TintaSiyasi.id --Pada 25 Januari 2025, Trump mengusulkan agar warga Gaza dipindahkan ke Mesir dan Yordania. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan rencana untuk mengambil alih Jalur Gaza. Trump mengklaim bahwa warga Gaza seharusnya tidak ingin kembali ke Gaza dan memilih untuk tinggal di tempat lain yang lebih aman dan indah. Namun, klaim tersebut dikecam sebagai upaya untuk memaksa relokasi warga Palestina ke negara lain yang dianggap tidak sah.
Tentu saja usulan tersebut ditolak tegas oleh kedua negara tetangga Palestina itu. Hamas, kelompok perlawanan Palestina yang memerintah Gaza, juga mengecam usulan tersebut, dengan menyebutnya sebagai "keterlibatan AS dalam kejahatan" yang dilakukan oleh Israel.
Dengan kondisi yang semakin kompleks dan rencana yang tidak sah seperti ini, Indonesia terus menyerukan kepada dunia internasional untuk lebih tegas dalam mendukung hak rakyat Palestina dan menegakkan solusi yang adil bagi kedua pihak. Indonesia meyakini bahwa hanya dengan menghormati hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri, perdamaian yang sejati dan berkelanjutan di kawasan Timur Tengah dapat tercapai.(Indonesia.go.id, 6/4/2025)
Dilansir dari kompas.com (13/4/2025) Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa juga mengecam rencana pemindahan paksa warga Palestina sebagai "aib kemanusiaan" dan "ujian" bagi dunia Arab. Hampir semua penguasa di negeri Muslim menolak rencana relokasi warga Palestina melalui juru bicara masing-masing, seperti Menteri Luar Negeri Turkiye Hakan Fidan, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi,
Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Dbeibeh dan Menteri Luar Negeri Somalia Ahmed Moalim Fiqi dan Kementrian Luar Negeri Indonesia.
Bahkan di negara Eropa yang notabene non Muslim juga menolak usulan Trump, diantaranya Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, Kementerian Luar Negeri Perancis, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares, Wakil Menteri Luar Negeri Polandia Andrzej Szejna, Menteri Luar Negeri Slovenia Tanja Fajon, Menteri Utama Skotlandia Jhon Swinney dan Kementrian Luar Negeri Belgia karena merupakan pelanggaran berat hukum humaniter internasional.
Wajib dipahami bahwa persoalan Palestina bukan semata-mata persoalan kemanusiaan, bukan sekedar soal korban luka, yatim piatu atau mereka yang mengalami trauma. Masalah Palestina adalah masalah penjajahan dan pendudukan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Ini adalah persoalan ideologis dan agama yang seharusnya dipahami secara utuh oleh umat Islam dan para pemimpin di negeri-negeri Muslim.
Dengan menjadikan solusi kemanusiaan sebagai pendekatan utama, seperti evakuasi dan penampungan sementara, para penguasa negeri-negeri Muslim justru terkesan menjauh dari solusi hakiki yang telah ditunjukkan oleh syariat, yakni dengan mengirimkan tentaranya untuk bisa berjihad fisabilillah demi membebaskan tanah suci Palestina.
Solusi semacam ini tidak menyentuh akar persoalan. Langkah-langkah seperti ini seringkali justru mengikuti narasi dan kepentingan Barat terutama Amerika Serikat yang sejak awal diketahui sebagai pendukung utama entitas zionis. Dengan mengalihkan perhatian umat Islam dari perjuangan pembebasan ke isu kemanusiaan semata, maka AS semakin leluasa menjalankan agenda geopolitiknya di Timur Tengah. Penjajahan dan dukungan terbukanya terhadap genosida yang dilakukan zionis pun menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat internasional. Sebab, umat Islam sendiri telah digiring untuk melihat persoalan ini dari kacamata kemanusiaan yang sempit bukan sebagai bentuk penjajahan yang wajib dilawan dengan jihad.
Solusi ini juga terkesan melegalkan zionis Isra3l merebut tanah suci milik kaum Muslim. Pada akhirnya, solusi-solusi yang diambil oleh para penguasa negeri Muslim saat ini lebih mencermin kan upaya untuk menjaga hubungan baik dengan tuan mereka di barat ketimbang menunjukkan keberpihakan sejati terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina.
