Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Potret Buram Pendidikan, Bukti Gagalnya Sistem Pendidikan Kita

Minggu, 18 Mei 2025 | 17:30 WIB Last Updated 2025-05-18T10:30:58Z

TintaSiyasi.id -- Pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang kuat, aktif, produktif, serta memiliki kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang didukung oleh kolaborasi dengan industri dan bakat dari seluruh dunia. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah.

Ada berbagai isu, mulai dari ketidakmerataan akses di wilayah-wilayah terpencil, fasilitas yang tidak memadai, hingga rendahnya tingkat partisipasi di jenjang menengah atas dan pendidikan tinggi. Selain itu, terdapat tantangan dalam distribusi guru yang ideal dan menyeluruh, yang pada akhirnya mempengaruhi beban kerja guru yang bervariasi di setiap daerah.

Pada tahun 2024, angka siswa yang tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat SD adalah 0,11 persen, yang berarti ada satu dari 1.000 orang yang tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat SD. Persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan angka putus sekolah di tingkat SMP dan SMA/SMK. Di tingkat SMP, persentasenya mencapai 0,82 persen, yang berarti dari 1.000 orang yang bersekolah di SMP, delapan di antaranya tidak menyelesaikan pendidikan. Sementara itu, angka putus sekolah di tingkat SMA/SMK adalah 1,02 persen, atau ada 10 dari 1.000 orang yang mengikuti pendidikan di tingkat SMA/SMK yang tidak menyelesaikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula angka putus sekolah (Hypeabis.id 11/05/ 2025)

Untuk menyediakan pendidikan yang setara, pemerintah melaksanakan berbagai program dukungan, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk kuliah, peningkatan akses ke perguruan tinggi negeri, bantuan sosial, penguatan pendidikan vokasi, sekolah tanpa biaya, sekolah rakyat, dan lain-lain. Namun, upaya tersebut belum mampu mengatasi perbedaan dan ketidakadilan pendidikan di negara ini. Terdapat banyak faktor yang berkontribusi pada terjadinya kondisi tersebut, yaitu:

Pertama, terbatasnya akses terhadap pendidikan disebabkan oleh keadaan ekonomi. Tak dapat dipungkiri, kemiskinan menjadi salah satu penghambat bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Beberapa individu menghentikan pendidikan mereka karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang semakin meningkat. Ada juga yang memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena ingin membantu orang tua memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun ada sekolah negeri yang gratis, belum tentu tidak ada biaya tambahan lain yang perlu dipenuhi oleh para siswa.

Kedua, kurangnya akses pendidikan disebabkan oleh fasilitas publik yang tidak memadai. Situasi ini umumnya dialami oleh banyak orang yang tinggal di daerah terpencil, terasing, dan tertinggal. Sarana publik yang sangat terbatas membuat masyarakat kesulitan untuk mencapai tempat pendidikan yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka. Kita sering mendengar tentang kisah menyedihkan anak-anak di wilayah pedalaman yang harus melewati jembatan tali dan arus sungai yang deras hanya untuk dapat bersekolah. Tak jarang mereka juga harus berjuang dengan kondisi jalan yang buruk dan kendaraan yang tidak layak agar bisa bersekolah. Kondisi dan tantangan yang sulit ini seringkali menjadi alasan bagi anak-anak untuk tidak melanjutkan pendidikan mereka.

Ketiga, terbatasnya akses terhadap pendidikan disebabkan oleh sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu mengumumkan rencana untuk merenovasi sekitar 10. 000 sekolah yang rusak di seluruh Indonesia. Menurut data BPS 2024, hampir 49% gedung sekolah dasar mengalami kerusakan. Banyak berita pendidikan dari tahun ke tahun menyoroti kondisi sekolah yang rusak, atap yang bocor, serta ruang kelas dengan meja dan kursi yang jauh dari standar yang seharusnya. Ini baru membahas bangunan fisik dasar sekolah, belum termasuk fasilitas pendukung lainnya seperti laboratorium, akses internet, ruang komputer, dan lainnya. Dilansir dari PojokSatu id. 4 mei 2025.

Keterbatasan ini juga menjadi salah satu alasan mengapa siswa tidak melanjutkan pendidikan mereka. Sebagian yang sebelumnya ingin bersekolah, akan merasa hancur harapannya ketika melihat kondisi gedung sekolah yang sangat rusak, bahkan hampir roboh. Ada pula siswa yang terpaksa belajar di lapangan terbuka karena kerusakan gedung sekolah yang belum juga diperbaiki oleh pemerintah setempat.

Berbagai masalah yang mendasari kesenjangan pendidikan saat ini tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan yang berbasiskan kapitalisme, yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, sehingga akses menuju pendidikan tergantung pada kondisi ekonomi. Tidak mengejutkan jika muncul pandangan bahwa pendidikan seperti barang mahal, orang-orang yang kurang mampu dilarang untuk sekolah.

Ketidaksetaraan dalam akses pendidikan ini telah menciptakan disparitas yang nyata. Sebagai contoh, jika seseorang menginginkan fasilitas yang baik dan memadai, mereka harus memilih untuk bersekolah di institusi dengan biaya tinggi. Sebaliknya, jika ingin mendapatkan akses ke pendidikan gratis, maka mereka harus siap menerima fasilitas yang tidak memadai.

Menurut undang-undang, setiap anak memiliki hak atas pendidikan. Namun, kenyataannya pendidikan hanya menjadi milik anak-anak yang berasal dari keluarga yang mampu. Kurikulum pendidikan yang dipengaruhi oleh kapitalisme fokus pada penciptaan tenaga kerja dengan biaya rendah. Dulu, Malaysia pernah mengimpor guru dari Indonesia karena kualitas mengajarnya yang sangat baik. Namun, saat ini, sebagian besar yang bekerja di Malaysia adalah pembantu rumah tangga.

Perbedaan ini memperlihatkan bahwa negara lain mampu berkembang, sedangkan Indonesia justru mengalami kemunduran. Selain itu, kebijakan penghematan anggaran mengabaikan pendidikan dengan tidak menjadikannya sebagai salah satu prioritas dalam APBN. Kondisi pendidikan menjadi semakin tidak menentu dengan tradisi “ganti menteri, ganti kurikulum” yang menunjukkan bahwa arah pendidikan di Indonesia selalu berubah tergantung pada siapa yang memimpin dan siapa yang diangkat sebagai menteri.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Selama sistem Islam diterapkan, tidak ada kesenjangan atau ketidakadilan dalam pendidikan.

Pendidikan merupakan hak fundamental untuk setiap anak. Pemerintah wajib memastikan bahwa hak ini diterapkan dengan baik di seluruh daerah. Selain itu, infrastruktur publik dan sarana pendukung pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara, sehingga perlu ada fasilitas yang cukup di setiap wilayah agar hak pendidikan anak-anak dapat terpenuhi secara optimal.

Itulah sebabnya negara Khilafah sangat menekankan pentingnya sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan dirasakan oleh setiap anak. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah kunci utama untuk menciptakan peradaban yang unggul. Sangat relevan jika kita melihat bahwa pada masa peradaban Islam, pencapaian pendidikan Islam sangat menonjol dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.

Negara khilafah menyediakan fasilitas pendidikan terbaik dengan berpegang pada prinsip-prinsip berikut:

Pertama-tama, tujuan dari pendidikan adalah untuk membangun karakter Islam (syakhshiyah Islamiah) dan melengkapinya dengan pengetahuan serta wawasan yang relevan dengan permasalahan hidup. Metode pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan ini. Setiap metode yang tidak fokus pada tujuan tersebut harus dihindari (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, hlm. 8).

Strategi pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk cara berpikir dan sikap yang selaras dengan ajaran Islam. Seluruh materi pelajaran yang akan diberikan disusun berdasar strategi ini. Dengan demikian, Islam menghasilkan generasi yang berkualitas baik dari segi kekuatan iman maupun kecerdasan akademis, yang berarti menggabungkan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum yang berlandaskan akidah Islam.

Kedua, seluruh dana untuk pendidikan di negara Khilafah bersumber dari baitulmal, yaitu dari kategori fai, kharaj, dan milkiyyah ‘amah. Semua pemasukan yang diperoleh oleh negara khilafah, baik yang berasal dari pos fai dan kharaj maupun dari milkiyyah ‘amah, dapat digunakan untuk mendanai pendidikan. Apabila dana dari dua sumber tersebut sudah mencukupi, maka negara tidak akan memungut biaya tambahan dari masyarakat.

Jika dana di baitulmal kosong atau tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan pendidikan yang mendesak, dan sumbangan dari umat Muslim juga tidak mencukupi, maka negara akan menetapkan pajak (dharibah) yang hanya akan diterapkan kepada umat Muslim yang mampu dan hanya untuk jumlah dana yang diperlukan.

Ketiga, pemerintah perlu memberikan pendidikan tanpa biaya dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi untuk seluruh masyarakat di negara khilafah. Islam tidak akan membiarkan kebodohan menyebar hanya karena isu biaya pendidikan. Oleh sebab itu, negara khilafah menyediakan pendidikan gratis sebagai upaya membuka akses seluas-luasnya bagi setiap warga agar dapat belajar sesuai minat mereka. Tidak mengherankan jika penerapan sistem pendidikan di khilafah yang berlangsung selama bertahun-tahun mampu melahirkan banyak ilmuwan dan cendekiawan yang ahli di berbagai disiplin ilmu.

Keempat, negara harus menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan fasilitas ilmu lainnya, selain gedung-gedung untuk sekolah dan universitas, agar memberi kesempatan bagi masyarakat yang ingin melakukan penelitian di berbagai bidang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, serta di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru sehingga muncul di tengah umat sekelompok besar mujtahid dan penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan” hlm 176).

Sepanjang masa pemerintahan khilafah, para pemimpin berlomba-lomba untuk mendirikan institusi pendidikan tinggi Islam dan berupaya melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Setiap institusi tinggi tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang cukup, seperti auditorium, gedung pertemuan, asrama bagi mahasiswa, perumahan bagi pengajar dan ulama, dan lain-lain. Selain itu, institusi ini juga menyediakan kamar mandi, dapur, ruang makan, bahkan area untuk bersantai.

Di antara institusi pendidikan tinggi yang pernah ada adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah yang berlokasi di Baghdad, Madrasah An-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah tersebut, yang paling unggul adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini kemudian menjadi acuan bagi wilayah lainnya di Irak, Khurasan (Iran), dan tempat lainnya.

Dengan demikian, khilafah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengelola pendidikan dengan melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan hak pendidikan setiap anak terlaksana, kenyamanan mereka saat belajar, dan kesejahteraan para pengajar. Semua itu dilakukan untuk menjamin bahwa sistem pendidikan Islam dapat berfungsi secara maksimal dalam menciptakan generasi yang taat, cerdas, dan memiliki ilmu yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup umat manusia. []


Oleh: Kanti Rahayu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

Opini

×
Berita Terbaru Update