TintaSiyasi.id -- Fenomena maraknya anak-anak yang terlibat dalam judi online (judol) bukanlah suatu kebetulan yang terjadi begitu saja. Data tahun lalu dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan anak-anak mulai dari 10 tahun sudah terlibat judi online. Lebih dari 2,2 milyar rupiah deposit judi online yang dimainkan anak0-anak usia 10-16 tahun pada kuwartal 1 -2025. Sementara 47,9 milyar usia 17-19 tahun sedangkan 2, 5 Trilyun usia 31-40 tahun (Lintaskepri.com, 4/06/2025). Tentu fenomena ini sangat meresahkan. Apalagi permainan ini memang di desain agar pemain kalah.
Lebih dari sekadar kenakalan remaja atau kelalaian orang tua, fenomena ini menunjukkan wajah asli sistem kapitalisme: rakus, tidak mengenal batas moral, dan menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya standar kebenaran. Judi online adalah produk industri kapitalis digital yang memanfaatkan celah hukum, celah teknologi, dan bahkan celah psikologis anak-anak demi keuntungan finansial semata. Mereka tidak peduli siapa yang menjadi korban—anak-anak sekalipun.
Dalam kapitalisme, semua hal dapat dikomersilkan. Moralitas, pendidikan, bahkan masa depan generasi muda bisa dijadikan objek eksploitasi. Judi online adalah salah satu bentuk eksploitasi digital yang kini makin masif. Mengapa anak-anak bisa menjadi target?
Karena anak-anak adalah pengguna aktif internet, mereka adalah pasar yang potensial. Industri judol memanfaatkan iklan visual yang menarik, game berbasis taruhan, dan media sosial sebagai alat untuk meracuni pikiran anak-anak. Dengan desain user interface yang dibuat semenarik mungkin, algoritma yang terus menyesuaikan preferensi pengguna, serta akses tanpa batas, industri ini membangun candu secara sistematis. Ini adalah bentuk penjajahan digital yang tak kasat mata, namun dampaknya sangat nyata.
Kapitalisme digital menjadikan anak-anak sebagai target pemasaran, bukan sebagai individu yang harus dilindungi. Tidak ada empati, tidak ada etika. Yang ada hanyalah perhitungan untung-rugi. Mereka yang paling muda dan paling rentan justru menjadi sasaran empuk karena mudah dibentuk, mudah dimanipulasi, dan belum memiliki filter moral yang kuat.
Negara dan Lemahnya Penanganan
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), memang telah memblokir ribuan situs judol. Namun kenyataannya, banyak situs tetap aktif dengan mengganti domain secara berkala, dan terus bermunculan situs baru setiap hari. Artinya, pendekatan yang dilakukan selama ini bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar masalah.
Lebih ironis lagi, penanganan pemerintah terlihat setengah hati dan tebang pilih. Ada indikasi bahwa penindakan terhadap situs-situs ini tidak konsisten. Situs besar dengan jaringan internasional atau yang memiliki “koneksi” justru sering kali luput dari pengawasan. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalis, hukum bisa ditekuk dan pengawasan bisa dilonggarkan apabila bertabrakan dengan kepentingan bisnis atau politik.
Lemahnya penegakan hukum ini memperlihatkan bahwa negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat—terutama anak-anak—justru gagal menjalankan fungsinya. Tidak ada kebijakan yang benar-benar tegas, tidak ada regulasi yang efektif, dan tidak ada sinyal bahwa negara serius melawan industri judol ini. Bahkan ketika jutaan anak terancam masa depannya, negara masih sibuk menghitung untung-rugi secara ekonomi digital.
Peran Keluarga: Tanggung Jawab Ibu yang Berat
Dalam kondisi seperti ini, peran keluarga menjadi sangat penting, khususnya ibu. Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ia memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter, pola pikir, dan moral anak. Namun, di tengah tekanan ekonomi yang mendera keluarga, banyak ibu yang terpaksa bekerja sepanjang hari dan tidak memiliki cukup waktu maupun energi untuk mendidik anak-anak mereka.