Kenyataan ini seharusnya menjadi renungan umat Islam bahwa persoalan Palestina tidak bisa diserahkan pada para penguasa negeri Islam yang sudah kehilangan muruahnya. Apalagi kepada lembaga-lembaga internasional yang kelahirannya dibidani AS. Umat Islam butuh kepemimpinan politik adidaya yang hanya berkhidmat untuk kemaslahatan rakyatnya dan kemuliaan Islam, yaitu Daulah Khilafah.
Khilafah tidak akan pernah menerima solusi _two state nation_ yang ditawarkan Barat. Bahkan khilafah tidak akan membiarkan sejengkal pun tanah Palestina dikuasai oleh zionis Isra3l.
Khilafah akan memobilisasi kekuatan umat Islam dunia di bawah komandonya yang akan menyatukan miliaran umat Islam di berbagai belahan dunia berdasarkan kesatuan akidah dan syariatnya. Khilafah pula yang akan memimpin pembebasan Palestina dengan mengerahkan tentara jihad beserta segala daya kekuatan yang dimilikinya. Khilafah yang akan datang kelak, dipastikan akan menghadirkan Khaibar kedua di Palestina
Kabar kehadiran khilafah pada akhir zaman ini begitu menakutkan negara-negara penjajah. Ia bagaikan kabar buruk yang mengancam hegemoni mereka, hingga mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menghalangi penegakannya.
“Tidak akan terjadi kiamat sampai kaum Muslimin memerangi Yahudi. Maka orang-orang Muslim membunuh mereka sampai orang-orang Yahudi itu bersembunyi di balik batu dan pohon. Lalu pohon dan batu berkata, ‘Wahai orang Muslim, wahai hamba Allah, ini Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah’. (Pohon-pohon berbicara), kecuali pohon ghorqod, karena ia pohon Yahudi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Umat Butuh Institusi Khilafah
Tentu saja butuh keimanan dan tenaga ekstra dalam perjuangan menegakkan institusi khilafah karena hal tersebut tidaklah mudah. Syarat utamanya adalah munculnya kesadaran yang sahih di tengah umat tentang hakikat Islam sebagai ideologi yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan.
Umat wajib dipahamkan bahwa seluruh krisis yang terjadi di dunia, khususnya dunia Islam, termasuk penjajahan zionis Isra3l di bumi Palestina, adalah akibat diterapkannya ideologi kapitalisme yang diemban negara Barat, yaitu Amerika dan sekutunya.
Mereka bertujuan melemahkan kepemimpinan umat Islam dengan menciptakan krisis berkepanjangan di negeri-negeri Islam, mengadu domba dan memecah belah kekuatan mereka melalui paham nasionalisme.
Melalui sistem liberalisasi ekonomi mereka bisa mengambil berbagai sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat menjadi milik mereka. Dengan begitu, mereka bisa mengangkangi kedaulatan negeri-negeri Muslim.
Oleh karenanya, urgensi mengembalikan khilafah yang akan menegakkan syariat secara kaffah tidak bisa lagi ditunda-tunda. Untuk itu, dibutuhkan peran partai politik ideologis yang istiqamah berjuang dengan ikhlas lillahi Ta'ala di tengah umat. Mereka fokus berdakwah untuk menancapkan pemikiran-pemikiran Islam dalam diri umat dan mencabut segala pemikiran Barat, seperti sekularisme, kapitalisme dan komunisme.
Kader-kader pengemban dakwahnya akan bergerak sesuai dengan metode yang telah dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu fokus mendakwahkan pemikiran-pemikiran Islam tanpa kekerasan.
Sungguh, masa depan Palestina dan dunia hanya ada pada Islam dan khilafah. Oleh karena itu, umat tidak punya pilihan lain selain terus menyuarakan pembelaan terhadap dan segera bergabung dengan partai Islam Ideologis. Mendukung dan berjuang bersama parpol ideologi Islam yang bekerja tak kenal lelah demi mewujudkan khilafah janji Allah bisyarah Rasulullah Saw.[]
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis