TintaSiyasi.id -- Setelah adanya dugaan praktik Pertamax 'oplosan' yang membuat heboh publik, kini produk minyak goreng kemasan MinyaKita tengah menjadi sorotan lantaran dugaan kecurangan pada takaran minyak goreng dalam kemasan yang tidak sesuai takaran pada label kemasan.
Temuan kecurangan takaran MinyaKita dikuatkan dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa dirinya melakukan keliling dan sidak untuk melihat langsung kondisi pasar. Saat sidak, selain menemukan bahwa isi kemasan MinyaKita tidak sesuai dengan yang tertera di label, yakni hanya berisi 750 hingga 800 mililiter, ia juga menemukan MinyaKita dijual dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang seharusnya Rp15.700 per liter, namun dijual seharga Rp18.000.(bisnis.com, 10/3/2025)
Korupsi seolah sudah menjadi tradisi di negeri ini. Mereka yang memiliki wewenang kenegaraan dan mengelola uang rakyat selalu mencari celah dalam setiap kesempatan. Padahal, posisi Direktur Utama di anak usaha Pertamina sudah mendapatkan gaji fantastik, yaitu mencapai Rp 1,816 miliar/bulan dan ditambah berbagai fasilitas dari negara yang juga tidak main-main, seperti kendaraan dinas, asuransi kesehatan, serta bantuan hukum jika diperlukan dalam kapasitas jabatan. Belum lagi tunjangan hari raya (THR), tunjangan perumahan dan asuransi purna jabatan masih saja melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp.193.7 triliun, astgahfirullah.
Sungguh memprihatinkan, di tengah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Para pejabat negara ataupun penguasa justru memperkaya diri dengan mencuri uang rakyat melalui pertamax oplosan ataupun mencurangi isi kemasan dari minyak goreng. Dua komoditas yang sangat dibutuhkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan rakyat sehari-hari.
Inilah gambaran pejabat dan pengusaha yang tidak amanah dan tidak memiliki rasa empati kepada rakyat. Banyaknya pejabat yang tidak amanah hingga melakukan tindak pidana korupsi secara berjamaah membuktikan bahwa korupsi sudah pada level sistemik, bukan lagi pada kesalahan personalia semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi sistem hari ini sangat terbuka peluang melakukan kecurangan di berbagai level, mulai dari level desa hingga pejabat tinggi negara. Tidak ada satu lembaga negara pun yang lolos dari kasus korupsi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka sama-sama saling tau, saling tersandera dan saling menutupi kebusukan satu sama lain
Bahkan korupsi seolah sudah menjadi tradisi. Dilansir dari tintasiyasi.id (6/3/2025) Ekonom Forum Analisis Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan temuan korupsi di Pertamina tidak lepas dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan hampir semua laporan keuangan dari pemeriksaan BPK penuh dengan indikasi korupsi.
Penerapan sistem politik demokrasi yang sarat dengan biaya mahal saat Pemilu telah mendorong para pejabat terpilih untuk mengembalikan modal Pemilu tersebut dan korupsi adalah cara termudah. Alhasil, praktik jual beli jabatan, proyek, hingga suara seolah hal yang biasa terjadi.
Beginilah realitas hukum sekuler yang tidak berpijak pada halal dan haram. Penentuan sebuah kejahatan bukan berdasarkan benar ataupun salah, tetapi berdasarkan hitung-hitungan materi. Sistem sanksi yang diterapkan dalam demokrasi kapitalisme juga terbukti tidak mampu menjerakan pelaku. Buktinya tindak pidana korupsi terus berulang bahkan semakin bertambah setiap tahun bukan hanya jumlah pelakunya akan tetapi juga jumlah nominal rupiahnya. Seolah sudah tidak level korupsi milyaran lagi, tapi sudah level triliunan.
Begitulah, lemahnya keimanan dan ditambah minimnya pemahaman Islam lantaran sistem pendidikan sekuler telah sukses melahirkan manusia-manusia serakah yang bebas melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok dengan menghalalkan segala cara, nauzubillahi minzalik.
Mekanisme Islam Mencetak Generasi Unggul Anti Korupsi
Sangat berbeda dengan penerapan aturan Islam secara sempurna di bawah institusi Khilafah Islamiah. Adanya prinsip tiga pilar, yaitu individu, masyarakat dan negara dalam sistem Islam menjadikan setiap individu taat pada syariat Allah Swt. dan senantiasa menjauhi maksiat.