Kapitalisme telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit. Di satu sisi dituntut menjadi pendidik utama dalam keluarga, di sisi lain dipaksa berkontribusi secara ekonomi karena mahalnya biaya hidup. Ketika waktu bersama anak tergantikan oleh gadget dan media sosial, maka anak-anak pun belajar dari dunia digital yang liar, tanpa bimbingan dan kontrol.
Inilah mengapa peran ibu dalam sistem keluarga Islam sangat sentral. Islam menempatkan ibu sebagai pendidik utama, dan negara sebagai pihak yang memastikan bahwa keluarga memiliki lingkungan yang kondusif untuk mendidik anak. Dalam Islam, peran ekonomi keluarga adalah tanggung jawab utama ayah, sementara ibu difasilitasi untuk fokus dalam pendidikan dan penjagaan anak-anak.
Pendidikan Islam: Pilar Perlindungan Generasi
Sistem pendidikan dalam Islam bukan hanya berorientasi pada nilai akademik, tetapi juga pada pembentukan pola pikir dan pola sikap yang islami. Anak-anak dididik untuk menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam berperilaku. Mereka dibekali dengan akidah yang kuat sehingga tidak mudah tergoda oleh rayuan syahwat digital seperti judi online.
Literasi digital dalam sistem pendidikan Islam bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, melainkan kemampuan memilah konten yang sesuai syariat dan membentengi diri dari konten merusak. Ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan sekuler yang netral terhadap moral dan hanya fokus pada keterampilan teknis.
Tanpa pendidikan akidah yang kuat, anak-anak akan menjadi korban dari sistem yang memang tidak peduli pada kebaikan mereka. Inilah kenapa peran pendidikan Islam harus direvitalisasi dan dijadikan landasan utama dalam membangun generasi masa depan.
Khilafah: Solusi Hakiki dalam Menjaga Generasi
Sistem Islam (khilafah) bukan hanya menyediakan solusi individu dan keluarga, tetapi juga sistemis. Negara dalam sistem khilafah memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga rakyatnya dari segala bentuk kerusakan moral dan sosial, termasuk judi online. Khilafah akan menerapkan hukum syariah secara menyeluruh yang mencegah penyebaran konten merusak sejak dari akarnya.
Dalam khilafah, teknologi tidak dibiarkan berkembang liar mengikuti kepentingan pasar. Digitalisasi diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk eksploitasi. Akses terhadap situs-situs berbahaya akan ditutup secara permanen dengan teknologi yang terintegrasi dan pengawasan ketat. Tidak akan ada toleransi terhadap konten atau industri yang merusak generasi.
Lebih dari itu, khilafah akan menciptakan sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan yang mendukung keluarga agar mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Negara tidak membiarkan ibu bekerja karena tekanan ekonomi, dan tidak membiarkan anak-anak menjadi korban dari sistem yang gagal melindungi mereka.
Penutup
Fenomena anak menjadi korban judi online adalah bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme dalam menjaga masa depan generasi muda. Ketika keuntungan dijadikan satu-satunya orientasi, maka anak-anak pun akan dijadikan target pasar. Negara dalam sistem demokrasi kapitalis pun tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai. Hanya dengan kembali pada sistem Islam—yang melibatkan peran keluarga, pendidikan, dan negara secara terpadu—generasi muda dapat diselamatkan dari kehancuran moral yang makin sistemis.
Sudah saatnya umat Islam membuka mata bahwa perubahan hakiki tidak bisa hanya melalui kebijakan tambal sulam. Diperlukan perubahan mendasar dalam sistem kehidupan yang kita anut, agar anak-anak kita tidak lagi menjadi korban dari sistem yang rusak ini. []
Oleh: Rutin, SEI
(Aliansi Penulis Rindu Islam)