Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Aktivis Dakwah: Hijrah Keluarga Muslim Sebagai Agen Perubahan

Minggu, 27 Juli 2025 | 19:23 WIB Last Updated 2025-07-27T12:23:31Z

Tintasiyasi.ID -- Dalam Siri Open Circle Sahabat Muslimah, Aktivis Dakwah Malaysia Hidayah Muhammad mengajak umat Islam mengambil semangat hijrah sebagai katalis perubahan dalam institusi keluarga Muslim, dengan menjadikannya agen perubahan yang melaksanakan transformasi besar dalam masyarakat.

 

“Sama-sama kita ambil iktibar dan manfaatkan momentum hijrah ini, supaya kita dapat membina sebuah keluarga dakwah agar kita boleh menjadi lil muttaqinā imāmah, yaitu pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa,”tuturnya .

 

“Kita ingin menjadikan keluarga dakwah ini sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Sebab itu saya katakan, perubahan itu mesti bermula dari rumah,” tegasnya saat membahas topik Apa Khabar Keluarga Muslim?, Sabtu (28/06/2025).

 

Ia menggambarkan berbagai bentuk krisis yang sedang melanda institusi keluarga Muslim saat ini, yang menjadi alasan utama mengapa dakwah tidak boleh ditangguhkan dan betapa pentingnya membina keluarga dakwah.

 

“Ketika kita bertanya, ‘Apa kabar keluarga Muslim?’ Kita ingin tahu apakah ada masalah dengan keluarga Muslim hari ini? Apa yang sedang terjadi? Apakah keluarga Muslim yang ada sekarang baik-baik saja atau sebaliknya? Sebagai bentuk muhasabah, nyatanya memang ada masalah,” sebutnya.

 

Salah satu masalah besar yang dihadapi keluarga Muslim adalah kehidupan umat yang semakin jauh dari penerapan Islam secara menyeluruh.

 

“Umat Islam hidup dalam keadaan di mana Islam tidak diterapkan sepenuhnya dalam semua aspek kehidupan, melainkan hanya terbatas pada ibadah ritual. Akibatnya, cara hidup yang mendominasi adalah sekuler dan hedonistik,” ulasnya.

 

Ia menambahkan, “Ketika sistem yang ada hari ini jauh dari Islam, tidak Islami, bukan sistem yang menjaga dan memberi perlindungan supaya institusi keluarga menjadi kuat. Sebaliknya, sistem inilah yang justru merusak keluarga dan yang membuat institusi keluarga menjadi rapuh hingga runtuh.”

 

Selain itu, ia turut menyinggung dampak besar teknologi dan media sosial terhadap keluarga Muslim masa kini. “Di balik manfaat yang ada, media sosial juga menjadi medium yang membentuk stigma negatif terhadap nilai kekeluargaan, misalnya terkait konsep kebahagiaan,” paparnya.

 

“Banyak orang cenderung terpengaruh oleh apa yang dilihat di media sosial, sehingga mengaburkan pemahaman tentang hakikat kebahagiaan yang sebenarnya,” ungkapnya.

 

“Sering kali kita menilai kebahagiaan bukan dari apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita lihat di media sosial, apa yang muncul di wall, status, dan sebagainya. Akhirnya, kebahagiaan yang seharusnya bisa kita ciptakan sendiri sesuai bingkai dan kaca mata hukum syarak justru kita abaikan,” tandasnya.

 

Hidayah turut menyoroti konflik rumah tangga dalam keluarga Muslim yang kerap tidak diselesaikan sesuai syariat. “Hal ini terjadi karena permasalahan rumah tangga (di Malaysia) tidak sepenuhnya diurus berdasarkan hukum syarak, melainkan bercampur dengan undang-undang sipil. Misalnya dalam kasus kekerasan rumah tangga,” sebutnya.

 

Ia berkomentar, “Ketika terjadi kekerasan rumah tangga, istri akan mengajukan cerai di Mahkamah Syariah. Namun terkait hukuman, perlindungan, dan tindakan terhadap pelaku, kasus tersebut dibawa ke Mahkamah Sipil,” ujarnya menyesalkan.

 

“Padahal jika kita benar-benar memahami hukum syariat, ia tidak hanya mengatur nikah, cerai, dan rujuk saja. Syariat Islam mencakup keseluruhan sistem perundangan, termasuk hukuman dan perlindungan terhadap berbagai bentuk pelanggaran,” ujarnya.

 

Ia menegaskan bahwa Islam sudah komprehensif. “Namun jika umat Islam hanya mengambil sebagian ajarannya dan meninggalkan yang lain, berarti umat sedang mengamalkan pendekatan sekuler. Inilah yang menyebabkan berlarutnya krisis dan konflik dalam rumah tangga serta institusi keluarga Muslim,” lugasnya.

 

Oleh karena itu, imbuhnya, dalam menghadapi berbagai krisis tersebut, penting bagi keluarga Muslim untuk memiliki kesadaran dakwah dan bercita-cita membangun keluarga dakwah.

 

“Proses ini harus dimulai dari rumah, karena rumah adalah tempat paling awal pembentukan anak-anak,” sarannya.

 

“Rumah adalah tempat pertama bagi generasi dan anak-anak. Kita yang sekarang jadi ibu pun dulu dididik di rumah oleh orang tua kita. Karena itu, rumah atau institusi keluarga punya peran penting dalam melahirkan individu yang bukan hanya beriman, tetapi juga berilmu, terutama dalam pendidikan agama dan sebagainya,” jelasnya.

 

Namun, ia juga mengakui bahwa tantangan membina keluarga dakwah sangat besar karena sistem masyarakat dan negara saat ini tidak mendukung aspirasi dakwah secara Islami sepenuhnya.

 

“Kalau bicara soal dakwah, besar sekali tantangannya karena kita tidak didukung oleh sistem yang ada. Sistem negara hari ini tidak membantu pembinaan keluarga dakwah. Sampai-sampai kalau kita berdakwah dalam konteks negara, sistem ini justru tidak mendukung keluarga dakwah untuk bertahan,” tegasnya.

 

Justru, Hidayah menekankan pentingnya menanamkan pemahaman tentang tanggung jawab dakwah kepada generasi mendatang. “Kesadaran bahwa sistem yang ada bukan sistem Islam harus ditekankan, agar mereka berusaha sungguh-sungguh mengubahnya menjadi sistem yang berlandaskan Islam,” sebutnya.

 

“Setelah kesadaran terbentuk, semangat perjuangan juga harus ada. Kalau sudah paham tetapi tidak punya semangat untuk bertindak, perubahan tidak akan terjadi,” jelasnya.

 

“Karena itu, semangat perjuangan mesti dipupuk agar generasi ini benar-benar mau memperjuangkan Islam. Bukan sekadar ada kemauan, tetapi sanggup bertindak. Di sinilah pentingnya peranan keluarga dakwah, ia mesti menjadi agen perubahan,” pungkasnya.[] Aliya Ab Aziz

Opini

×
Berita Terbaru Update