengah-tengah jalur panas Indo-Pasifik. Sementara itu, belakangan kapal Cina makin sering masuk zona ekonomi eksklusif Indonesia di Natuna, sedangkan Indonesia cenderung lemah soal ini. "Laut kita dimasukin kapal asing, diplomasi kita cuma 'menghimbau'," ujarnya.

Di tambah lagi, imbuhnya, Cina juga telah membangun perdagangan skala besar dengan Indonesia. "Ingat! BRI (Belt and Road Initiative) Cina telah menggurita di Indonesia. Jangan lupa! Jangan lupa juga bahwa Indonesia punya banyak utang dengan Cina," tandasnya.

Lebih lanjut Agung menjelaskan, di sisi lain, di saat yang sama sejak Orde Baru Indonesia cenderung tunduk dan patuh kepada Amerika Serikat (AS), baik dalam ekonomi militer, maupun diplomasi. "Apalagi saat ini AS telah menghantam Indonesia dengan tarif 32 persen dengan berbagai ancamannya. Indonesia? Tak mampu melawan," imbuhnya.

Posisi Indonesia yang ibarat kurcaci di tengah dua raksasa ini menurutnya karena Indonesia terlalu bergantung pada ekonomi kedua negara besar tersebut.

"Indonesia ini negara besar, tapi tak punya posisi yang kuat. Kenapa? Karena terlalu pahit dengan kamuflase "bebas aktif" dan terlalu bergantung pada ekonomi pada dua kutub kekuatan dunia ini," ujarnya.

Ia menilai, Indonesia butuh jalan keluar, tetapi bukan dengan ikut blok AS, bukan pula menyerah kepada Cina, melainkan bangkit dengan penerapan ideologi Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

"Indonesia harus bangkit sebagai negara besar. Bukan sekadar besar penduduknya, tapi juga besar visinya. Kita butuh arah sendiri, jalan sendiri. Dan itu hanya bisa kalau kita menggunakan Islam sebagai ideologi. Bukan Islam sebatas simbolik, tapi Islam yang mengatur politik ekonomi pertahanan dan seluruh aspek kehidupan," tuturnya.

Hal itu karena menurutnya, sejarah telah membuktikan dahulu dunia segan pada khilafah (negara Islam) karena sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. ini punya harga diri, mandiri, memiliki kekuatan militer dan ekonomi sendiri. Bayangin kalau Indonesia jadi negara adidaya Islam. Bukan cuma jadi penonton, tapi jadi aktor utama politik dunia, punya bargaining power, bisa bilang ke Amerika Serikat dan Cina: 'Jangan main-main di wilayah kami'," ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, untuk solusi ideologis menjadi negara besar berbasis Islam yang independen dan disegani itu, pilihannya ada di umat Islam Indonesia sendiri.

"Pilihan kita hari ini cuman dua. Satu, terus jadi penonton dan korban konflik global. Atau yang kedua, bangkit jadi pemimpin dunia dengan Islam sebagai jalan perjuangan," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update