TintaSiyasi.id -- “Katakanlah (Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Cinta kepada Rasulullah ﷺ bukan sekadar ungkapan di lisan, tetapi panggilan untuk hidup dalam jejak dan risalah beliau. Ini adalah panggilan suci dari langit, yang hanya bisa dipenuhi oleh hati yang sadar, rindu, dan siap berjuang di jalan yang lurus. Ketika kita berkata mencintai beliau, itu berarti kita memenuhi panggilan-Nya: untuk meneladani, memperjuangkan, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya dalam kehidupan.
1. Cinta yang Menggerakkan
Cinta sejati kepada Rasulullah ﷺ tidak membiarkan seorang Muslim hanya duduk diam. Ia akan terdorong untuk bangkit—mengikuti akhlaknya, menyebarkan dakwahnya, dan memperjuangkan nilai-nilainya. Sebagaimana para sahabat yang tak pernah ragu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi membela beliau.
Maka cinta bukanlah perasaan pasif, melainkan energi aktif yang menyalakan semangat untuk menjadi perpanjangan tangan Rasulullah di bumi.
2. Menjawab Panggilan Dakwah
Mencintai Rasulullah ﷺ berarti menjawab panggilan dakwahnya. Beliau telah meninggalkan warisan agung berupa Al-Qur’an dan sunnah, serta mengamanahkan kepada umatnya untuk menyampaikan walau satu ayat. Panggilan ini adalah tanggung jawab suci, agar cahaya risalah beliau tidak padam ditelan zaman.
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya.” (HR. Muslim)
Maka setiap dai, guru, orang tua, bahkan penjual, pedagang, dan pemimpin, dapat menjadi pelaku dakwah bila ia menghidupkan ajaran Rasulullah ﷺ dalam perannya masing-masing.
3. Mencintai Rasulullah dengan Mentaati
Allah SWT berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr: 7)
Mentaati Rasulullah adalah bukti cinta yang paling otentik. Dalam cara bicara, berpakaian, berdagang, memimpin, dan berinteraksi, beliau telah menunjukkan standar akhlak yang paling tinggi. Mengabaikan ajaran beliau tetapi mengklaim mencintainya adalah cinta semu yang menipu hati sendiri.
4. Rindu yang Mencerahkan
Ketika cinta tumbuh, rindu pun mengikutinya. Rindu kepada Rasulullah ﷺ bukan sekadar menangis saat maulid, tetapi mendorong kita untuk bertanya setiap hari: “Kalau Rasulullah hidup di masaku, bagaimana beliau akan bersikap?”
Rasa rindu ini harus menjadi cahaya yang menerangi hidup kita—mengubah cara pandang, menguatkan perjuangan, dan menanamkan harapan untuk dapat bertemu dengannya kelak di telaga al-Kautsar.
Penutup: Cinta yang Membebaskan
Mencintai Rasulullah ﷺ adalah membebaskan diri dari belenggu dunia dan hawa nafsu, lalu menundukkan diri kepada kemuliaan risalah beliau. Ia adalah puncak spiritualitas, sumber kebangkitan peradaban, dan awal dari segala kebaikan.
Mari kita tanamkan dalam hati:
“Tiada jalan hidup yang lebih indah, selain mengikuti jejak langkah Sang Kekasih, Nabi Muhammad ﷺ.”
Dengan demikian, mencintai Rasulullah SAW bukan sekadar ibadah emosional, tetapi tindakan sadar untuk menjawab panggilan langit dan menjadi insan rahmat bagi semesta—sebagaimana beliau telah diutus.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)