TintaSiyasi.id -- Di antara penyakit yang paling halus dan tersembunyi dalam perjalanan ruhani seorang hamba adalah kelengahan (ghaflah). Ia tidak datang dengan suara gaduh atau isyarat mencolok. Ia datang diam-diam, menyelinap dalam rutinitas, melekat dalam kesibukan, berselimutkan dunia, hingga membuat hati kita perlahan kehilangan rasa.
Imam Al-Jaiani dalam Fathur Rabbani menyatakan dengan tegas:
"Kelengahanmu kepada Allah akan mengusirmu dan menjauhkanmu dari-Nya. Sesungguhnya keberuntungan untuk mendapat anugerah di sisi Allah Azza wa Jalla hanya dapat diraih dengan kesabaran."
Sebuah peringatan yang sangat kuat. Bahwa jarak antara seorang hamba dan Tuhannya bukanlah ruang fisik, melainkan jarak rasa: jarak antara kepekaan jiwa dengan kelalaian pikiran, antara kesadaran dengan kelengahan. Dan yang lebih menakutkan: orang yang lengah tidak selalu tampak bermaksiat, tetapi hatinya tidak lagi hadir bersama Allah.
Kelengahan: Bahaya yang Terlihat Sepele
Kelengahan bukan sekadar lupa zikir atau lalai shalat. Kelengahan adalah saat hati tidak lagi merindukan Allah, saat hidup dijalani sekadar menggugurkan kewajiban, saat amal ibadah tak lagi menjadi pertemuan mesra, tetapi sekadar rutinitas kosong. Kelengahan adalah ketika dunia terasa cukup tanpa Allah.
Padahal, manusia tidak pernah cukup tanpa-Nya. Sebagaimana tubuh yang butuh oksigen, hati pun butuh cahaya dari Rabb-nya. Dan bila cahaya itu padam, maka datanglah kekeringan batin, keresahan hidup, kegelisahan tanpa sebab. Inilah bentuk pengusiran halus dari Allah: ketika hati tak lagi menikmati kedekatan, ketika jiwa kehilangan nikmat iman, dan amal menjadi beban.
Kesabaran: Jalan Menuju Anugerah Ilahi
Namun di balik peringatan keras itu, tersimpan harapan yang besar: "Keberuntungan untuk mendapat anugerah Allah hanya dapat diraih dengan kesabaran." Ini adalah rahasia para kekasih Allah, para nabi, dan para salihin: kesabaran.
Sabar bukan sekadar menahan sakit, tetapi menjaga hati tetap kokoh dalam ibadah meski dunia menggoda. Sabar adalah tetap taat meski tidak dipuji, tetap berdoa meski belum dijawab, tetap bersujud meski belum melihat jalan keluar. Inilah sabar yang melahirkan cahaya, sabar yang mengangkat derajat, sabar yang mendatangkan anugerah dari langit.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 153, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar."
Perhatikan kalimat terakhir: "Allah bersama orang-orang yang sabar." Apakah ada keberuntungan yang lebih besar dari itu?
Membangun Kewaspadaan Spiritual
Maka, langkah awal untuk kembali mendekat adalah menyadari kelengahan itu sendiri. Dalam tradisi tasawuf, ini disebut yaqzhah — terbangunnya kesadaran bahwa hati sedang jauh dari Allah. Kesadaran inilah yang menjadi pintu taubat, gerbang perubahan, dan titik balik kehidupan.
Lalu kita mulai menghidupkan kembali hati:
• Dengan zikir yang sadar, bukan hanya lisan yang berucap tapi hati yang hadir.
• Dengan shalat yang khusyuk, bukan sekadar gerakan tapi perjumpaan.
• Dengan tadabbur ayat-ayat Allah, baik yang tertulis di mushaf maupun yang tercetak dalam hidup sehari-hari.
• Dan dengan sabar menjaga langkah, walau lambat, asalkan tetap menuju-Nya.
Cahaya dalam Kesendirian
Ketahuilah, sering kali cahaya Allah justru menyapa di saat kita merasa paling sepi, paling gagal, paling tidak berdaya. Saat itu, jangan panik. Jangan lari. Jangan menyangka Allah meninggalkanmu. Mungkin itulah saat Allah sedang memanggilmu untuk lebih dekat.
Kita bukan sedang dihukum, tapi sedang disadarkan.
Dalam sunyi itu, bisikkan doa:
“Ya Allah, aku telah lengah. Tapi aku rindu. Aku ingin kembali. Jemputlah aku dengan kasih-Mu.”
Doa itu, walau lirih, mampu membelah langit.
Kesimpulan: Jalan Pulang Selalu Terbuka
Setiap kita pernah lengah. Tidak ada manusia yang selalu sadar. Tapi jalan pulang selalu terbuka. Allah tidak pernah jenuh menunggu hamba-Nya yang ingin kembali. Bahkan ketika kita datang dengan berjalan, Dia datang dengan berlari.
Maka jangan pernah menyerah. Jangan pernah merasa terlalu kotor, terlalu jauh, atau terlalu terlambat. Selama hati masih bisa bergetar oleh nama-Nya, selama air mata masih bisa menetes karena-Nya, selama masih ada satu sujud terakhir yang bisa kita hadiahkan untuk-Nya — maka harapan belum padam.
Kelengahan memang mengusir. Tapi kesabaran menghadirkan. Dan Allah tak pernah menolak orang yang bersungguh-sungguh ingin pulang.
“Yaa Allah, sadarkan hati kami dari kelengahan. Luruskan langkah kami dalam kesabaran. Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang selalu merindukan cahaya-Mu di setiap helaan napas kami.”
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)