Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Arafah dan Luka Politik Umat

Rabu, 11 Juni 2025 | 09:12 WIB Last Updated 2025-06-11T02:13:02Z

TintaSiyasi.id -- Setiap tahun, jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah. Di sana, mereka berdiri dalam barisan yang sama, menghadap Tuhan yang sama, serta melantunkan doa dan kalimat yang sama. Tidak tampak bendera nasional maupun pengawalan presiden. Di Arafah, seluruh perbedaan sirna dalam kefanaan kain ihram dan kekhusyukan ibadah. Fenomena ini menjadi simbol kuat bahwa umat Islam sejatinya merupakan satu kesatuan.

Namun, pemandangan menakjubkan itu hanya bertahan sejenak. Setelah menunaikan ibadah haji, para jamaah kembali ke negara masing-masing, ke sistem politik masing-masing, dan ke dalam sekat nasionalisme yang terus memisahkan satu sama lain. Umat yang sebelumnya bertemu di Arafah kini kembali menjadi “warga negara” yang saling berjauhan, bahkan tak jarang saling mencurigai dan bermusuhan. Pada titik inilah, luka politik umat menganga lebar.

Padang Arafah memang memancarkan cahaya persatuan spiritual, tetapi disisi lain umat Islam tidak memiliki institusi politik tunggal yang menaungi mereka. Lebih dari lima puluh negeri Islam berdiri secara terpisah, masing-masing mengedepankan kepentingan nasional yang sempit. Palestina tetap terjajah, Suriah hancur tanpa pembela, dan Uighur terus menjerit. Pertanyaannya, siapa yang akan menyatukan suara politik umat dalam situasi seperti saat ini?

Ironi seperti ini dalam pandangan Islam bukan saja terletak pada semangat yang rendah, tetapi pada ketiadaan pemahaman mendalam terhadap fikrah (pemikiran) Islam dan thariqah (metode penerapannya). Institusi Khilafah yang dahulu menyatukan umat dalam satu kepemimpinan global Islam telah dihancurkan oleh penjajah pada tahun 1924. Sejak saat itu, umat kehilangan pelindung politiknya.

Lebih jauh, Islam bukan saja sekadar urusan kekuasaan, melainkan sistem pengaturan urusan umat yang berlandaskan syariat. Sistem ini tidak akan mungkin hidup dalam kerangka demokrasi sekuler ataupun nasionalisme sempit. Oleh karena itu, selama umat masih bergantung pada sistem buatan Barat, luka politik yang mereka derita tidak akan pernah sembuh.

Khilafah bukanlah mitos masa lalu. Ia merupakan keniscayaan syar’i yang telah dijanjikan oleh Rasulullah saw., dan satu-satunya sistem yang mampu mengakhiri keterpecahan umat. Khilafah adalah institusi yang akan menerapkan hukum Allah secara kaffah, menghapus batas-batas buatan kolonial, dan menyatukan umat dalam satu kepemimpinan global. Di bawah naungan Khilafah, persatuan yang tergambar dalam Arafah akan menjelma secara nyata dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, hingga pertahanan.

Sudah saatnya umat Islam berhenti mengagumi simbol semata dan mulai menuntut substansi. Persatuan tidak cukup diwujudkan hanya melalui keseragaman pakaian ihram di Arafah. Persatuan sejati harus diwujudkan dalam bentuk sistem politik yang benar. Dan sistem itu bukanlah demokrasi, melainkan Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. []


Oleh: La Ode Mahmud
Aktivis Dakwah

Opini

×
Berita Terbaru Update