TintaSiyasi.id -- Kalimat hujatan hingga kritik menghujani pemerintah dan DPR seusai ”digerebek” masyarakat sipil saat rapat tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). Suasana serba mewah, mahal, dan elite dipandang bertolak belakang dengan upaya efisiensi anggaran yang diserukan Presiden Prabowo Subianto. Rapat tertutup ketika libur akhir pekan tersebut membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Sebelum hadir di tengah pembahasan revisi UU TNI, koalisi masyarakat sipil telah meminta pembahasan revisi di Fairmont dihentikan. Alasannya, pembahasan diam-diam, tertutup, dan digelar di hotel mewah janggal dilakukan di tengah kebijakan efisiensi anggaran.
Mengutip dari berbagai sumber informasi, terdapat beberapa jenis ruangan luas di Hotel Fairmont, antara lain Grand Ballroom, Jade Room, Emerald Room, Ruby Room, Diamond Room, Opal Room, dan Sapphire Room. Harganya cukup beragam tergantung dari luas, kapasitas, dan fasilitas. Setidaknya rentang harganya berkisar Rp.84 juta sampai Rp.125 juta belum termasuk minimum pembelian per orang. (kompas.id, 16/3/2025)
Dilansir dari tempo.co (16/3/2025), Ketua Divisi Hukum KontraS Andrie Yunus mempertanyakan alasan DPR dan pemerintah menggelar rapat di hotel secara tertutup. Karena menurutnya, selain bertolak belakang dengan kebijakan negara mengenai efisiensi, juga terkait dengan pasal dan subtansinya yang jauh dari upaya semangat menghapus dwifungsi militer.
Wajar saja jika rapat tertutup tersebut dihujani kecaman baik dari sisi tempat penyelenggaraan maupun dari sisi bahasan. Pasalnya, PHK telah terjadi di mana-mana, harga sembako semakin melambung tinggi menjelang lebaran, rakyat dipaksa berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi sebagian rakyat miskin, bekerja mencari Rp.10.000/hari itu sulit sekali. Ditambah maraknya kasus bunuh diri lantaran terlilit utang pinjol dan rakyat juga ngos-ngosan membayar pajak yang menjadi sumber pemasukan utama APBN. Lah kok seenaknya saja para pejabat menghabiskan anggaran tersebut untuk rapat tertutup di hotel mewah dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah, astaghfirullah.
Sangat jelas, jika dikatakan sikap tersebut telah menunjukkan rendahnya komitmen Pemerintah dan DPR pada persoalan umat. Selain itu, sikap pemerintah dan DPR ini justru memamerkan tindakan yang tidak sejalan dengan efisiensi yang dicanangkan pemerintah. Seharusnya mereka menolak saat mendapat undangan rapat di hotel mewah karena bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran, APBN yang tengah defisit hingga Rp31,2 triliun ditambah kondisi ekonomi rakyat yang sedang susah. Sungguh tidak punya empati jika mereka nurut saja saat diajak rapat di hotel mewah.
Seharusnya wakil rakyat berperan mengemban, memperjungkan dan menyuarakan aspirasi rakyat, bukan sekedar mewakili kesejahteraan rakyat saja hingga bebas berfoya-foya dengan gaya hidup mewah bersama para kroninya sedangkan yang diwakili (rakyat) dibiarkan hidup melarat.
Namun, peran tersebut dalam sistem kapitalis hanyalah mimpi di siang bolong. Pada akhirnya, semua ini berdampak pada kehidupan rakyat yang kian menderita, sedangkan penguasa, para wakil rakyat, dan para kroninya tetap saja leluasa hidup mewah. Demikianlah keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang berlaku hari ini.
Wakil Rakyat dalam Negara Daulah
Wakil Rakyat dalam sistem Islam (khilafah) disebut Majelis Umat yang beranggotakan wakil kaum Muslim untuk memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan ataupun nasihat mereka dalam berbagai urusan.
Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam) dan syura (musyawarah). Majelis Umat adalah pihak yang memiliki peran menjaga agar negara atau penguasa dan para pejabat mampu menjalankan amanahnya sebagai pengurus rakyat sesuai dengan syariat Islam.
Walaupun demikian, keberadaan Majelis Umat berbeda secara diametral dengan parlemen di dalam sistem demokrasi. Parlemen memiliki fungsi anggaran dan legislasi hukum (undang-undang) yang tidak seharusnya menjadi bagian dari tugas wakil rakyat. Sedangkan dalam Islam,
pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Swt. Manusia hanya berhak memutuskan semua perkara berdasarkan syariat termasuk perkara kenegaraan.
"Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu." (TQS. Al-Maidah: 48)
Mengenai anggaran, dalam Daulah Islam, penetapan anggaran dilakukan oleh struktur tersendiri, yaitu baitulmal. Baitul mal merupakan lembaga keuangan negara khilafah yang memiliki tiga pos, yaitu _pertama,_ pos kepemilikan negara yang bersumber dari _kharaj,_ _fai',_ _usyur,_ _ghanimah,_ _jizyah,_ _ghulul,_ dan sebagainya. _Kedua,_ pos kepemilikan umum yang bersumber dari semua hasil pengelolaan sumber daya alam. _Ketiga,_ pos zakat yang bersumber dari harta zakat fitrah, zakat _maal,_ shadaqah, infaq, wakaf, hibah kaum Muslim.
Sedangkan legislasi hukum bukan dalam konteks membuat hukum, melainkan _tabani_ (mengadopsi) hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah oleh khalifah. Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw. yang sering meminta pendapat (bermusyawarah) dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Ansar yang mewakili kaum mereka, di antaranya, yaitu Abu Bakar Ash-Siddiq, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah.
Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukan karena mereka merupakan wakil-wakil masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Wakil dipilih oleh _muwakil,_ yaitu orang yang mewakilkan. Seorang wakil tidak boleh dipaksakan kepada _muwakil_ sama sekali. Disamping itu, Majelis Umat adalah representasi masyarakat, baik individu-individu maupun kelompok-kelompok, dalam menyampaikan pendapat.
Rasulullah Saw. tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan asas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka. Namun, beliau memilih mereka berdasarkan dua asas. _Pertama,_ mereka adalah para pemimpin kelompok mereka, tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. _Kedua,_ mereka adalah representasi dari kaum Muhajirin dan Ansar.
Adapun Non muslim yang menjadi warga negara khilafah diperbolehkan menjadi anggota Majelis Umat dalam rangka mengemukakan pengaduan akan kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, pun dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan yang sejenisnya.
Oleh karena itu, jika kita pahami realitas para anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam, sungguh fungsinya secara struktural sangat berbeda dengan parlemen dalam sistem demokrasi. Karena motivasi para anggota Majelis Umat untuk mewakili rakyat adalah dalam upaya untuk riayatusy syuunil ummah, yaitu mengurusi urusan umat. Demikian halnya motivasi untuk muhasabah lil hukam atau mengoreksi penguasa landasannya adalah amar makruf nahi mungkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dalam konteks pelaksanaan dan penerapan syariat kaffah, bukan demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya agar bisa berfoya-foya serta hidup mewah seperti wakil rakyat dalam sistem demokrasi. []
Nabila Zidane, Jurnalis