TintaSiyasi.id -- Menanggapi fenomena generasi zilenial (gen-Z) lebih memilih tidak melanjutkan studi karena mahalnya biaya kuliah, Praktisi Pendidikan Ageng Budiansyah menilai salah satu penyebabnya ialah liberalisasi pendidikan.
"Liberalisasi pendidikan menyebabkan perguruan tinggi, termasuk negeri, harus mencari pendanaan sendiri, yang sering kali dibebankan kepada mahasiswa dalam bentuk uang kuliah tunggal (UKT) yang tinggi," tuturnya kepada Tintasiyasi.id, Ahad, 31 Mei 2025.
Sebelumnya dikabarkan, Deloitte Global 2025 Gen Z and Millennial Survey menunjukkan hampir sepertiga (31 persen) Generasi Z atau Gen Z memilih tidak kuliah. Mayoritas alasannya (39 persen) karena tingginya biaya kuliah.
Selain liberalisasi pendidikan, Ageng juga menilai, meningkatnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia disebabkan karena alokasi dana pendidikan dari pemerintah belum sepenuhnya tepat sasaran, ditambah juga karena faktor inflasi.
"Inflasi dan peningkatan biaya operasional kampus, seperti gaji dosen dan pemeliharaan fasilitas, turut mendorong kenaikan biaya pendidikan," imbuhnya.
Ia melihat fenomena gen Z enggan kuliah ini sebagai cerminan dari dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks. Ia menambahkan, gen Z tumbuh dalam era digital dengan akses informasi yang luas, namun mereka juga menghadapi tantangan seperti biaya pendidikan yang tinggi dan ketidakpastian pasar kerja. Karena itu, ia memandang perlu adanya penyesuaian kurikulum.
"Banyak dari mereka merasa bahwa investasi waktu dan biaya untuk kuliah tidak sebanding dengan prospek kerja yang tersedia, terutama jika jurusan yang diambil tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini menunjukkan perlunya penyesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dengan realitas dunia kerja saat ini," ujarnya.
Lebih lanjut Ageng mengingatkan, makin banyak Gen Z tidak melanjutkan ke jenjang kuliah ini akan memberikan dampak yang signifikan bagi negara.
Bukan saja dapat membatasi peluang kerja dan pengembangan karier bagi individu itu sendiri, tetapi juga akan menghambat pemanfaatan demografi dan menjadi beban negara.
"Secara nasional, hal ini dapat menghambat pemanfaatan bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari non-produktif. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi ini bisa berubah menjadi beban, dengan meningkatnya angka pengangguran dan ketimpangan sosial," ungkapnya.
Karena itu, ia menilai perlu solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini. Pertama, tutur Ageng, pemerintah perlu meningkatkan alokasi dana pendidikan tinggi dan memastikan alokasinya tepat sasaran, sehingga biaya kuliah dapat ditekan.
Kedua, ia nilai perlu ada perluasan program beasiswa yang inklusif, tidak hanya bagi yang miskin atau berprestasi tinggi, tetapi juga bagi kalangan menengah ke bawah yang sering terabaikan.
Ketiga, menurutnya, mesti mengatur pendidikan dengan konsep Islam dan meninggalkan kapitalisasi pendidikan yang menyebabkan pemerintah makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya.
"Karena, Islam memandang, pendidikan adalah kebutuhan primer yang seharusnya bisa didapatkan oleh setiap warganya secara gratis. Maka sudah saatnya pendidikan diatur dengan konsep Islam," pungkasnya.[] Saptaningtyas