“Sama-sama kita ambil iktibar dan manfaatkan momentum
hijrah ini, supaya kita dapat membina sebuah keluarga dakwah agar kita boleh
menjadi lil muttaqinā imāmah, yaitu pemimpin bagi orang-orang yang
bertakwa,”tuturnya .
“Kita ingin menjadikan keluarga dakwah ini sebagai
agen perubahan dalam masyarakat. Sebab itu saya katakan, perubahan itu mesti
bermula dari rumah,” tegasnya saat membahas topik Apa Khabar Keluarga
Muslim?, Sabtu (28/06/2025).
Ia menggambarkan berbagai bentuk krisis yang sedang
melanda institusi keluarga Muslim saat ini, yang menjadi alasan utama mengapa
dakwah tidak boleh ditangguhkan dan betapa pentingnya membina keluarga dakwah.
“Ketika kita bertanya, ‘Apa kabar keluarga Muslim?’ Kita
ingin tahu apakah ada masalah dengan keluarga Muslim hari ini? Apa yang sedang
terjadi? Apakah keluarga Muslim yang ada sekarang baik-baik saja atau
sebaliknya? Sebagai bentuk muhasabah, nyatanya memang ada masalah,” sebutnya.
Salah satu masalah besar yang dihadapi keluarga Muslim
adalah kehidupan umat yang semakin jauh dari penerapan Islam secara menyeluruh.
“Umat Islam hidup dalam keadaan di mana Islam tidak
diterapkan sepenuhnya dalam semua aspek kehidupan, melainkan hanya terbatas
pada ibadah ritual. Akibatnya, cara hidup yang mendominasi adalah sekuler dan
hedonistik,” ulasnya.
Ia menambahkan, “Ketika sistem yang ada hari ini jauh
dari Islam, tidak Islami, bukan sistem yang menjaga dan memberi perlindungan
supaya institusi keluarga menjadi kuat. Sebaliknya, sistem inilah yang justru
merusak keluarga dan yang membuat institusi keluarga menjadi rapuh hingga
runtuh.”
Selain itu, ia turut menyinggung dampak besar
teknologi dan media sosial terhadap keluarga Muslim masa kini. “Di balik
manfaat yang ada, media sosial juga menjadi medium yang membentuk stigma
negatif terhadap nilai kekeluargaan, misalnya terkait konsep kebahagiaan,”
paparnya.
“Banyak orang cenderung terpengaruh oleh apa yang
dilihat di media sosial, sehingga mengaburkan pemahaman tentang hakikat
kebahagiaan yang sebenarnya,” ungkapnya.
“Sering kali kita menilai kebahagiaan bukan dari apa
yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita lihat di media sosial, apa yang
muncul di wall, status, dan sebagainya. Akhirnya, kebahagiaan yang
seharusnya bisa kita ciptakan sendiri sesuai bingkai dan kaca mata hukum syarak
justru kita abaikan,” tandasnya.
Hidayah turut menyoroti konflik rumah tangga dalam
keluarga Muslim yang kerap tidak diselesaikan sesuai syariat. “Hal ini terjadi
karena permasalahan rumah tangga (di Malaysia) tidak sepenuhnya diurus
berdasarkan hukum syarak, melainkan bercampur dengan undang-undang sipil.
Misalnya dalam kasus kekerasan rumah tangga,” sebutnya.
Ia berkomentar, “Ketika terjadi kekerasan rumah
tangga, istri akan mengajukan cerai di Mahkamah Syariah. Namun terkait hukuman,
perlindungan, dan tindakan terhadap pelaku, kasus tersebut dibawa ke Mahkamah
Sipil,” ujarnya menyesalkan.
“Padahal jika kita benar-benar memahami hukum syariat,
ia tidak hanya mengatur nikah, cerai, dan rujuk saja. Syariat Islam mencakup
keseluruhan sistem perundangan, termasuk hukuman dan perlindungan terhadap
berbagai bentuk pelanggaran,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Islam sudah komprehensif. “Namun
jika umat Islam hanya mengambil sebagian ajarannya dan meninggalkan yang lain,
berarti umat sedang mengamalkan pendekatan sekuler. Inilah yang menyebabkan
berlarutnya krisis dan konflik dalam rumah tangga serta institusi keluarga
Muslim,” lugasnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, dalam menghadapi berbagai
krisis tersebut, penting bagi keluarga Muslim untuk memiliki kesadaran dakwah
dan bercita-cita membangun keluarga dakwah.
“Proses ini harus dimulai dari rumah, karena rumah
adalah tempat paling awal pembentukan anak-anak,” sarannya.
“Rumah adalah tempat pertama bagi generasi dan
anak-anak. Kita yang sekarang jadi ibu pun dulu dididik di rumah oleh orang tua
kita. Karena itu, rumah atau institusi keluarga punya peran penting dalam
melahirkan individu yang bukan hanya beriman, tetapi juga berilmu, terutama
dalam pendidikan agama dan sebagainya,” jelasnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa tantangan membina
keluarga dakwah sangat besar karena sistem masyarakat dan negara saat ini tidak
mendukung aspirasi dakwah secara Islami sepenuhnya.
“Kalau bicara soal dakwah, besar sekali tantangannya
karena kita tidak didukung oleh sistem yang ada. Sistem negara hari ini tidak
membantu pembinaan keluarga dakwah. Sampai-sampai kalau kita berdakwah dalam
konteks negara, sistem ini justru tidak mendukung keluarga dakwah untuk
bertahan,” tegasnya.
Justru, Hidayah menekankan pentingnya menanamkan
pemahaman tentang tanggung jawab dakwah kepada generasi mendatang. “Kesadaran
bahwa sistem yang ada bukan sistem Islam harus ditekankan, agar mereka berusaha
sungguh-sungguh mengubahnya menjadi sistem yang berlandaskan Islam,” sebutnya.
“Setelah kesadaran terbentuk, semangat perjuangan juga
harus ada. Kalau sudah paham tetapi tidak punya semangat untuk bertindak,
perubahan tidak akan terjadi,” jelasnya.
“Karena itu, semangat perjuangan mesti dipupuk agar
generasi ini benar-benar mau memperjuangkan Islam. Bukan sekadar ada kemauan, tetapi
sanggup bertindak. Di sinilah pentingnya peranan keluarga dakwah, ia mesti
menjadi agen perubahan,” pungkasnya.[] Aliya Ab Aziz