Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Inilah Faktor Runtuhnya Khilafah Islamiah

Minggu, 16 Maret 2025 | 11:20 WIB Last Updated 2025-03-16T04:21:29Z
TintaSiyasi.id -- Filolog Ustaz Salman Iskandar, menjelaskan faktor-faktor runtuhnya khilafah islamiah.

"Ada berbagai faktor baik secara internal dan eksternal yang perlu kita ketahui kenapa khilafah bisa runtuh," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, dalam acara Bedah Khilafah - Runtuhnya Khilafah Musibah Terbesar Umat Islam, Senin (2/3/2025).

Pertama, diawali dari kemunduran pemahaman Islam yang kaffah. Banyak diantara pemimpin dan rakyat yang pada waktu dimana khilafah itu masih berdiri namun memiliki kemunduran di dalam pemahaman Islam yang benar dan kaffah.

"Semenjak tahun 1839, pada saat kepemimpinan Sultan Abdul Majid I pada waktu itu beliau belum genap berusia 18 tahun dan jabatan kuasa untuk menjalankan pemerintahan di kuasakan oleh sosok perdana menteri Mustafa Rasyid Pasya dan ternyata Mustafa Rasyid Pasya adalah sosok pemimpin yang berlama belajar di kota Paris dan dia adalah sosok yang mengagumi ide-ide yang berasal dari Prancis," ungkapnya.

Maka ia menjelaskan, menjadi faktor internal diantara kemunduran diantara kaum Muslim terhadap pemahaman Islamnya, munculnya pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan politik dan pemerintahan itu diawali semenjak berkuasanya perdana menteri hasil didikan Prancis.

"Pada saat yang sama, Mustafa Rasyid menyatakan bahwa pemerintahan kekuasaan Utsmani di Istanbul pada waktu itu menerapkan kebijakan apa yang kita ketahui sebagai reformasi perbaikan, maksudnya adalah memperbaiki keberadaan dari pemerintahan Utsmaniah namun berkiblat kepada hasil revolusi Perancis," ungkapnya.

"Yang disitu dikatakan hasil revolusi Perancis itu menjadikan bangsa Perancis ini mengusung ide-ide kebebasan, kesetaraan, dan ide-ide yang mengedepankan berkenaan dengan fanatisme, bahwasanya mereka layak untuk mengedepankan terkait dengan hak untuk bersuara, berpendapat, merumuskan hukum. Dari sinilah kemudian konsepsi modern state atau negara modern itu didasarkan kepada konsepsi negara yang sekuler," jelasnya.

Kedua, kemrosotan politik dan kepemimpinan. "Imbas yang terjadi di pemerintahan itu makanya adanya terjadi korupsi, nepotisme, dan lemahnya administrasi pemerintahan bahkan yang lebih parah daripada itu bahwasanya kebangkitan ataupun upaya untuk mengejar ketertinggalan pemerintahan Utsmani yang di Istanbul daripada negara-negara Eropa yang mereka anggap sebagai negara-negara modern, maka kemodernan atau reformasi yang ada di tubuh pemerintahan Islam Utsmaniah di Istanbul pada waktu itu adalah dengan membangun istana megah, istana indah, istana yang gemerlap dengan tampilan-tampilan yang itu mempesonakan pandangan mata, karena terbuat dari berlian dan terbuat dari logam mulia emas," paparnya.

Ia memberikan contoh di Istanbul banyak sekali pembangunan istana-istana seperti istana dolmabahçe yang menunjukkan bahwa saat itu kemerosotan di tengah-tengah masyarakat kaum muslim justru dalam persoalan politik dan kepemimpinan, bukan semata-mata mengejar ketertinggalan dari bangunan-bangunan fisik seperti layaknya bangunan istana.

Ketiga, tumbuhnya nasionalisme di dalam wilayah khilafah. "Kalau kita lihat berikutnya terkait dengan tumbuhnya nasionalisme di tengah-tengah masyarakat kaum muslim, pada saat yang sama di mana revolusi Perancis ini jadikan sebagai parameter terukur yang menjadikan kiblat kemajuannya itu adalah negara-negara Eropa, Yang di situ dari konsepsi revolusi Perancis yaitu fraternite ini adalah yang mengakibatkan dan menumbuhkan sentimen kesukuan dan kebangsaan bahwasanya setiap bangsa muslim bisa mengambil peran untuk menunjukkan keberpihakannya kepada konsepsi kebangsaan diantara mereka masing-masing," paparnya.

Sehingga, ia menegaskan, ditubuh pemerintahan kekuasaan Islam baik yang ada di Istanbul dan di kota-kota lainnya, tumbuh kesadaran yang justru tidak mengarah kepada pembelaan terhadap Islam dan kaum muslim, justru kesadaran yang muncul itu menumbuhkan sentimen kebangsaan, dan ini juga diprovokasi dengan berdirinya berbagai perguruan tinggi yang berkiblat kepada Eropa. 

"Diantaranya adalah Universitas Amerika yang ada di wilayah Lebanon di wilayah Timur Tengah, yang itu juga membangkitkan sentimen Pan Arabisme yaitu mendukung nasionalisme bangsa Arab untuk memisahkan diri dari orang-orang Turki, demikian pula orang-orang Turki, mereka kemudian mengedepankan apa yang kemudian disebut sebagai Pan Turkisme bahwasanya bangsa Turki lebih mulia daripada bangsa manapun," jelasnya.

