"Ini menunjukkan kegagalan
hukum dalam mencegah bahwa LGBT, misalnya sampai saat ini tidak pernah disebut
sebagai suatu kejahatan. Jangankan kejahatan, penyimpangan pun tidak,” ucapnya
di kanal YouTube UIY Official; Indonesia Darurat Kekerasan Seksual,
Ahad (04/05/2025).
Alhasil, ia menilai dengan tidak
tegasnya hukum terhadap LGBT mengakibatkan istilah lumrahisasi semakin
meningkat. “Terlebih terhadap kasus kekerasan seksual yang tampak jelas hanya
dihukum pidana ringan, kemudian juga mendapatkan remisi,” sesalnya.
"Sama halnya ketika orang
juga melihat pemerkosa hanya dihukum sekian tahun, lalu mendapatkan remisi dan
kemudian bebas. Jadi orang melihat seperti tidak ada risiko yang harus
ditanggung oleh kekerasan seksual yang dia lakukan itu. Itu akan membuat
lumrahisasi akan semakin meningkat," jelasnya.
Adapun, ia memandang korban
kekerasan seksual kini tidak hanya terjadi pada perempuan melainkan juga
laki-laki. Tampak beberapa anak laki-laki lebih banyak menjadi korban daripada
anak perempuan di dalam pesantren.
"Mereka yang mestinya itu
tidak melakukan (kekerasan seksual) karena dia dianggap sebagai orang yang
mengerti betul makna dari takwa. Di dalam ketakwaan itu para ustaz, kiai, dan
sebagainya, termasuk ada juga pendeta," ungkapnya.
UIY menjelaskan apabila
diterapkan pendidikan seksual untuk anak-anak maka yang terpenting yakni
menyangkut aturan bagaimana kehidupan ini harus diatur.
"Bagaimana naluri untuk
tertarik kepada lawan jenis untuk memenuhi hasrat seksualnya disalurkan dengan
benar. Dengan benar itu tidak berarti dengan lawan jenis itu benar, bisa salah.
Apalagi dengan sesama jenis tidak pernah ada yang benar itu kalau seperti itu.
Lawan jenis masih bisa benar masih bisa salah," terangnya.
"Jadi ini (kekerasan
seksual) terjadi karena rapuhnya ketakwaan atau kontrol diri, puasa yang begitu
rupa mestinya berpengaruh, kan? Tetapi ini negeri mayoritas Muslim yang puasa
sudah puluhan tahun tapi penyimpangan tetap bisa dilakukan," pungkasnya.[]
Taufan