TintaSiyasi.id -- Mukadimah: Siapakah Waliyullah Itu? Dalam hingar-bingar dunia yang mengejar popularitas, kekuasaan, dan kekayaan, kita nyaris lupa bahwa ada manusia-manusia pilihan Allah yang berjalan di bumi dengan tenang, sederhana, tanpa sorotan, tetapi memiliki kedekatan luar biasa dengan Sang Pencipta. Mereka itulah para Waliyullah, yaitu kekasih-kekasih Allah yang hidupnya hanya untuk-Nya, dan matinya pun dalam keridhaan-Nya.
Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama agung dari Nusantara yang masyhur hingga Tanah Suci, menyebut bahwa jalan kewalian bukanlah milik segelintir orang suci dari langit. Ia terbuka untuk siapa saja yang mau bersungguh-sungguh menjalani hidup dalam iman, takwa, dan kesucian hati.
Di tengah krisis moral, degradasi spiritual, dan disorientasi umat hari ini, penting bagi kita untuk merenungi kembali, bagaimana caranya menjadi kekasih Allah? Bagaimana hidup sebagai waliyullah di era penuh fitnah ini?
1. Waliyullah adalah Mereka yang Beriman dan Bertakwa
Imam Nawawi al-Bantani membuka pembahasan tentang wali Allah dengan mengutip QS. Yunus: 62–63:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa."
Beliau menafsirkan bahwa kewalian bukan ditentukan oleh nasab, status sosial atau pakaian lahiriyah, tetapi oleh kualitas iman dan takwa yang murni. Wali adalah orang yang percaya sepenuh hati kepada Allah, dan menjadikan takwa sebagai laku hidupnya.
Di tengah zaman dimana keimanan semakin rapuh, menjaga keimanan dan takwa adalah perjuangan besar. Maka, barangsiapa berhasil melakukannya, ia termasuk dalam barisan para wali tanpa harus menampakkan diri sebagai orang suci.
2. Jalan Kewalian Dimulai dari Ilmu yang Diamalkan
Dalam Tanqih al-Qaul, Imam Nawawi al-Bantani menulis bahwa seorang wali tidak akan mencapai derajatnya tanpa ilmu yang diamalkan.
“Tiada seseorang dapat meraih derajat kewalian kecuali setelah ia menguasai ilmu syariat, mengamalkannya, dan meninggalkan dunia secara zuhud.”
Betapa pentingnya menuntut ilmu, bukan sekadar untuk tahu, tetapi untuk mengubah diri dan menghidupkan nurani. Ilmu yang tidak mengantarkan pada amal hanyalah kesombongan intelektual. Maka, para wali adalah mereka yang menggabungkan dalil dalam akal dan dzikir dalam hati, lalu memancar dalam laku.
3. Waliyullah Adalah Penjaga Lisan dan Penjaga Hati
Dalam Nashaih al-‘Ibad, Imam Nawawi al-Bantani memberikan peringatan keras akan bahayanya lisan. Ia menukil hadis Rasulullah Saw:
“Banyak orang yang masuk neraka karena tidak menjaga lisannya.”
Seorang wali bukan hanya rajin ibadah, tetapi juga tajam dalam akhlak. Mereka menjaga ucapan, tidak menyakiti sesama, dan hatinya dipenuhi kasih sayang. Dalam sunyi malam, mereka menyebut nama Allah, dalam terang siang, mereka menyebar rahmat kepada manusia.
Di tengah dunia media sosial yang penuh celaan, debat, dan fitnah, menjadi wali berarti menjadi penjaga kedamaian, bukan provokator kemarahan.
4. Waliyullah Tidak Terpaut pada Dunia
Imam Nawawi al-Bantani memegang teguh prinsip zuhud, yaitu tidak menggantungkan hati pada dunia, meskipun dunia di tangan. Dalam kitabnya beliau menulis:
“Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan.”
Banyak yang keliru mengira wali itu harus miskin dan menjauh dari manusia. Padahal, para wali bisa saja pedagang, guru, dokter, atau petani. Selama hatinya tidak diperbudak oleh dunia dan setiap langkahnya menjadi bentuk ibadah.
5. Waliyullah Menjaga Dzikir dan Kesucian Jiwa
Dalam banyak kitabnya, Imam Nawawi al-Bantani menekankan pentingnya dzikir dan tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Beliau menyebut, "Dzikir adalah cahaya hati. Barangsiapa yang memelihara dzikir, niscaya Allah pelihara hatinya.”
Dzikir bukan hanya lafaz di lisan, tetapi kesadaran spiritual yang mendalam bahwa Allah selalu hadir, selalu melihat, dan selalu mencintai hamba-Nya yang mengingat-Nya.
Para wali tidak mencari pengakuan, tetapi mencari kemuliaan di sisi Allah. Mereka tidak gila pujian, tetapi rindu kedekatan dengan-Nya.
6. Tawadhu’, Ikhlas, dan Cinta Sesama
Imam Nawawi al-Bantani juga mengajarkan bahwa kewalian hanya diberikan kepada orang yang ikhlas dalam amal dan rendah hati dalam laku.
“Barangsiapa merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya hingga menjadi kekasih-Nya.”
Waliyullah adalah mereka yang dikenal di langit, tetapi tersembunyi di bumi. Ia tidak mencaci manusia, tetapi mengasihi. Ia tidak menuntut balasan, tetapi memberi tanpa pamrih.
Refleksi: Apakah Kita Bisa Menjadi Waliyullah?
Banyak orang merasa kecil dan hina ketika mendengar kata Waliyullah. Seolah-olah derajat itu hanya milik para sufi besar atau wali songo. Padahal, Imam Nawawi al-Bantani telah membuka rahasia besar: setiap Muslim bisa menjadi wali, jika ia:
Memperkuat iman dan takwanya
Menuntut ilmu dan mengamalkannya
Menjaga akhlak dan lisannya
Menyucikan hatinya
Menjauhkan diri dari cinta dunia
Menjadikan dzikir sebagai nafas hidup
Penutup: Mari Bangkit Menjadi Kekasih Allah
Di tengah kerusakan moral dan kesibukan dunia, umat Islam memerlukan kebangkitan spiritual. Bukan dengan teriakan keras, tetapi dengan menjadi manusia yang dekat dengan Allah. Menjadi waliyullah bukanlah mitos. Ia adalah realitas spiritual yang menunggu siapa pun yang mau menempuhnya.
Mari, kita mulai dari diri sendiri dengan shalat yang khusyuk, lisan yang jujur, hati yang bersih, dan amal yang ikhlas. Mari kita lahirkan para wali baru di tengah masyarakat kita yang menjadi pelita dalam gelap, penyejuk dalam panas, dan penuntun di jalan yang lurus. Karena ketika dunia kehilangan akhlak dan adab, munculnya satu waliyullah bisa menghidupkan satu peradaban.
Wallahu A’lam bis Shawab.
“Jalan para wali adalah jalan sunyi, tapi dari sunyi itulah lahir kejernihan. Mereka tidak berteriak di pasar, tapi Allah memperdengarkan nama mereka hingga ke langit.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo