Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pendidikan Generasi Adalah Hak Dasar dan Tanggung Jawab Negara

Sabtu, 31 Mei 2025 | 18:33 WIB Last Updated 2025-05-31T11:33:56Z

TintaSiyasi.id -- Persoalan pendidikan di negeri ini masih mengalami tantangan besar terutama terkait tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia. Tatang Muttaqin, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), mengatakan faktor ekonomi dan membantu orang tua mencari nafkah menjadi penyumbang terbesar tingginya angka anak tidak sekolah. Yakni sebanyak 25,55 persen disebabkan faktor ekonomi dan 21,64 persen disebabkan membantu orang tua mencari nafkah. 

Faktor penyebab lainnya adalah menikah, merasa pendidikan sudah cukup, disabilitas, akses yang jauh, perundungan dan faktor lainnya. Selain itu, Tatang juga mengatakan kesenjangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih cukup besar meskipun berbagai intervensi seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah disalurkan. (tirto.id, 19 Mei 2025)

Sungguh ironi, tingginya angka anak tidak sekolah dan adanya kesenjangan sosial antara rakyat miskin dan kaya menunjukkan bahwa negara gagal dalam menjamin pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Adapun intervensi pemerintah dibidang pendidikan berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi keluarga miskin hanya menjadi bantalan ekonomi keluarga yang tidak menghilangkan akar masalah kemiskinan dan ketimpangan pendidikan. 

Faktor penyebab terbanyak tingginya anak tidak sekolah yakni ekonomi dan mencari nafkah merupakan bukti pendidikan sebagai komoditas mahal yang tidak bisa diakses oleh seluruh rakyat, padahal pendidikan adalah hak seluruh warga negara baik miskin maupun kaya. 

Pendidikan hari ini seperti barang mahal yang tidak bisa didapatkan oleh seluruh rakyat, padahal negeri ini kaya akan sumber daya alamnya tetapi tidak sejalan dengan kondisi rakyatnya. Penyebab mahalnya pendidikan dan kesenjangan sosial yang terjadi hari ini karena penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang memisahkan peran agama dengan kehidupan. Pendidikan dalam sistem sekuler kapitalis cenderung dijadikan seperti barang komoditas yang diperdagangkan untuk meraih materi. Selain itu, dalam sistem kapitalisme harta kepemilikan umum diberikan pengelolaannya kepada swasta yang sejatinya itu adalah harta milik rakyat. Sehingga, pendidikan yang berkualitas tidak bisa diakses oleh seluruh rakyat.

Maka dari itu, untuk menutupi kegagalan intervensi ala sistem kapitalisme sekuler, pemerintahan Prabowo Subianto menggagas Sekolah Rakyat untuk anak orang miskin (kurang mampu) dan Sekolah Garuda Unggul untuk anak orang kaya (mampu) sebagai jalan tengah yang bersifat akomodatif. 

Program-program kebijakan ini dinarasikan rezim sebagai upaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, program ini sejatinya hanyalah program populis yang tidak menyelesaikan akar masalah dan hanya sekedar tambal sulam dalam sistem kapitalisme. 

Adanya program ini tentu akan memunculkan persoalan baru yakni adanya kotak pemisah antara sekolah untuk kaum Borjuis dan sekolah untuk rakyat jelata. Tentu hal ini akan menimbulkan pemisahan kelas di masyarakat dan mempertajam kesenjangan pendidikan, sehingga akan menjauhkan jarak antara si miskin dengan si kaya. 


Sistem Pendidikan Islam

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yakni khilafah Islamiyah yang memandang bahwa pendidikan adalah hak dasar bagi seluruh rakyat, Muslim atau non Muslim, kaya atau miskin. Bahkan, hak-hak syar’i warga negara sebagaimana kesehatan dan keamanan yang dijamin oleh negara. Negara secara langsung bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan dasar publik. Negara sebagai penyelenggara sekaligus memenuhi pembiayaan dari Baitul Mal. Tidak ada dikotomi akses pendidikan bagi anak orang kurang mampu dan anak orang kaya, baik di kota maupun di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Artinya negara khilafah akan memastikan seluruh rakyatnya bisa mengakses pendidikan berkualitas. 

Islam memandang pendidikan adalah pilar pencetak generasi cemerlang untuk membangun peradaban mulia. Negara khilafah akan memberikan layanan terbaik agar seluruh rakyat bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensinya. Adapun pembiayaan pendidikan dalam negara khilafah diambil dari pos pemasukan negara dari harta Fa’i, kharaj dan harta kepemilikan umum. Selama pembiayaan dari kas negara mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan dari rakyat. 

Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara akan memobilisasi sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan juga tidak mencukupi maka kewajiban pembiayaan untuk pos pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim yang kaya saja sebagai pungutan wajib (dharibah/pajak) yang dipungut secara temporal. 

Dengan mekanisme pembiayaan seperti ini memungkinkan untuk terwujudnya pendidikan unggul dan berkualitas tanpa kekurangan dana. Perbedaan Kelas sosial antara si miskin dan si kaya secara alami akan menghilang ketika diterapkannya sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. 

Sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam akan melahirkan individu-individu yang memiliki cara pandang pada kehidupan akhirat, bukan sosok yang materialistis. Pendidikan Islam diselenggarakan untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam yakni yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam.  

Para siswa difasilitasi untuk menguasai ilmu terapan serta dipersiapkan untuk mengagungkan peradaban Islam dan siap berdakwah dan berjihad ke seluruh penjuru dunia. Pendidikan Islam justru akan menjadi mercusuar dunia, kiblat masyarakat internasional. Generasi Muslim akan hadir sebagai penjaga dan pembentuk peradaban Islam yang mulia. []


Oleh: Aqila Deviana, Amd.Keb.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update