TintaSiyasi.id -- Tambang nikel merupakan proses penambangan bijih nikel dari lapisan tanah atau batuan yang mengandung unsur nikel, baik melalui metode terbuka maupun bawah tanah, untuk mendukung industri metalurgi dan energi. Sementara itu, tambang batu bara adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi endapan batu bara yang berada di dalam perut bumi, juga menggunakan metode terbuka atau bawah tanah, yang umumnya dimanfaatkan sebagai sumber energi atau bahan baku industri.
Kedua jenis pertambangan ini sangat populer di Indonesia dan telah menjamur operasinya di berbagai daerah. Namun, ladang bisnis yang dibangun oleh para elite ini bukan semata-mata soal keuntungan finansial. Di baliknya, terdapat dampak negatif yang besar terhadap rakyat dan lingkungan. Tak jarang, dari satu praktik eksploitasi muncul berbagai bentuk kejahatan lain yang tak kalah memprihatinkan. Berikut beberapa kerusakan yang diciptakan oleh para oligark:
Pertama. Lingkungan jadi korban pertama.
Semua orang tahu, kalau sudah bicara tambang, pasti ada harga yang harus dibayar. Dan sayangnya, yang bayar bukan mereka—tapi rakyat dan alam. Begitu sebuah wilayah dapat izin tambang, bisa dipastikan ekosistemnya rusak. Tanah dan air terpapar logam berat, pepohonan ditebang, vegetasi alami hilang. Akibatnya? Banjir, longsor, dan ekosistem yang porak-poranda.
Contohnya nyata terjadi di Kalimantan Selatan. Di sana, banjir kiriman dari wilayah tambang batu bara melanda beberapa kecamatan seperti Lokpaikat dan Piani, bahkan merendam desa-desa seperti Bitahan Baru [1]. Semua ini karena tanah yang seharusnya menyerap air berubah jadi lahan tandus tak bernyawa.
Belum lagi soal lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja. Data dari Dinas ESDM Kalimantan Timur menunjukkan ada lebih dari 500 lubang menganga tanpa penanganan, mayoritas di Kutai Kartanegara dan Samarinda. Sejak 2011, lubang-lubang ini telah menelan setidaknya 40 korban jiwa, banyak di antaranya anak-anak [2]. Padahal aturan sudah jelas. Undang-undang mewajibkan perusahaan menutup lubang tambang paling lambat 30 hari setelah aktivitas berhenti. Tapi apa daya, mereka seolah kebal hukum.
Kedua. Lahan rakyat dikuasai secara sepihak.
Kebusukan lainnya adalah pengambil-alihan tanah rakyat secara paksa. Hal ini terjadi, misalnya, di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan. Di sana, Harita Group, lewat anak usahanya PT Trimegah Bangun Persada (TBP), menggusur kebun-kebun warga demi tambang dan smelter nikel [3]. Prosesnya brutal: gusur dulu, baru ajak negosiasi. Warga kehilangan lahan, dan tidak punya pilihan selain menyerah.
Ketiga. Aparat dan pejabat ikut bermain.
Agar proyek-proyek ini berjalan mulus, para pengusaha tak segan-segan menggandeng aparat dan pejabat. Salah satu contoh terang benderang adalah Harita Group yang menyumbang Rp 1 miliar ke Akademi Militer TNI [3]. Uangnya diserahkan langsung oleh mantan jenderal yang kini menjabat direktur perusahaan tambang mereka. Ada apa di balik “bantuan” ini? Publik tentu boleh curiga.
Keempat. Regulasi dibuat untuk mereka sendiri.
Tak cukup dengan aparat, mereka juga bermain di meja regulasi. Proyek-proyek yang bermasalah itu disulap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), label yang membuat semua izin dipercepat, lahan disediakan, dan aparat turun tangan langsung jika ada hambatan [4]. Bahkan, modus manipulatif lainnya adalah "mengubah" status tanah. Lahan yang tadinya milik warga tiba-tiba ditetapkan sebagai kawasan hutan, tanpa sepengetahuan warga.
Sebaliknya, hutan-hutan yang semestinya dilindungi justru dialihkan statusnya demi menambang lebih luas, seperti yang terjadi di Pulau Wawonii. Izin-izin pun dikeluarkan dengan mudah. Ada yang berlaku hingga 2028, ada juga sampai 2026 [3]. Semua demi memperluas tambang, dengan imbalan keuntungan besar di tangan para pemain lama.
Kelima. Tambang untuk ormas dan kampus?
Yang paling mencengangkan, mereka bahkan mulai menggandeng ormas keagamaan dan kampus untuk ikut dalam bisnis tambang. NU, misalnya, tertarik mengelola bekas lahan tambang milik Grup Bakrie di Kalimantan [5]. Di satu sisi, ini menguntungkan "mereka"—karena tanggung jawab atas dampak lingkungan, konflik sosial, hingga reklamasi, bisa dialihkan ke ormas tersebut.
Bahkan, DPR kini tengah menggagas agar perguruan tinggi diberi izin tambang [6]. Katanya untuk pendanaan, tapi banyak pihak menilai ini adalah blunder besar: bagaimana mungkin institusi moral dan intelektual dibajak untuk merawat kerusakan? Kalau ini dibiarkan, bukan cuma hutan dan tanah yang hilang, tapi juga integritas moral bangsa ini. Agama akan dijadikan tameng pembenaran, dan ilmu pengetahuan akan dipakai untuk menjustifikasi kehancuran. Na’udzubillah.
Islam Punya Jawaban
Setelah melihat betapa parahnya kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah segelintir elit yang haus kuasa dan untung, pertanyaannya: Apa solusi terbaik? Apakah cukup dengan demo? Atau sekadar berharap pada perubahan kebijakan? Islam, sebagai agama sekaligus sistem hidup yang paripurna, ternyata punya tawaran solusi yang jauh lebih komprehensif dan menyentuh akar masalah.
Pertama. Kembalikan sumber daya ke negara demi rakyat.
Islam dengan tegas mengajarkan bahwa segala hal yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti air, tanah, dan energi, bukan untuk dimonopoli oleh individu atau korporasi [7]. Ini tertuang dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Maksudnya? Aset-aset vital ini harus dikelola oleh negara, tapi untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya kelompok tertentu. Dalam sistem Islam, negara bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik. Keuntungannya bukan masuk ke kantong pejabat, tapi dialirkan kembali dalam bentuk pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan jaminan kebutuhan pokok. Jadi, kalau tambang, energi, dan sumber daya alam dikuasai swasta seperti sekarang, itu jelas bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
Kedua. Tanah terbengkalai harus dimanfaatkan.
Islam juga punya pandangan unik soal tanah. Tanah yang ditelantarkan selama lebih dari tiga tahun oleh pemiliknya, baik individu maupun korporasi, boleh diambil alih oleh negara dan diberikan kepada rakyat yang mau dan mampu mengelolanya [8-9]. Ini berlaku juga untuk tanah negara yang tidak digunakan—siapa pun boleh memilikinya, asal dipakai untuk produktivitas, bukan disimpan lalu dijual saat harga naik.
Aturan ini ternyata bukan cuma teori. Vietnam, misalnya, menerapkan kebijakan mirip saat krisis. Pemerintah membagikan tanah ke petani, dan boom! Dalam waktu singkat, ekonomi mereka bangkit, kemiskinan turun drastis [10]. Islam sudah mengajarkan itu sejak berabad-abad lalu. Bahkan, lahan-lahan bekas sawit yang tak lagi produktif bisa dimanfaatkan kembali tanpa harus menebang hutan. Ini langkah konkret yang ramah lingkungan sekaligus memberdayakan.
Ketiga. Bangun energi sesuai karakter daerah.
Islam menghargai ilmu dan akal sehat. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
Artinya, kebijakan publik, termasuk pembangunan energi, harus mempertimbangkan saran para ahli, bukan pesanan investor. Misalnya, daerah seperti Bima dan Sumba punya potensi energi matahari dan angin yang luar biasa [11-13]. Tapi apa yang terjadi? Pemerintah malah membangun pembangkit listrik berbasis BBM dan menyewa kapal pembangkit dari luar negeri. Mahal dan tidak ramah lingkungan. Kalau mengikuti ajaran Islam, tentu yang dikembangkan adalah pembangkit listrik yang sesuai dengan potensi lokal dan rendah emisi: tenaga surya, bayu, air, atau panas bumi. Bukan malah ngotot pakai batu bara yang kotor dan mahal.
Keempat. Proyek wajib ramah lingkungan.
Islam juga sangat peduli terhadap kelestarian alam. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (TQS. Al-A’raf: 56)
Prinsip ini jadi fondasi penting dalam pembangunan ala Islam: setiap proyek harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Jadi, PLTU dan PLTMG yang menghasilkan emisi tinggi tentu tidak akan jadi pilihan utama dalam sistem Islam. Sebaliknya, pembangkit-pembangkit bersih seperti energi air, panas bumi, matahari, angin, dan bahkan nuklir (dengan kontrol yang ketat) lebih diutamakan [14]. Karena dalam Islam, pembangunan bukan hanya soal ekonomi hari ini, tapi juga menjaga bumi untuk generasi yang akan datang.
Epilog: Saatnya Bangkit dan Melawan
Kalau kita perhatikan dengan jujur, yang mereka kejar sebenarnya bukan kemajuan negeri atau kesejahteraan rakyat. Yang mereka kejar adalah pertumbuhan angka-angka di layar neraca keuangan mereka sendiri. Mereka hanya peduli soal keuntungan—yang penting cuan naik, soal lingkungan rusak atau rakyat sengsara, itu urusan nanti.
Di balik jargon “pembangunan”, mereka menyembunyikan niat menumpuk kekayaan pribadi. Dan parahnya, mereka tak ragu menyeret ormas dan tokoh masyarakat untuk membela proyek-proyek yang sebenarnya merugikan rakyat kecil. Mereka juga tak segan membungkam suara-suara yang kritis. Yang menolak, dicap radikal. Yang bersuara, dibungkam. Bahkan, nyawa bisa melayang demi kelancaran bisnis mereka.
Mereka tahu betul, selama rakyat sibuk bertengkar soal politik identitas atau sibuk cari makan, mereka bebas menjarah sumber daya. Karena itulah, suara-suara kebenaran dibungkam. Organisasi seperti FPI, HTI, atau tokoh-tokoh pejuang keadilan dikriminalisasi. Padahal, mereka cuma berdiri di barisan terdepan untuk membela hak rakyat dan melawan kezaliman.
Tapi jangan salah. Kebenaran tak pernah bisa dimatikan. Semakin ditekan, semakin besar gelombangnya. Kini, saatnya kita membuka mata. Bahwa apa yang terjadi di negeri ini bukan sekadar salah urus, tapi hasil dari sistem yang memang dibangun untuk melayani segelintir orang.
Islam membawa pesan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman. Ia datang bukan hanya untuk memberi solusi spiritual, tapi juga membongkar ketidakadilan ekonomi dan politik. Maka, saat dunia makin rusak oleh keserakahan segelintir manusia, jalan yang harus kita ambil adalah kembali pada nilai-nilai Islam yang adil, bersih, dan berpihak kepada umat.
Semoga kesadaran ini terus tumbuh. Dan semoga kita punya keberanian untuk tak hanya melihat, tapi juga melawan. []
Oleh: Nahzim Rahmat
(Founder Z-IDEAS)
Referensi:
Mahdani. 2023. “Banjir dari Area Tambang Batubara Masih Ancam Keselamatan Warga”. https://kalsel.antaranews.com/berita/363273/banjir-dari-area-tambang-batubara-masih-ancam-keselamatan-warga. Diakses pada 24 Januari 2025.
CNN Indonesia. 5 Februari 2022. “Lubang Bekas Tambang Kaltim: 40 Tewas sejak 2011, Didominasi Anak”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220204192046-12-755269/lubang-bekas-tambang-kaltim-40-tewas-sejak-2011-didominasi-anak. Diakses pada 24 Januari 2025.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). 2023. Laporan JATAM 2023: Jalan Kotor Kendaraan Listrik: Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group.
Wibawana, W.A. 2024. “Apa Itu Proyek Strategis Nasional (PSN)? Simak Penjelasannya”. https://news.detik.com/berita/d-7261975/apa-itu-proyek-strategis-nasional-psn-simak-penjelasannya. Diakses pada 25 Januari 2025.
Azhari, M.R. 2024. “Pemerintah Siapkan 6 Jatah Izin Tambang ke Ormas Keagamaan: NU Kantongi Bekas Lahan Grup Bakrie”. https://www.tempo.co/arsip/pemerintah-siapkan-6-jatah-izin-tambang-ke-ormas-keagamaan-nu-kantongi-bekas-lahan-grup-bakrie-50314. Diakses pada 25 Januari 2025.
Aswara, D. 2025. “Indonesian Climate Justice Nilai Pemberian Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi Sebagai Bentuk Sesat Pikir”. https://www.tempo.co/ekonomi/indonesian-climate-justice-nilai-pemberian-konsesi-tambang-untuk-perguruan-tinggi-sebagai-bentuk-sesat-pikir-1198019. Diakses pada 26 Januari 2025.
Abdurrahman, Y. (2018, 27 Juli 19 Agustus). Manusia Berserikat dalam Padang Rumput, Air dan Api. Tabloid Media Umat Edisi 223, halaman 30.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 2021. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam
An-Nabhani, Taqiyuddin, 2021. Daulah Islam. Cetakan ke-27. Jakarta: Pustaka Fikrul Islam
L
Dinh, Quan Xuan. (2000). The Political Economy of Vietnam’s Transformation Process. Journal Storage, 22 (2), 360-388.
BMKG Bima. 2015. “Curah Hujan dan Rata-rata Penyinaran Matahari Dirinci Perbulan Tahun 2015”. https://bimakab.bps.go.id/id/statistics-table/1/MzQjMQ==/curah-hujan-dan-rata-rata-penyinaran-matahari-dirinci-perbulan-tahun-2012.html. Diakses pada 26 Januari 2025.
Kereush, D., & Perovych, I., (2017). Determining Criteria for Optimal Site Selection for Solar Power Plants. Geomatics Landmanagement and Landscape, 4, 39-54.
Agustinus, Michael. 2017. “Pulau Sumba Punya Potensi Energi Angin, Tapi PLN Malah Pakai BBM”. https://kumparan.com/michael-agustinus/pulau-sumba-punya-potensi-energi-angin-tapi-pln-malah-pakai-bbm/full. Diakses pada 22 Januari 2025.
Dwijayanto, A.P., 2017. Kenapa Energi Nuklir. Yogyakarta: My Booklet Press.