Melalui sistem pendidikan Islam yang diterapkan, khilafah berupaya untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap Islam. Pendidikan dalam Islam menggabungkan antara keimanan dengan ilmu kehidupan sehingga berefek besar dalam setiap amal perbuatan siswa.
Dalam Islam, pendidikan bisa disebut juga sebagai proses manusia menuju kesempurnaan sebagai hamba Allah Swt. Islam memiliki sosok Rasulullah Muhammad Saw. sebagai teladan bagi seluruh siswa.
Allah Swt. berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri teladan yang baik.” (QS Al-Ahzab: 21).
Keberadaan sosok teladan inilah yang menjadi salah satu keistimewaan sistem pendidikan Islam yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan yang lain. Oleh Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam, akidah Islam harus menjadi dasar pemikirannya. Karena tujuan utama dari sistem ini adalah membentuk generasi yang berkepribadian Islam, selain menguasai ilmu-ilmu kehidupan, seperti matematika, sains, teknologi dan lain-lain.
Dengan kurikulum yang berasaskan akidah Islam akan lahir generasi yang berakhlak mulia, memiliki kecerdasan akal yang tinggi serta kuat imannya. Didukung dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam, sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa merasakan hak pendidikan secara gratis. Hasil dari lahirnya individu-individu bertakwa inilah, maka tercipta masyarakat yang bertakwa pula yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam. Sedangkan negara akan menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Alhasil, korupsi dapat dicegah atau bahkan diberantas dengan tuntas.
Oleh sebab itu, dalam Islam, ilmu agama akan menjadi prioritas utama. Sebab, pemahaman terhadap akidah Islam akan membentuk generasi memiliki ruh atau kesadaran hubungan dirinya dengan Allah Swt sebagai Sang Pencipta. Mereka akan senantiasa menyandarkan amal-amalnya pada syariat Islam. Sebab, mereka paham bahwa jabatan adalah amanah yang semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. dan jika tidak amanah, maka jabatan hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan diakhirat.
Hal tersebut telah disabdakan Rasulullah Saw. Ketika ada seorang sahabat yang meminta jabatan
Rasulullah Saw. bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825)
Alhasil, jangankan korupsi ratusan triliun, sepeserpun mereka tidak akan berani mengambil hak rakyat karena bagi mereka, Allah-lah yang Maha Mengawasi. Dari sini bisa terlihat bahwa pendidikan Islam tidak akan berorientasi pada materi yang hanya menjadikan generasi sibuk memperkaya diri sendiri atau individualis tanpa memperhatikan kemanfaatan ilmu bagi umat dan Islam.
Dengan keimanan yang menghujam kuat, maka generasi yang dididik dengan sistem pendidikan Islam akan banyak mengkontribusikan ilmunya untuk kemaslahatan umat manusia dan memberikan kebaikan bagi dunia sebagai perwujudan rahmatan lil alamin. Ketika menjadi pejabat ataupun pengusaha, maka ia akan amanah dalam menjalankan tugasnya karena ada kesadaran akan bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.
Sistem politik khilafah yang berjalan juga akan menutup celah terjadinya korupsi. Apalagi sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan individu per individu. Islam mensyariatkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan tidak hanya dihadapan manusia di dunia, tetapi juga dihadapan Allah Swt. di akhirat kelak.
Dengan demikian pemimpin atau pejabat yang terpilih adalah orang yang amanah, profesional dan bertanggung jawab. Pun ketika ia menjalankannya, maka dia akan senantiasa berupaya optimal agar sesuai dengan perintah syariat. Selain itu, negara Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas yang mampu mencegah terjadinya korupsi secara tuntas. Penerapan sanksi Islam akan memberi efek jawabir, yakni pelaku akan jera dan dosanya telah ditebus. Selain itu, juga akan memberi efek segala zawazir, yakni efek pencegah di masyarakat.
Demikianlah mekanisme Islam yang luar biasa dalam mencetak generasi unggul dan berkepribadian Islam sekaligus mencegah tindak pidana korupsi. []
Nabila Zidane, Jurnalis