TintaSiyasi.id -- Berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ramai oleh gelaran Job Fair. Ribuan pencari kerja memadati gedung-gedung penyelenggara, berharap mendapatkan secercah harapan dari tumpukan berkas lamaran kerja yang mereka bawa. Fenomena ini bukan terjadi sekali dua kali, tapi terus berulang dalam beberapa tahun terakhir. Ironisnya, job fair lebih sering menjadi panggung formalitas belaka daripada benar-benar menyerap tenaga kerja secara serius.
Di balik hiruk-pikuk ini, terdapat realita pahit yang menyelimuti dunia kerja Indonesia di antaranya tingginya angka pengangguran dan gelombang PHK yang terus mengancam. Pemerintah memprediksi jumlah korban PHK bisa menembus 280 ribu orang tahun ini. Job fair dijadikan solusi instan, seolah menjadi oase di tengah kekeringan lapangan kerja. Namun apakah ini sungguh solusi, atau hanya hiburan sesaat dalam sistem yang rusak?
Masalah sesungguhnya bukan sekadar kurangnya lowongan kerja, tapi kegagalan sistem kapitalis dalam memenuhi hak dasar rakyat. Dalam sistem ini, negara hanya bertindak sebagai fasilitator bukan penyedia lapangan kerja. Tugas menciptakan kerja diserahkan kepada swasta dan investor asing. Pemerintah sibuk menggelar pameran kerja dan mengejar target investasi, namun lupa bahwa menyediakan pekerjaan adalah tanggung jawab langsung negara.
Kapitalisme telah menjadikan negara sebagai makelar, bukan pelayan rakyat. Sumber daya alam diserahkan kepada korporasi, bukan dikelola negara untuk membuka lapangan kerja. Lahan-lahan subur dikuasai segelintir pihak, pendidikan hanya mencetak pencari kerja, bukan pengelola peradaban. Sementara itu, rakyat dijejali harapan-harapan kosong melalui pelatihan, seminar kewirausahaan, dan job fair yang miskin solusi struktural.
Islam memiliki cara pandang yang sangat berbeda. Dalam sistem khilafah, negara bertanggung jawab langsung atas ketercukupan kebutuhan pokok rakyat, termasuk penyediaan lapangan kerja. Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nidzam Iqtishadi, “Negara wajib menjamin kebutuhan pokok individu per individu, baik melalui pekerjaannya maupun melalui negara bila ia tidak mampu bekerja.”
Negara dalam Islam berperan untuk mengelola sektor-sektor strategis seperti energi, tambang, air, dan tanah sebagai kepemilikan umum, bukan diswastakan. Dari sinilah lapangan kerja diciptakan. Di sektor pertanian, negara akan mendistribusikan lahan produktif dan memberdayakan petani. Di sektor infrastruktur dan pendidikan, negara membuka proyek-proyek yang menyerap tenaga kerja. Semua dilakukan atas dasar tanggung jawab syar’i, bukan motivasi profit semata.
Job fair dalam sistem Islam bukan ritual tahunan, tapi bagian dari tanggung jawab negara yang sistemis dan terukur. Negara tidak akan membiarkan rakyat menganggur, karena pengangguran dalam Islam adalah masalah politik, bukan sekadar sosial. Dalam Islam negara wajib memberi pekerjaan bagi laki-laki yang mampu bekerja.
Sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem kapitalis yang gagal dan menjerumuskan manusia dalam ketidakpastian hidup. Solusi sejati bukan pada sekadar membuka lowongan kerja, tapi pada penerapan sistem Islam kaffah yang menjadikan negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Inilah fungsi negara yang hilang dalam sistem demokrasi sekuler saat ini.
Maka, umat harus segera sadari akar persoalan yang sedang kita hadapi. Jangan tertipu oleh euforia job fair, sementara sistemnya tetap rusak. Hanya dengan menegakkan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, umat Islam akan keluar dari krisis pengangguran dan kembali menjadi umat terbaik yang memimpin dunia dengan keadilan dan kesejahteraan. []
Oleh: La Ode Mahmud
Aktivis Dakwah