Keempat, kemunduran ekonomi pun mengemuka secara internal di tengah kekuasaan pemerintahan Islam yang ada di Istanbul.

"Ketika pemerintahan Usmaniah terpaksa berutang kepada negara-negara Eropa, baik itu kepada Inggris, Prancis, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, ketika pemerintahan Utsmaniah hendak membangun istana-istana megah dan ironisnya juga demi untuk membangun masjid-masjid yang kemudian mengikuti pola arsitektur ala Prancis ataupun ala Eropa, justru didasarkan kepada utang negara, dan ini yang kemudian menyebabkan ketergantungan di tengah-tengah kaum muslim pada teknologi dan industri Barat yang menyebabkan ketidakmandirian," paparnya.

Kelima, melemahnya militer dan hilangnya semangat jihad. "Semenjak tahun 1826 pada saat dimana Sultan Mahmud II bin Sultan Abdul Hamid I membubarkan elit pasukan khusus Janissari (Yeniceri) yang sudah sekian lama menjadi penopang utama kekuatan militer Utsmaniah, karena pada waktu itu pemerintahan Utsmaniah menganggap bahwa elit pasukan khusus Ustmaniah Janissari (Yeniceri) itu sudah ketinggalan zaman dan ironisnya Sultan Mahmud II pada tahun 1826 setelah membubarkan elit pasukan khusus Janissari (Yeniceri), menggantinya dengan pasukan yang dididik oleh opsir-opsir Prancis dalam Akademi Militer Usmani yang ada di Istanbul dan pasukan baru yang dibentuk oleh Sultan Mahmud yang disebut sebagai Asakir Mansure Muhammad ini justru terdidik oleh opsir Prancis tentu pemikiran tidak mengabdi sepenuhnya kepada Daulah Islam, tidak mengabdi sepenuhnya kepada perjuangan Islam dalam rangka jihad fisabilillah tetapi justru ditekankan berkenaan dengan paham yang didasarkan pada hasil revolusi Prancis bahwa pembelaan kepada bangsa atau dalam hal ini adalah Turki sendiri," paparnya.

Sehingga, ia menambahkan, semangat jihad yang diajarkan oleh para pendiri Utsmaniah dalam Ghazi State atau negara para ksatria sudah mulai hilang, jadi sentimen pembelaan itu bukan pada Islam dan kaum muslim dalam semangat juang jihad fisabilillah tetapi justru pembelaan terhadap bangsa, pembelaan terhadap Turki semata.

Faktor Eksternal

Pertama, konspirasi negara-negara Barat. Bahwa negara-negara Barat, pesaing Khilafah Islam yakni Inggris dan Perancis termasuk juga Amerika, melakukan berbagai cara untuk melemahkan Khilafah Ustmaniah termasuk juga dengan politik adu domba.

"Diantara kita lihat pada saat menjelang terjadinya perang dunia pertama, sudah ada hubungan di antara para pesaing dari Usmaniah baik Inggris, Prancis untuk merancang persekutuan internasional atau dalam hal ini kemudian fakta-fakta militer dan akhirnya ketika Usmani terjebak dalam perang dunia yang pertama 1914 1918 maka ternyata diplomat dari Inggris dan Perancis mengadakan Apa yang diketahui sebagai Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 yang di sana kesepakatan di antara para diplomat Inggris dan Perancis pada waktu itu Sir Mark Sykes dari Inggris dan Francois Georges Picot dari Prancis membagi-bagi wilayah khilafah utsmaniah bagi kepentingan Inggris dan Perancis," terangnya.

"Ini menunjukkan bahwa keserakahan bangsa-bangsa kafir penjajah menjadikan mereka berkonspirasi untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim melemahkan khilafah bahkan kemudian menghancurkan khilafah," tambahnya.

Kedua, terjadinya perang dunia pertama 1918 Khilafah Utsmaniah terlibat dalam perang di pihak Jerman dan Austria Hungaria yang berakhir dengan kekalahan.

"Akibat dari perang itu kita bisa melewati bahwa seluruh wilayah Islam yang sebelumnya ada dalam naungan Khilafah Utsmaniah seperti Palestina, Irak kemudian juga Suriah termasuk juga Jazirah Arab kemudian Pantai Utara Afrika dikuasai oleh kaum-kaum pemenang perang baik itu oleh Inggris ataupun oleh Perancis," ungkapnya.

Ketiga, ada peran dari antek Inggris yaitu Mustafa Kemal Pasha atau Kemal ataturk, dengan dukungan Inggris berhasil menggulingkan Sultan Abdul Majid II, sekaligus juga menghapus institusi Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 bertepatan dengan tanggal 27 rajab tahun 1342 Hijriyah.

"Dan hari ini sudah lebih dari satu abad kita tidak lagi memiliki khilafah dan dalam hal ini Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki modern yang ini kemudian mengacu kepada cita-cita di antara para pemenang perang untuk menjadikan Turki tidak lagi bangkit selama-lamanya, yaitu Mustafa Kamal mendirikan Republik Turki sekuler, sekaligus juga melarang segala simbol serta institusi Islam di negara Turki," tutupnya.[] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update