TintaSiyasi.id -- Anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia prosentasenya cukup tinggi, yaitu 25,55 persen disebabkan karena kondisi ekonomi dan 21,64 persen karena membantu orang tua mencari nafkah. Data tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah Tatang Muttaqin (tirto.id, 19/05/2025).
Miris, akibat dari faktor ekonomi dan membantu orang tua mencari nafkah, total anak tidak sekolah mencapai 47,19 persen. Faktor lain yang menyebabkan anak tidak sekolah, yaitu karena menikah, akses terhadap tempat sekolah yang jauh, kasus perundungan, disabilitas, dan lainnya. Dengan demikian, bisa dibayangkan berapa banyak anak tidak sekolah yang ada di Indonesia.
Pendidikan merupakan hak bagi warga negara yang telah dijamin oleh UUD 45, pasal 31 ayat 1 dan 2. Untuk mengatasi banyaknya anak tidak sekolah,khususnya yang disebabkan faktor ekonomi, pemerintah meluncurkan berbagai program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar, (KIP), dan yang terbaru adalah Sekolah Rakyat, dan Sekolah Garuda Unggul.
Selama ini program-program yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan anak tidak sekolah, dan terselenggaranya pendidikan dasar, khususnya program Bantuan Operasinal Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tidak mampu menghilangkan akar masalah rendahnya akses pendidikan karena faktor kemiskinan.
Tingginya jumlah anak tidak sekolah yang disebabkan oleh faktor ekonomi/kemiskinan dan membantu mencari nafkah merupakan bukti bahwa dalam sistem kapitalis pendidikan merupakan komoditas mahal yang tidak bisa diakses oleh seluruh rakyat.
Dalam kapitalisme, program-program yang terlihat menjanjikan, sejatinya hanyalah program-program populis yang tidak akan pernah mampu menyelesaikan akar masalah, bahkan hanya sekadar program tambal sulam.
Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam mewajibkan semua manusia berilmu. Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi warga negara bahkan hak syar’i bagi setiap warga negara seperti halnya kesehatan dan keamanan.
Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar publik, maka negara secara langsung memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh warga negara, tanpa melihat apakah terkategori warga miskin maupun kaya, semua memiliki hak yang sama, baik yang tinggal di kota maupun di seluruh penjuru pelosok negeri.
Tuntutan syariah terkait pendidikan menjadi konsep penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana yang dijelaskan seorang mujtahid mutlak dan ulama terkenal Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnyà Muqaddimah Dustur pasal 173, "Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia didalam kancah kehidupan bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma".
Tanggung jawab penyelenggaraan pendididikan oleh negara dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Beliau menjabat sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tawanan perang Badar diminta untuk mengajari kaum Muslim baca tulis sebagai tebusan bagi mereka.
Untuk memyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara tentu saya membutuhkan dukungan pendanaan yang besar. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam akan didukung oleh sistem ekonomi Islam. Negara akan menyelenggarakan urusan pendidikan ini dengan pembiayaan yang diambil dari Baitul Mal.
Baitul Mal sendiri memiliki sumber pemasukan dari tiga pos pendapatan yaitu pertama pos kepemilikan negara yang diantaranya berasal dari jizyah, ghanimah, fai', khumus; kedua pos kepemilikan umum diantaranya tambang, hutan, laut, dan ketiga pos harta zakat.
Pendanaan pendidikan dalam Islam dapat dialokasikan dari pos kepemilikan umum untuk pembiayaan sarana dan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah, perpustakaan, aula, laboratorium, klinik, lapangan olah raga, dan asrama serta sarana dan prasarana yang lain. Termasuk di dalamnya juga beasiswa bagi seluruh siswa tanpa syarat.
Dengan demikian dalam Islam pendidikan bukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi. Pendidikan merupakan hak syar’i warga negara agar mampu mencetak generasi pembangun peradaban.
Pendidikan Islam diselenggarakan dalam rangka mencetak generasi yang memiliki syakhshiyah Islam, menguasai ilmu terapan dan ketrampilan serta dipersiapkan dalam rangka membangun peradaban Islam yang agung dan siap untuk berdakwah dan berjihad ke seluruh penjuru dunia. Pendidikan Islam akan menjadi mercusuar bagi dunia, serta menjadi kiblat masyarakat internasional.
Pendidikan Islam akan mencetak generasi Muslim yang akan hadir sebagai pembentuk dan penjaga peradaban Islam yang mulia. []
Oleh: Erlis Agustiana
(Aktivis Muslimah)